Catatan FIWS Terkait Tekanan Barat Soal Pasal Zina KUHP
Mediaumat.id – Berkaitan dengan gelombang penolakan dari luar negeri terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru khususnya terhadap pasal perzinaan, Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi memberikan beberapa catatan politiknya. “Ini beberapa catatan politik yang perlu kita sampaikan terhadap tekanan-tekanan Barat,” ujarnya dalam Kajian Online: KUHP Disahkan, Barat Meradang, Senin (19/12/2022) di kanal YouTube Peradaban Islam ID.
Khawatir
Pertama, betapa besar kekhawatiran Barat terhadap sistem perundang-undangan yang ‘berbau’ syariah di negeri-negeri Muslim. “Mereka itu tampak sangat khawatir kalau kemudian undang-undang di negeri-negeri Islam itu cenderung menjadi undang-undang, bahkan yang sebenarnya baru ‘berbau’ syariah, bukan undang-undang yang berbasis syariah,” tukasnya.
Menurut Farid, istilah zina di KUHP masih ‘berbau’ syariah, tetapi belum benar-benar mendasarkan pada syariah. Sebab secara fundamental, definisi hingga sanksinya masih jauh dari ketentuan syariah Islam.
Adalah Australia, Amerika Serikat (AS) serta PBB misalnya, menolak keras aturan tentang larangan zina dimaksud. Pun hal sama juga dilontarkan oleh media asing dalam hal ini Kantor Berita Reuters.
Pasal perzinaan dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. “Kami tetap prihatin bahwa pasal-pasal moralitas yang mencoba mengatur apa yang terjadi dalam rumah tangga antara orang dewasa yang saling menyetujui,” kata Duta Besar AS untuk Indonesia, Sung Y. Kim pada 6 Desember 2022.
Padahal, kata Farid lebih lanjut, perbuatan yang termasuk zina di KUHP itu harus menyertakan syarat agar bisa diproses secara hukum. “Kalau tidak ada pengaduan dari misalkan dua orang yang sudah menikah, tidak ada aduan dari suaminya atau tidak ada aduan dari istrinya, maka ini tidak bisa diproses secara hukum, gugur secara hukum,” jelasnya.
Dipaksakan
Kedua, reaksi Barat menunjukkan bahwa kapitalisme yang notabene ideologi mereka, senantiasa dipaksakan untuk menjadi standar hukum di negeri lain termasuk negeri-negeri Muslim. Tengoklah bagaimana pluralisme berikut turunan-turunan ideologinya seperti HAM, demokrasi, pluralisme yang akan dijadikan patokan bagi dunia internasional.
Padahal HAM, kata Farid, sampai sekarang tidak bisa disebut atau paling tidak masih terjadi perdebatan yang sangat keras untuk bisa dikatakan HAM bersifat netral.
Standar Ganda
Ketiga, protes Barat itu sesungguhnya berstandar ganda. Pasalnya, secara demokrasi seharusnya setiap pihak dibiarkan untuk menentukan nasib sendiri.
“Kan itu secara demokratis kan seperti itu. Termasuk setiap pihak dibiarkan untuk menentukan sistem hukumnya sendiri,” tegasnya.
Bahkan dalam kacamata demokrasi, ini adalah bagian dari apa yang disebut dengan kebebasan berpendapat, kebebasan beraspirasi yang harusnya justru dihormati oleh semua pihak.
“Tapi ini tampaknya tidak berlaku ketika hasil dari kesepakatan itu kemudian berbasis kepada syariat Islam atau dianggap mengancam kepentingan Barat,” ucapnya.
Tidak Legitimasi
Keempat, sikap penolakan KUHP terutama pasal perzinaan yang pada dasarnya melibatkan peran wanita di dalamnya, Barat juga membuktikan bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki legitimasi apa pun untuk mendiktekan prinsip-prinsip kapitalisme di negeri-negeri Muslim.
Sebab, di satu sisi Barat mengusung perlindungan terhadap wanita sebagaimana ketidaksetujuan terhadap pasal perzinaan KUHP yang bakal diperkarakan secara hukum bagi para pelakunya, tetapi terhadap hak-hak Muslimah di Prancis, misalnya, sama sekali tidak diperhatikan.
“Di mana perhatian mereka terhadap hak-hak perempuan ketika para Muslimah di negeri-negeri sekuler seperti Prancis, Belgia, Denmark, Belanda ditolak haknya atas pendidikannya karena larangan hijab dan niqab yang represif?” sesal Farid.
Begitu juga terhadap Muslimah Rohingya, Uighur, Kirgistan, Uzbekistan, Bangladesh, dan masih banyak yang tertekan di bawah kepemimpinan rezim-rezim penguasa saat ini.
“Ini menunjukkan bahwa Barat sesungguhnya tidak punya legitimasi apa pun, legitimasi politik apalagi moral untuk berceramah tentang hak-hak perempuan,” tegasnya kembali.
Sikap Muslim
Lantaran itu, sebagai seorang Muslim, tentu harus melakukan perubahan paradigma yang fundamental. Sebab, meski diklaim sebagai KUHP baru, tetapi sarat dengan ‘nafas’ kolonial penjajah.
“Nafas-nafas kolonial itu masih sangat jelas dalam revisi KUHP ini,” katanya, seraya menerangkan bahwa secara paradigma pula sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antara KUHP lama buatan penjajah Belanda dengan KUHP sekarang.
Menurutnya, KUHP yang baru masih bersumber dari hukum buatan manusia, yakni hawa nafsu manusia berikut konsep-konsep seperti HAM, kesetaraan gender, terlebih liberalisme dan isme-isme yang lainnya.
“Kalaupun ada aspirasi-aspirasi Islam itu tampaknya sebagai bentuk yang kompromistis aja, tidak benar-benar sesuai dengan syariat Islam,” selanya. Belum lagi muatan sanksinya yang terlalu ringan, yaitu kohabitasi atau kumpul kebo diancam penjara 6 bulan, sedangkan zina hukumannya satu tahun.
Untuk itu, lanjut Farid, apabila benar ingin keluar dari belenggu sistem warisan kolonial, sekali lagi umat harus menggeser atau mengubah prinsip kedaulatan hukum di tangan manusia menjadi kedaulatan hukum yang harus diserahkan kepada Allah SWT.
Di saat yang sama, dengan empat hukum turunan, masing-masing Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma Shahabat dan Qiyas Syar’i yang dijadikan sebagai dalil syariat, sebuah kejahatan akan menjadi jelas definisi serta konsekuensi dari tindakan tersebut.
“Dalam Islam, jarimah atau kejahatan itu adalah semua hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Bukan muncul dari fitrah manusia,” jelasnya, memisalkan tindakan jarimah. Maksudnya, tidak bisa seorang mencuri, lantas ketika dia melakukan tindakan itu lalu mengatakan itu sudah menjadi fitrahnya.
Terakhir penting untuk diingat, apabila tindak kejahatan termasuk fitrah manusia, tentu akan menyalahi sifat Allah SWT yang Mahaadil. “Kalau itu (tindak kejahatan) fitrah, tentu ini merupakan ketidakadilan dari Allah SWT,” pungkasnya.[] Zainul Krian