Dalil Kulliy, Dalil Juz’iy dan al-Malakah dalam Ijtihad

 Dalil Kulliy, Dalil Juz’iy dan al-Malakah dalam Ijtihad

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya memohon kepada Allah yang Mahatinggi lagu Mahakuasa agar pesan saya ini sampai kepada Anda dan Anda dalam keadaan aman dan sehat, dilimpahi keridhaan dari Allah dan diberikan taufik dan petunjuk dalam ucapan dan perbuatan.

Selama kajian saya pada buku asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz I, saya rancu dalam memahamai perkara-perkara pada topik ijtihad, dan saya mohon perkenan Anda untuk menjawab dan untuk Anda pahala yang besar dan terima kasih yang banyak:

Pertama, di buku asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz I halaman 203 dinyatakan ungkapan berikut pada topik al-Ijtihâd: “karena ijtihad adalah istinbath hukum dari nas baik apakah itu berupa istinbath hukum kulliy dari dalil kulliy seperti istinbath (penggalian hukum) bahwa perampas dijatuhi sanksi, diistinbath dari bahwa asy-Syâri’ menjadikan potong tangan sebagai hadd untuk pencurian. Atau berupa istinbath hukum juz`iy dari dalil juz`iy semisal istinbath hukum ijarah dari kenyataan Rasul saw mempekerjakan seorang pekerja …”.

Dan dinyatakan di buku asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III halaman 445 pada topik al-Qawâ’id al-Kulliyah: “kaedah-kaedah kulliyah dan definisi syar’iyah (at-ta’ârif asy-syar’iyah) merupakan hukum kulliy, adapun hukum syar’iy maka itu merupakan hukum juz`iy”.

Dan pertanyaannya adalah:

1- Apa itu dalil kulliy dan dalil juz`iy? Kenapa dalil potong tangan pencuri disebut dalil kulliy dan dalil bolehnya ijarah disebut dalil juz`iy? Apakah hukum syar’iy itu berupa hukum kulliy dan hukum juz`iy sebagaimana yang dideskripsikan di topik al-Ijtihâd, ataukah hukum syar’iy merupakan hukum juz`iy dan tidak disebut hukum kulliy kecuali dalam definisi syar’iy (ta’rîf syar’iy) dan kaedah kulliyah sebagaimana yang dipahami dari asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III?

Kedua, pada topik Syurûth al-Ijtihâd halaman 213: “Penguasaan (al-malakah) berarti kekuatan dalam memahami dan mengaitkan. Dan ini kadang terjadi dari kecerdasan yang luar biasa disertai dengan pengetahuan sesuatu dari pengetahuan-pengetahuan syar’iy dan bahasa, dan tidak memerlukan kepada penguasaan semua pengetahuan-pengetahuan syar’iy dan bahasa”.

Dan dinyatakan di Jawab Soal tertanggal 8/8/2017: “dan yang dimaksud dengan penguasaan (al-malakah) pada al-faqîh bukanlah aspek bawaan (an-nâhiyah al-fithriyah) dan kesiapan bawaan (al-isti’dâd al-fithriyah) yang berbeda-beda dari satu person ke person yang lain. Tetapi yang dimaksudkan adalah penguasaan (al-malakah) yang diperoleh melalui belajar, pengkajian, pendalaman dan pengamalan … Meskipun kesiapan bawaan mungkin berkontribusi dalam melahirkan penguasaan (al-malakah) fikhiyah dan mengembangkannya dengan cepat, tetapi kesiapan bawaan ini bukan al-malakah yang dimaksudkan”.

2- Dan pertanyaannya, apakah apa yang dinyatakan di dalam Jawab Soal itu kontradiksi dengan apa yang dinyatakan di buku tersebut dari sisi hubungan kesiapan bawaan dengan pembentukan penguasaan (al-malakah)? Buku tersebut menjadikan asas dalam penguasaan (al-malakah) adalah kekuatan memahami dan mengaitkan. Adapun Jawab Soal menjadikan asasnya adalah pengetahuan yang diperoleh?

Semoga Anda dilimpahi kebnerkahan dan semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.

