102 Tahun Tanpa Khilafah, Hukum Tegakkan Khilafah Fardhu Kifayah

 102 Tahun Tanpa Khilafah, Hukum Tegakkan Khilafah Fardhu Kifayah

Mediaumat.id – Genap 102 tahun keruntuhan khilafah pada 28 Rajab 1444 H, Cendekiawan Muslim Ustadz Azizi Fathoni menyerukan bahwa hukum menegakkannya kembali adalah wajib kifayah. “Bahkan wajib syar’i-nya (menegakkan khilafah) bersifat kifa’ie (fardhu kifayah),” tegasnya kepada Mediaumat.id, Senin (13/2/2023).

Menurutnya, kewajiban ini telah dengan jelas disampaikan oleh Imam Asy-Syirazi Asy-Syafi’i di dalam kitab At-Tanbih fi al-Fiqh asy-Syafi’i. “Imamah atau khilafah itu hukumnya fardhu kifayah,” kutipnya.

Ini berarti, sebagaimana definisinya, apabila ditinggalkan dosanya bakal ditanggung oleh seluruh umat Islam. “Tak sebatas wajib ‘ain yang bila ditinggalkan dosanya hanya ditanggung oleh yang meninggalkan saja,” tambahnya menerangkan.

Sebelumnya, di kesempatan yang sama, ia memaparkan bahwa khilafah termasuk bagian dari ajaran Islam, bukan tradisi Arab terlebih ajaran dari luar Islam.

“Khilafah adalah sebuah ajaran pokok yang agung di antara ajaran-ajaran pokok di dalam Islam, yang telah ditegaskan oleh syara’ dan dimuat oleh banyak hadits dan khabar,” kutipnya dari kitab Al-Inafah fî Ratbatil Khilafah karya Imam As-Suyuthi asy-Syafi’i.

Tegasnya, khilafah terkategori ajaran Islam yang hukumnya wajib. Artinya, bukan ajaran Islam yang sunnah ataupun perkara mubah.

Hal ini, kata Ustadz Azizi, telah dengan jelas pula disampaikan oleh Imam Ibn Raslan asy-Syafi’i di kitab beliau, Shafwah az-Zubad, yang artinya, ‘Mengangkat seorang Imam/Khalifah itu hukumnya wajib atas kaum Muslim, dan Allah itu tidak dibebani suatu kewajiban apa pun’.

Sehingga, dengan tidak turutnya kaum Muslim berupaya mengembalikan tegaknya institusi pemerintahan Islam, khilafah, akan berdampak dosa hingga ke Akhirat, bukan sebatas wajib aqli yang konsekuensinya masih di dunia saja.

Sepakat

Untuk diketahui, kewajiban kifayah dimaksud telah disepakati oleh seluruh umat Islam (muttafaq ‘alayh), dan bukan kewajiban yang diperselisihkan (mukhtalaf fiyhi). “Umat Islam seluruhnya telah bersepakat (ijma’) -kecuali mereka yang tidak diperhitungkan pendapatnya- atas wajibnya mengangkat seorang imam/khalifah secara mutlak,” jelas Ustadz Azizi, mengutip keterangan dari Imam Al-Qal’i asy-Syafi’i, dalam kitabnya, Tahdzib ar-Riyasah wa Tartib as-Siyasah.

Pun untuk dipahami, kewajiban yang telah disepakati tersebut, kata Ustadz Azizi, merupakan dalil yang qath’i (pasti dan meyakinkan), bukan sebatas dalil zhanni atau keterangan yang masih mengandung dua atau lebih kemungkinan.

Berikut ini penegasannya. ‘Ahlul haq (ahlussunnah wal jama’ah) berpendapat, dalil yang haq serta kebenarannya pasti (qath’i) tentang wajib syar’i-nya mewujudkan serta menaati seorang imam/khalifah adalah riwayat mutawatir tentang terjadinya ijma’ (konsensus) kaum Muslim di periode awal pasca wafatnya Rasulullah SAW untuk tidak membiarkan terjadi masa kekosongan dari seorang imam/khalifah’ (Al-Amidi asy-Syafi’i, Ghayah al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam).

Lebih dari itu, jelas Ustadz Azizi, kewajiban menegakkan kembali khilafah adalah sebuah keharusan yang mendesak dan prioritas. Sebabnya, kewajiban ini berkaitan dengan terpenuhinya banyak kewajiban lain, yang apabila tidak segera dilaksanakan akan menimbulkan mudharat besar.

“Maka kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah ini termasuk perkara syara’ yang sangat penting (dharuriyat asy-syar’) yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali,” ungkapnya mengutip perkataan Imam Al-Ghazali asy-Syafi’i di dalam kitab Al-Iqtishad fi al-I’tiqad.

Di sisi lain, kewajiban itu juga dikarenakan tuntutan keadaan sejak runtuhnya Khilafah Islamiah pada 28 Rajab 1342 H atau bertepatan dengan 3 Maret 1924 M yang saat itu berpusat di Istanbul, Turki, yaitu kerusakan sangat besar dan mendasar yang diakibatkan oleh sistem yang berdasarkan ideologi di luar Islam, baik sosialis komunis maupun sekuler kapitalis.

“Jika bukan karena diangkatnya seorang khalifah (al-imam al-a’zham) maka niscaya kemaslahatan secara menyeluruh akan terabaikan dan kerusakan bersifat umum akan terjadi. Niscaya yang kuat akan menindas yang lemah, dan yang hina/jahat akan menindas yang mulia/baik,” demikian kata Sulthanul Ulama, di dalam kitab Al-Qawaid al-Kubra.

Sampai-sampai, sela Ustadz Azizi yang mengutip perkataan Imam Syamsuddin ar-Ramli dalam kitab Ghayah al-Bayan Syarh Zubad Ibn Raslan, dan juga Abu Al-Fadhal as-Sinori, ulama Nusantara, di kitab Ad-Durr al-Farid, para sahabat menganggapnya sebagai kewajiban yang paling prioritas dan mendahulukannya daripada memakamkan jasad Rasulullah SAW kala itu.

Kembalinya Khilafah

“Kemudian akan berlangsung kekhilafahan di atas metode kenabian,” ucap Ustadz Azizi, menyitir potongan sebuah hadits sahih riwayat Imam Ahmad yang mendeskripsikan kabar gembira (bisyarah) dari Rasulullah tentang kembalinya khilafah kedua yang mengikuti manhaj (metode) Beliau SAW.

Maknanya, sebagaimana pribadi Nabi SAW yang Ash-shadiqul wa’dil amin, yang berarti utusan Allah yang benar, menepati janji dan terpercaya; dan Allah SWT sendiri juga bersifat laa yukhliful mi’ad atau tidak pernah menyalahi janji, maka perjuangan menegakkan kembali khilafah saat ini memiliki masa depan yang pasti.

“Semoga kita termasuk yang berusaha memperjuangkan dan mengalami keberlangsungannya,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *