Penilaian Radikalisme BNPT Subyektif dan Tendensius
Mediaumat.id – Temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait lebih dari 600 situs/akun yang bermuatan unsur radikal sepanjang tahun 2022 dinilai subyektif dan tendensius.
“Penilaian akun medsos atau situs yang disebut mengandung muatan radikalisme itu amat subyektif dan tendensius. Susah untuk dibenarkan,” ujar Direktur Siyasah Institute Iwan Januar kepada Mediaumat.id, Sabtu (31/12/2022).
Menurut Iwan, isu radikalisme ini amat subyektif. Dilihat dari sisi terminologi radikalisme yang absurd, dan siapa yang disebut radikal. Ia mencontohkan, kelompok separatis Papua tidak pernah dikategorikan oleh BNPT dan kepolisian sebagai kelompok teroris atau radikal Kristen, dan dalam pemberitaan pun tidak pernah disebut oleh media seperti itu, selalu disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata. Padahal tindakan kejam mereka berjalan terus menerus, jauh lebih intens ketimbang apa yang dinamakan kelompok Islam ‘teroris’.
Iwan melihat, sebagian dari ciri-ciri radikal yang disebut BNPT itu sejatinya adalah ajaran Islam. Sehingga hal inilah yang ia katakan subyektif bahkan tendensius dan mengandung stigmatisasi atau demonologi terhadap ajaran-ajaran Islam dan orang-orang yang taat beragama. Jadi perang terhadap radikalisme itu sebenarnya perang terhadap ajaran Islam dan kaum Muslim.
Ia mengatakan, Muslimah bercadar dimusuhi, celana cingkrang dan jenggot dimusuhi, ajaran tentang jihad dan sistem politik Islam dimusuhi. Kemudian untuk legitimasi isu radikalisme, dibuat tafsir sepihak dengan ukuran sepihak oleh BNPT terhadap ajaran dan kelompok lain. Sehingga bila ada kelompok yang menganut paham atau ajaran Islam yang berbeda bisa dikategorikan kaum radikalis.
Terakhir, Iwan sepakat bahwa tidak boleh ada Muslim yang melakukan tindak kekerasan, anarkisme apalagi teror. Namun ia tidak sepakat bila ada upaya amar ma’ruf nahi mungkar, penegakan syariat dan sistem politik Islam disebut sebagai paham radikalisme.
“Kalau itu yang kemudian dijadikan musuh, maka itu artinya memang Islam yang diperangi. Dan sikap itu begitu kentara dalam berbagai kampanye perang terhadap radikalisme,” pungkas Iwan.[] Agung Sumartono