[Yeni Camii]

Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Anda bertanya tentang beberapa perkara … Berikut jawaban untuk Anda:

Pertama, dalil kulliy dan dalil juz`iy: perkara ini dirinci di asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III bab al-Qawâ’idu al-Kulliyah. Demikian juga di asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz I, dan di al-Kurâsah maka Anda dapat merujuk kepadanya … Tetapi saya akan mendekatkan jawabannya kepada Anda dengan ringkas:

Jika dari dalil atau beberapa dalil dapat diistinbath kaedah syar’iyah yang dibawahnya terderivasi hukum-hukum syara’ lainnya selain yang dinyatakan di dalam dalil atau beberapa dalil itu, dan tidak dengan jalan qiyas yakni tanpa hukum baru itu diqiyaskan kepada hukum yang disebutkan di dalam nas itu tetapi terderivasi, seperti sebagai bagian-bagian dari kaedah itu, maka ketika itu kaedah tersebut merupakan kaedah kulliyah dan hukum yang terderivasi di bawahnya merupakan hukum kulliy. Dan galibnya di antara kaedah dan hukum syara’ yang terderivasi di bawahnya itu terdapat apa yang menyerupai ‘illat (atau pada posisi ‘illat –bi mutsâbati al-‘illat-) dan kadang kala berupa ‘illat yang hakiki … Dinyatakan di asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III bab al-Qawâ’id al-Kulliyah halaman 455: “dari itu menjadi jelas bahwa kaedah kulliyah membuat hukum itu pada posisi ‘illat (bi mutsâbati al-‘illat) untuk hukum kulliy dikarenakan keberadaannya sebagai sebab untuknya, yakni dikarenakan keberadaannya sebagai hasil darinya atau yang disusun di atasnya, atau membuatnya sebagai ‘illat yang hakiki (‘illat haqîqiyah) untuk hukum kulliy. Kaedah itu merupakan hukum kulliy yang berlaku terhadap bagian-bagiannya. Oleh karenanya berlaku atas setiap hukum yang berlaku atasnya sebagaimana berlakunya dalil yang membawanya dan tidak diqiyaskan terhadapnya secara qiyas, tetapi bagain-bagiannya itu terderivasi di bawahnya, yakni masuk di bawah mafhumnya atau manthuqnya sama persis sebagaimana masuk di bawah dalalah dalil, dan beristidlal dengannya seperti beristidlal dengan dalil tersebut. Kaedah kulliyah diperlakukan sebagaimana perlakuan qiyas … Hanya saja kaedah kulliyah itu bukan seperti qiyas sebagai dalil syara’ dan tidak menjadi pokok dari ushul syara’, melainkan kaedah kulliyah itu merupakan hukum syara’ yang diistinbath sebagaimana semua hukum syara’ jadi kaedah kulliyah itu tidak menjadi dalil”.

Kedua, untuk menjelaskan hal itu kami sebutkan dua contoh dari asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III halaman 454-455 yang satu pada posisi ‘illat (bi mutsâbati al-‘illat) dan yang lainnya berupa ‘illat:

1- Misalnya firman Allah SWT:

﴿وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (TQS al-An’am [6]: 108).

 

Huruf al-fâ` pada “fayasubbû -maka mereka memaki-” memberi faedah bahwa makianmu kepada berhala-berhala sesembahan mereka menyebabkan makian mereka kepada Allah, dan ini adalah haram, maka akibatnya bahwa makian kalian terhadap berhala-berhala mereka dalam kondisi ini adalah haram, jadi seolah-olah itu merupakan ‘illat. Larangan dari memaki orang-orang kafir adalah dalil hukum, dan hal itu di samping dalalahnya terhadap hukum, juga menunjukkan terhadap sesuatu yang lain yang diakibatkannya ketika Allah berfirman “fa yasubbûllâh -maka mereka mamaki Allah-“. Maka dari ayat ini diistinbath kaedah “al-wasîlatu ilâ al-harâm harâmun -wasilah kepada yang haram adalah haram-“…”.

2- Misalnya sabda Rasul saw:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثـَلاَثٍ: فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ» أخرجه أبو داود

“Kaum Muslim berserikat pada padang gembalaan, air dan api” (HR Abu Dawud).

