Bentrokan Maut PT GNI Kuatkan Regulasi Tenaga Kerja Asing? Begini Penjelasan IJM
Mediaumat.id – Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesian Justice Monitor (IJM) Dr. Erwin Permana khawatir, bentrokan maut di PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), Morowali, Sulawesi Tengah makin menguatkan regulasi berkaitan dengan tenaga kerja asing.
“Khawatirnya kita ini, rezim yang pro asing ini, ini justru semakin memperkuat regulasi berkaitan dengan tenaga kerja asing,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Rabu, (18/1/2023).
Yang berarti, bisa jadi pemerintah nantinya mengklaim bahwa tenaga kerja lokal enggak bisa ‘bekerja’, yang akhirnya menegaskan kemudahan tentang penggunaan tenaga kerja asing di negeri ini.
“Ya sudah karena tenaga kerja lokal enggak bisa kerja, kerjanya bikin konflik melulu, ya sudah akhirnya pekerja industri semuanya terkait tenaga kerja, tenaga kerja asing aja deh,” urainya.
“Wong (tenaga kerja) lokal itu bikin kisruh aja. Bisa saja begitu kan?” imbuh Erwin, terkait alasan penegasan regulasi misalnya.
Sebagaimana dikabarkan, terjadi bentrokan yang menewaskan dua orang (masing-masing dari pihak pekerja lokal dan asing) pada Sabtu (14/1) malam di area perusahaan ekstraksi atau pemurnian bijih nikel (smelter) PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), Morowali Utara.
Bentrokan dipicu karena pihak keamanan perusahaan menahan sekitar 500 pekerja yang mencoba memasuki pos 4 pabrik smelter milik PT GNI untuk melakukan aksi mogok kerja. Mogok kerja itu dilakukan usai tujuh dari delapan tuntutan mereka belum disetujui oleh perusahaan.
Untuk diketahui, pabrik smelter dengan kapasitas produksi 1,8 juta ton per tahun itu merupakan perusahaan pengolahan bijih nikel yang dimiliki pengusaha tambang asal Cina, Tony Zhou Yuan.
Sementara dari segi jumlah karyawan asing di sana menurut PT GNI, lebih dari 1.300 orang. “Jumlah karyawan WNI 11.060 orang, jumlah karyawan WNA 1.312 orang,” kata HRD Assisten Manager PT GNI Yanita Rajagukguk, Senin (16/1/2023).
Meski jumlah tenaga kerja lokal mendominasi, sambung Erwin, tetap tidak menutup kemungkinan dari pihak mayoritas muncul perasaan tidak diperlakukan adil.
Pasalnya, dari berbagai tuntutan terutama terkait kesehatan dan keselamatan kerja, para tenaga kerja lokal juga memperjuangkan perbaikan kesejahteraan mereka yang sudah menjadi rahasia umum selalu di bawah ketentuan yang diberlakukan atas ekspatriat.
“Sudah dipahami bahwa bagaimanapun tenaga kerja asing itu, itu mereka dibayar pasti lebih mahal, mereka dibayar berkali-kali lipat,” sebut Erwin, seraya menyebut konflik terjadi karena ada ketidakadilan di sana yang memang seharusnya dituntut.
Apalagi, ditambah munculnya Undang-Undang Cipta Kerja yang meski sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, artinya bertentangan dengan UUD 1945, nyatanya pemerintah menghidupkan kembali dengan perangkat Perppu pada 30 Desember 2022 lalu.
Sehingga bisa ditebak, bahwa nasib pekerja lokal akan semakin sulit. Berikut lima dampak UU Ciptaker bagi pekerja di Indonesia, sebagaimana dirangkum Mediaumat.id. Pertama, pekerja terancam tidak menerima pesangon. Kedua, TKA lebih mudah masuk ke Indonesia. Ketiga, batasan maksimum tiga tahun untuk karyawan kontrak dihapus. Empat, jam lembur tambah dan cuti panjang hilang. Kelima, tak ada lagi UMK.
Terutama poin kedua, kata Erwin, para pekerja asing bertambah leluasa ke Indonesia. “Sepertinya negeri ini, ini dipersiapkan untuk asing bukan untuk tenaga kerja lokal, bukan untuk rakyatnya sendiri,” singgungnya.
Sehingga ia pun mengatakan, “Sudahlah mereka di lapangan tidak merasakan keadilan, di sisi lain juga sudah ada regulasi yang akan semakin membuat mereka itu untuk menjadi miskin,” tambahnya.
Kezaliman
Menurut Erwin, bentrok tersebut juga menguak kezaliman pemerintah. “Bentrokan ini menguak tentang kezaliman pemerintah,” cetusnya.
Di samping itu menurutnya lagi, di dalam dunia kerja apalagi dengan suasana lapangan, para tenaga kerja yang dilibatkan semestinya memiliki kultur yang sama.
“Yang satu mau istirahat shalat, yang lain enggak. Yang satu enggak boleh minum minuman keras yang lain minum minuman keras,” misalnya.
Dengan demikian, tutur Erwin, selain mengusut tuntas, amat penting pemerintah pun merevisi kebijakan mengenai itu sehingga diharapkan tenaga kerja asing bisa segera dikembalikan ke negeri asal.
Dengan kata lain, sangat penting membiarkan atau justru memberikan ‘lahan’ pekerjaan di Indonesia untuk tenaga kerja lokal sendiri. “Masih banyak kok tenaga kerja yang pintar, yang hebat dan bisa dibentuk. Kenapa harus ngundang tenaga kerja dari Cina?” katanya.
Sebabnya, tentu selain berpotensi merebak ke daerah lain, negeri ini juga riskan menjadi milik asing. Maka, terkait hal tersebut, kalau ingin perubahan yang nyata masyarakat harus bangkit dengan ‘kekuatan’ Islam. “Kita harus berubah secara totalitas dengan penerapan Islam sebab hanya di dalam Islamlah keadilan akan bisa kita temukan,” pungkasnya.[] Zainul Krian