Uighur Kecewa Arab Condong ke Cina, IMuNe: Akibat Negeri Muslim Tak Mandiri
Mediaumat.id – Sikap para penguasa negeri Arab yang condong ke Cina lantas menimbulkan kekecewaan terhadap kelompok-kelompok Muslim Uighur, dinilai akibat tidak adanya kemandirian dari negeri-negeri Muslim.
“Yang terjadi di balik itu kita bisa melihat bahwa tidak adanya independensi negeri Muslim termasuk penguasa Muslim di negara-negara Arab semakin menunjukkan wajah asli mereka yang sebenarnya,” ujar Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara kepada Mediaumat.id, Senin (12/12/2022).
Sebagaimana diberitakan, selain Raja Salman, Xi Jinping bertemu para pemimpin negara-negara Teluk dalam pertemuan puncak (KTT) Cina-Negara Arab pada Jumat (9/12/2022) lalu.
Namun terlepas agenda yang diusung, faktanya lebih dari 50 kelompok Muslim Uighur pada Kamis mendesak kepala negara dan pemimpin organisasi internasional yang bertemu dengan Xi Jinping, untuk mengecam kejahatan dan kekejaman Cina terhadap minoritas Muslim Uighur.
Kelompok-kelompok itu juga mendesak para pemimpin Teluk untuk bersuara kepada Beijing agar mengakhiri genosida di wilayah Xinjiang.
Namun alih-alih merespons desakan itu, para penguasa negeri Muslim di sana malah menerima kunjungan Xi yang selanjutnya menandatangani perjanjian kemitraan strategis komprehensif, serta setuju untuk mengadakan pertemuan antara kedua kepala negara secara bergiliran setiap dua tahun.
Malah selama awal kunjungan, Saudi dan perusahaan Cina menandatangani lebih dari 30 perjanjian investasi.
Makanya, kata Fika lebih lanjut, apabila dikaitkan dengan kekecewaan kelompok Muslim Uighur, para pemimpin negeri Muslim dimaksud tak lagi menyandarkan kepada ajaran Islam yang mengharuskan berpihak kepada umat Islam termasuk menyelesaikan permasalahan ‘berdarah’ kaum Muslim.
Padahal, Islam telah memberikan standar dalam setiap aktivitas diplomasi dengan luar negeri. Yang tentunya, jelas Fika, dengan prinsip dakwah dan jihad yang sesuai dengan syariah. “Kita lihat Arab Saudi sama sekali tidak lagi memperhitungkan aspek-aspek itu,” sesalnya.
Justru sebaliknya, para penguasa negeri-negeri Muslim saat ini hanya memperhitungkan untuk menyelamatkan negeri mereka masing-masing.
“Presiden As-Sisi (Mesir) sendiri mengatakan penting bekerja sama dengan Cina untuk menyelamatkan mereka dari krisis regional, krisis internasional,” ucap Fika memisalkan.
Jeratan Kapitalisme
Ia melihat, konteks konstelasi negeri-negeri Muslim saat ini masih tidak bisa lepas dari jeratan dua kekuatan dunia yang sama-sama berideologi kapitalisme, baik barat (Amerika Serikat) maupun timur (Cina).
Artinya, tatkala para penguasa negeri Arab tak bisa lagi berharap kepada Amerika Serikat, mereka tak lagi menyandarkan kepada Islam, tetapi memalingkan harapan kepada Cina.
Dengan demikian, ia memandang, bandul diplomasi negara-negara Arab saat ini semakin pragmatis kapitalis. Ditambah isu OPEC yang menunjukkan adanya krisis ekonomi pada aspek produksi minyak.
“Kita tahu harga minyak terus turun. Nah ini juga memberikan konteks kenapa kemudian negara-negara Arab semakin merapat pada Cina,” bebernya.
Bahkan secara normatif, diplomasi ala Barat berikut prinsip pragmatisme tak ada kawan maupun lawan abadi tersebut, tampaknya rezim Arab Saudi saat ini pun semakin condong ke arah liberal, terutama di bawah kepemimpinan putra dari Raja Salman.
“Secara normatif sebenarnya kita lihat, bahkan sudah banyak ulama yang mengatakan Arab Saudi tampaknya sudah mulai bergeser kembali pada budaya jahiliah,” tandasnya.
Sehingga hal wajar ketika tak muncul simpati dari penguasa negeri Arab atas apa yang menimpa Muslim Uighur selama ini. Bahkan seperti diketahui, kekecewaan kelompok-kelompok Muslim Uighur nyaris tak menjadi pertimbangan Raja Salman ataupun otoritas Saudi lainnya di dalam pertemuan itu.
Pungkasnya menegaskan, secara normatif keberpihakan Arab Saudi memang tidak disandarkan pada ajaran Islam, terlebih kepentingan umat Islam dalam hal ini Muslim Uighur yang memang dipersekusi, ditindas oleh rezim Xi Jinping.[] Zainul Krian