Dan telah terbukti dari Beliau saw bahwa beliau menyetujui penduduk Thaif dan penduduk Madinah memiliki air dengan kepemilikan individu. Dan dipahami dari air yang diizinkan dimiliki sebagai kepemilikan individu bahwa itu tidak ada kebutuhan komunitas di dalamnya. Maka ‘illat keberadaan manusia berserikat dalam tiga jenis harta itu “adalah” keberadaannya termasuk fasilitas jamaah. Jadi dalil tersebut menunjukkan hukum, dan menunjukkan ‘illat. Artinya, dalil itu menunjukkan hukum dan menunjukkan sesuatu yang lain yang merupakan sebab pensyariatan hukum tersebut.  Sehingga darinya diistinbath kaedah “kullu mâ kâna min marâfiq al-jamâ’ah kâna milkiyatan ‘âmatan -Apa saja yang termasuk fasilitas jamaah maka merupakan kepemilikan umum-“…..

Setelah itu buku tersebut menambahkan:

“Dari hal menjadi jelas bahwa kaedah kulliyah membuat hukum itu pada posisi ‘illat (bi mutsâbati al-‘illat) untuk hukum kulliy, dikarenakan keberadaannya sebagai sebab untuk hukum kulliy itu, yakni dikarenakan keberadaannya sebagai hasil untuknya atau akibat atasnya, atau membuatnya sebagai ‘illat yang hakiki untuk hukum kulliy. Jadi kaedah merupakan hukum kulliy yang berlaku atas bagian-bagiannya. Oleh karena itu berlaku atas setiap hukum yang sesuai atasnya, sebagaimana berlakunya dalil atas hukum yang didatangkannya, dan tidak diqiyaskan terhadapnya secara qiyas, tetapi bagian-bagiannya itu terderivasi di bawahnya, yakni masuk di bawah mafhumnya atau manthuqnya, sama persis sebagaimana masuk di bawah dalalah dalil, dan beristidlal dengannya seperti beristidlal dengan dalil. Jadi kaedah kulliyah diperlakukan dengan perlakuan qiyas. Dan semua apa yang sesuai atasnya kaedah tersebut maka mengambil hukumnya, kecuali dinyatakan nas syar’iy yang berbeda dengan apa yang ada di dalam kaedah tersebut, maka diamalkan sesuai dengan nas dan kaedah itu diabaikan. Hal itu sebagaimana keadaan dalam qiyas. Jika dinyatakan nas syar’iy maka yang diambil adalah nas dan qiyas diabaikan.  Hanya saja, kaedah kulliyah itu tidak seperti qiyas sebagai dalil syar’iy dan bukan pokok di antara ushul syara’. Melainkan kaedah kulliyah itu merupakan hukum syara’ yang diistinbath sebagaimana semua hukum syara’, jadi bukan merupakan dalil. Karenanya, maka apa yang sesuai atasnya dinilai sebagai percabangan (tafrî’an) atasnya atau pada posisi pencabangan (bi mutsâbati at-tafrî’). Dan semisal kaedah kulliyah itu adalah definisi kulliy (ta’rif kulliy). Semua yang sesuai atasnya maka mengambil hukumnya, kecuali dinyatakan nas syar’iy maka yang diambil adalah nas …”.

Ketiga, dan sekarang kita sampai ke pertanyaan pertama Anda tentang pencurian dan ijarah:

Allah SWT berfirman:

﴿وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (TQS al-Maidah [5]: 38).

 

