AS Berisiko Gagal Bayar Utang, Bukti Rapuhnya Sistem Kapitalisme
Mediaumat.id – Peringatan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen yang menyebut ‘AS beresiko gagal bayar dan akan memicu malapetaka ekonomi jika kongres gagal menaikkan pagu utang pemerintah’, merupakan salah satu bukti kerapuhan sistem ekonomi kapitalisme yang bergantung pada utang.
“Ini adalah salah satu bukti kerapuhan (sistem) ekonomi (kapitalisme) AS yang bergantung pada utang,” tutur Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada Mediaumat.id, Jumat (28/4/2023).
Ishak mengungkap, setiap tahun AS harus membayar bunga yang cukup besar. “Pada 2023 diperkirakan sebesar total $640 miliar atau sekitar Rp9.300 triliun dan akan mencapai $1,4 trilliun atau Rp20.300 triliun pada 2033,” ungkapnya.
Di sisi lain, kata Ishak, pengeluaran AS terus melonjak termasuk untuk operasi militer. Dan utang-utang itu bergantung pada penjualan obligasi AS di pasar domestik dan global. “Jika para investor tidak lagi percaya kepada AS maka ekonomi negara itu akan kolaps,” tegasnya.
Ishak menilai, ketidakpercayaan itu termasuk tidak lagi percaya pada mata uang dolar AS yang masih dianggap sebagai mata uang yang paling aman di dunia lantaran AS masih merupakan negara dengan ekonomi terkuat.
“Jika kepercayaan itu hilang maka ekonomi AS akan menghadapi masalah serius. Karena itu diperkirakan kongres akan tetap menjaga kepercayaan investor dengan menaikkan batas atas utang pemerintah sehingga kepercayaan investor global tidak runtuh karenanya,” ujarnya.
Inflasi Tinggi
Ishak mengungkap, sektor keuangan di AS berpotensi mengalami gagal bayar akibat meningkatnya suku bunga The Fed (bank sentral AS) untuk mengendalikan inflasi yang masih cukup tinggi di negara itu.
“Dampak dari kenaikan suku bunga tersebut menyebabkan suku bunga perbankan ikut meningkat. Sektor bisnis yang mengandalkan utang perbankan akan semakin sulit membayar utangnya. Obligasi yang dikeluarkan juga terdampak karena mereka harus mengeluarkan obligasi dengan suku bunga yang lebih tinggi,” jelasnya.
Pada saat yang bersamaan, kata Ishak, pemerintah AS juga terdampak secara tidak langsung karena beban utangnya semakin besar, sementara mereka dibatasi oleh kongres di dalam penetapan jumlah utang atau yang dikenal dengan debt ceiling yang mencapai $31,4 triliun. Pada Januari 2023 ambang batas itu telah tercapai.
“Saat ini pemerintah AS membutuhkan utang yang lebih besar yang melampaui batas atas tersebut,” ujarnya.
Jika kongres tidak bersepakat meningkatkan batas utang tersebut maka akan berdampak pada pembatasan belanja pemerintah, termasuk berpotensi tidak dapat membayar bunga surat utang mereka.
“Meskipun berdasarkan pengalaman kongres akan mengakomodasi permintaan pemerintah, namun dalam skenario terburuk, jika hal itu gagal dicapai maka akan berdampak pada penurunan reputasi pemerintah sebagai pemilik surat utang teraman. Dan hal itu akan berdampak pada sektor keuangan di AS secara luas,” tandasnya.
Bangkrut
Ishak mengatakan, negara-negara lain yang mengikuti model ekonomi AS juga akan berpotensi bangkrut. Hal ini bahkan sudah terjadi di berbagai negara di Amerika Latin dan Asia, seperti kasus terakhir di Sri Lanka.
“Namun, negara-negara kapitalisme tersebut masih mengandalkan IMF dan Bank Dunia yang menjadi penolong ketika negara-negara tersebut menghadapi krisis meskipun dengan bayaran yang sangat mahal berupa tergadainya kedaulatan ekonomi mereka,” sesalnya.
Karena itu, menurutnya, sistem kapitalisme yang diadopsi AS dan negara-negara di dunia akan terus dihantui berbagai krisis.
“Hal ini menjadi pelajaran bagi negara-negara Muslim untuk tidak menerapkan sistem kapitalisme dan beralih kepada sistem Islam secara menyeluruh termasuk pada aspek ekonomi. Salah satunya adalah meninggalkan utang riba dan utang kepada negara dan lembaga kreditur asing serta menerapkan mata uang yang berbasis emas dan perak,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it