Dalil ini mungkin diistinbath darinya kaedah kulliyah bahwa “al-i’tidâ`u ‘alâ amwâli an-nâs muharramun wa ‘alayhi ‘uqûbatun -penyerangan terhadap harta orang adalah haram dan terhadapnya dijatuhi sanksi-“. Ini karena mungkin dikatakan bahwa nas pencurian mengandung apa yang menyerupai ‘illat (yusybihu al-‘illat) atau pada posisi ‘illat (bi mutsâbati al-‘illat), yaitu kaitan antara potong tangan dengan pencurian … Telah terjadi penyusunan potong tangan atas pencurian dengan huruf al-fâ` dan di sini itu adalah sababiyah (bersifat menyatakan sebab). Ada kaitan antara hukum “fa[i]qtha’û aydiyahumâ -maka potonglah tangan keduanya-“ dengan yang mewajibkan potong tangan, yaitu pencurian dalam firman Allah “wa as-sâriqu wa as-sâriqatu – laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri-“. Potong tangan adalah hanya berkaitan dengan pencurian. Tetapi adanya keterkaitan antara hukum tersebut dengan sebabnya. Hal itu memungkinkan mujtahid meredaksikan hukum kulliy yang mencakup keadaan-keadaan yang terderivasi di bawahnya. Maka dikatakan “at-ta’adiy ‘alâ amwâl al-âkharîn muharramun wa yûjibu ‘uqûbah -penyerangan terhadap harta orang lain adalah haram dan mewajibkan dijatuhi sanksi-“ … Dan di bawah hukum ini terderivasi bahwa terhadap perampas dijatuhkan sanksi, meskipun hukum perampas tidak disebutkan di dalam ayat tersebut.  Karena itu, ayat tersebut memberi faedah bahwa hadd pencuri adalah potong tangan, dan di samping hal itu juga memberi faedah berdasarkan atas susunannya secara bahasa bahwa orang yang menyerang harta orang lain maka layak dijatuhi sanksi. Karenanya maka dalil potong tangan pencuri itu merupakan dalil kulliy yang memberi faedah hukum kulliy …

Adapun hukum ijarah yang diambil misalnya dari bahwa Rasul saw:

«اسْتَأْجَرَ رَجُلاً مِنْ بَنِي الدِّئْلِ هَادِياً خِرِّيتاً»

“Rasul mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani ad-Dil sebagai penunjuk jalan”.

Di dalamnya tidak ada sesuatu yang bersifat kulliy dan tidak ada penyusunan sesuatu di atas sesuatu, tetapi dia adalah dalil yang darinya diambil faedah bolehnya ijarah. Jadi itu merupakan dalil juz`iy yang memberi faedah hukum juz`iy…. Ini tentu saja berbeda dengan definisi (ta’rîf) ijarah, sebab definisi (ta’rîf) disifati dengan kulliy sehingga di bawah definisi itu masuk jenis-jenis ijarah. Jadi definisi (ta’rîf) dari sisi ini memiliki sifat kulliy. Tetapi dalil ijarah sendiri tidak disifati dengan kulliy sebab tidak mencakup selain topik ijarah.

Keempat, adapun tentang pertanyaan kedua Anda, “apakah hukum syara’ itu berupa hukum kulliy dan hukum juz`iy sebagaimana yang dideskripsikan di dalam topik al-Ijtihâd, atau hukum syara’ itu merupakan hukum juz`iy dan tidak disebut kulliy kecuali dalam definisi (ta’rîf) syar’iy dan kaedah kulliyah sebagaimana yang dipahami dari asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III?”

Ya akhiy, sesungguhnya kaedah kulliyah, ta’rîf syar’iy dan hukum syara’ sendiri semuanya merupakan hukum syara’. Hanya saja suatu hukum jika dinisbatkan kepada lafal kulliy dengan penghimpun ‘illat atau apa yang menyerupai ‘illat (bi mutsâbah al-‘illat -pada posisi ‘illat-) maka itu merupakan hukum kulliy. Jadi jika Anda katakan “al-wasîlatu ilâ al-harâm harâmun -wasilah kepada yang haram adalah haram-“, maka Anda di sini menisbatkan pengharaman itu kepada al-wasîlah ilâ al-harâm, yakni Anda menisbatkannya kepada lafal kulliy. Karenanya itu, hukum yang diistinbath merupakan hukum kulliy dan di bawah kaedah (hukum syara’ kulliy) ini masuk bagian-bagiannya …. Jadi itu mencakup semua wasilah yang mengantarkan kepada yang haram.

Dan jika Anda mendefisikan hukum syara’ adalah seruan asy-Syâri’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba dengan tuntutan, wadh’u atau pilihan (khithâb asy-syâri’ al-muta’aliqu bi af’âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ` aw al-wadh’i aw at-takhyîr), maka Anda menjadikan definisi ini ditegakkan di atas lafal kulliy yaitu “khithâb asy-syâri’ al-muta’aliqu bi af’âl al-ibâd … -seruan asy-Syâri’ berkaitan dengan perbuatan hamba …-. Maka definisi itu menjadi bersifat kulliy dan masuk di bawahnya bagian-bagiannya … Jadi definisi itu mencakup semua yang berkaitan dengan perbuatan hamba baik apakah fardhu …. atau sebab ….. atau mubah … dsb.

Adapun  jika Anda katakan “al-maytatu harâmun -bangkai itu haram-“ sebagaimana yang ada di ayat yang mulia:

﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ

“Telah diharamkan atas kalian bangkai”.

Nas ini tidak berlaku kecuali hanya terhadap bangkai. Dan darinya tidak dipahami bahwa khamr adalah haram. Yakni tidak ada bagian-bagian yang ada di bawahnya. Karenanya dikatakan tentangnya sebagai juz`iy … Dengan ungkapan lain, hukum yang disebutkan itu tidak melampaui apa yang disebutkan di dalam nas sehingga disifati juz`iy.

Tetapi kaedah kulliyah, definisi syar’iy kulliy dan hukum-hukum juz`iy itu semuanya merupakan hukum syara’ sebab diistinbath dari dalil-dalil syara’. Dan dari bab pengklasifikasian secara fikih, disebut terhadap kaedah dan definisi sebagai kulliyah dan terhadap hukum-hukum syara’ yang tidak berlaku terhadap selain yang disebutkan di dalam nas disebut sebagai juz`iyah, seraya semanya adalah hukum syara’. Ringkasnya adalah bahwa hukum syara’ itu jika bukan kaedah kulliyah atau definisi syar’iy maka merupakan hukum juz`iy …

Oleh karena itu tidak ada kontradiksi antara apa yang disebutkan di asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz I halaman 207-208: “karena ijtihad adalah istinbath (penggalian) hukum dari nas … baik istinbath itu merupakan hukum kulliy dari dalil kulliy seperti istinbath bahwa terhadap perampas dijatuhi sanksi, diistinbath dari asy-Syâri’ menjadikan potong tangan sebagai hadd untuk pencurian; ataukah merupakan istinbath hukum juz`iy dari dalil juz`iy semisal istinbath hukum ijarah dari kenyataan Rasul saw:

«اسْتَأْجَرَ رَجُلاً مِنْ بَنِي الدِّئْلِ هَادِياً خِرِّيتاً» أخرجه البخاري

“Rasul saw mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani ad-Dil sebagai penunjuk jalan” (HR al-Bukhari).

Hal itu tidak berbeda dengan apa yang disebutkan di asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III halaman 451: “jadi kaedah-kaedah kulliyah dan definisi syar’iy merupakan hukum kulliy, sedangkan hukum syara’ maka merupakan hukum juz`iy”.

Kelima, perlu diketahui bahwa al-kulliyah dan al-juz`iyah merupakan sifat al-mufrad tetapi dari bab al-majâz disebutkan terhadap al-murakkab sebagaimana yang ada di buku asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III halaman 451: “supaya dipahami al-kulliyah dan al-juz`iyah dalam hukum syara’, maka harus diarahkan pandangan kepada bahwa penyebutan ini dari sisi majaz dan bukan dari sisi hakikat. Al-kulliyah dan al-juz`iyah itu termasuk dalalah al-mufrad bukan termasuk dalalah al-murakab, jadi tidak ada tempat untuknya dalam dalalah at-tarkîb. Hukum syara’ merupakan kalimat yang tersusun (jumlah murakkabah) dan bukan isim mufrad baik itu berupa hukum, kaedah atau definisi. Ucapan Anda: lahmu al-maytah harâmun -daging bangkai haram-, merupakan jumlah murakkabah (kalimat yang tersusun). Dan ucapan Anda, “al-ijârah ‘aqdun ‘alâ al-manfa’ati bi ‘iwadhin (ijarah adalah akad atas manfaat dengan mendapat imbalan) merupakan jumlah murakkabah -kalimat yang tersusun-. Ucapan Anda, “al-wasîlatu ilâ al-harâm harâmun (wasilah kepada yang haram adalah haram) merupakan kalimat yang tersusun (jumlah murakkabah). Jadi tidak dimasuki oleh al-kulliyah dan al-juz`iyah, sebab keduanya termasuk dalalah isim, yakni termasuk dalalah al-mufrad.

Hanya saja, karena al-kulliy dalam isim adalah apa yang dibenarkan berserikat di dalam mafhumnya banyak jenis semisal al-hayawân, al-insân dan al-kâtib. Dan definisi termasuk apa yang dibenarkan berserikat di dalamnya banyak jenis sebab definisi ijârah dibenarkan berlaku atas ijarâh al-ajîr khâsh, ajîr al-musytarak, ijarah rumah, ijarah mobil, ijarah tanah …. dsb, maka terhadapnya disebut hukum kulliy dari sisi majaz, demikian juga kaedah-kaedah kulliyah.

Dan karena al-juz`iy dalam isim termasuk apa yang tidak dibenarkan untuk berserikat di dalamnya banyak jenis, misal Zaid sebagai ‘alam atas seorang laki-laki, Fathimah sebagai ‘alam atas seorang wanita, dan semisal dhamir-dhamir seperti huwa dan hiya; dan hukum syara’ termasuk apa yang tidak dibenarkan untuk berserikat di dalamnya banyak jenis, semisal daging bangkai adalah haram, minum khamr adalah haram, dan semisalnya, maka itu tidak benar berlaku kecuali terhadap bangkai, dan tidak berlaku kecuali terhadap khamr, maka terhadapnya disebut hukum juz`iy dari sisi majaz. Dia dari sisi dalalahnya terhadap individu atau tidak adanya dalalahnya maka untuknya dikatakan kulliy dan juz`iy secara majaz, tetapi dari sisi realitanya merupakan hukum syara’ yang diistinbath dari dalil syar’iy, tidak ada perbedaan antara kaedah, definisi dan hukum”.

Keenam, adapun pertanyaan Anda tentang topik al-malakah (penguasaan), maka sebagai berikut:

1- Al-malakah (penguasaan) yang dibicarakan di Jawab Soal tertanggal 15 Dzul Qa’dah 1438 H – 8 Agustus 2017 M adalah bukan al-malakah (penguasaan) secara mutlak, tetapi adalah al-malakah al-fiqhiyah secara khusus, dan itu berkaitan dengan definisi al-faqîh.  Al-faqîh dalam istilah adalah orang yang tercapai untuknya al-malakah dalam fikih. Dan yang dimaksud dengan al-malakah untuk al-faqîh itu seperti yang disebutkan di Jawab Soal: “dan yang dimaksud dengan al-malakah dalam fikih bukanlah aspek bawaan dan kesiapan bawaan yang berbeda-beda dari satu person ke person lainnya. Tetapi yang dimaksud adalah al-malakah yang diperoleh melalui belajar, pengkajian, pendalaman dan pengamalan … Meski kesiapan bawaan mungkin berkontribusi dalam lahirnya al-malakah untuk al-faqîh itu dan pengembangannya dengan cepat, tetapi kesiapan bawaan ini bukan al-malakah yang dimaksudkan pada  al-faqîh …”.

Adapun al-malakah (penguasaan) berkaitan untuk mujtahid maka itu seperti yang dinyatakan di buku asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz I halaman 213:

“ …. dan karena al-malakah (penguasaan) berarti kekuatan memahami dan mengaitkan. Dan ini kadang tercapai dari kecerdasan luar biasa disertai pengetahuan sesuatu dari pengetahuan-pengetahuan syar’iyah dan bahasa, dan tidak memerlukan penguasaan seluruh pengetahuan syar’iy dan bahasa…”.

Ringkasnya, perkara mendasar pada al-faqîh adalah al-malakah (penguasaan) yang diperoleh memalui belajar dan mengkaji serta penguasaan pengetahuan-pengetahuan syar’iyah … dan kesiapan bawaan berkontribusi dalam perealisasian hal itu dengan cepat …

Adapun perkara mendasar pada mujtahid maka itu adalah kekuatan memahami dan mengaitkan, kecerdasan luar biasa dan kemampuan mengistinbath … disertai pengetahuan sesuatu dari pengetahuan-pengetahuan syar’iyah dn bahasa dan tidak memerlukan penguasaan semua pengetahuan-pengetahuan ini …

Atas dasar itu, maka di situ tidak ada kontradiksi antara al-malakah (penguasaan) yang disebutkan di Jawab Soal karena itu berkaitan untuk al-faqîh … dengan al-malakah (penguasaan) yang disebutkan di buku asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz I karena itu berkaitan untuk mujtahid.

Saya berharap perkaranya telah menjadi jelas.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

25 Jumadal Akhirah 1444 H

18 Januari 2023 M

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/86526.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/727052175648821

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *