Banyak Negara Maju G20 Minta Bantuan Jokowi, Begini Kata HILMI
Mediaumat.id – Pernyataan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang bercerita tentang banyaknya pemimpin negara maju dalam G20 yang meminta bantuan Presiden Joko Widodo, ditanggapi oleh Pengurus Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. Indra Fajar Alamsyah.
“Posisi Indonesia adalah posisi yang penting untuk dimanfaatkan secara ekonomi oleh negara-negara maju dalam G20,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (1/11/2022).
Menurut Indra, posisi Indonesia dengan populasi yang besar dapat dijadikan ceruk pasar yang sangat besar bagi negara-negara industrial. Pada program ekonomi G20 juga terdapat banyak sekali agenda kapitalisme yang dibawa negara-negara penjajah.
Negara-negara tersebut ingin mencari batu pijakan agar bisa keluar dari jurang krisis (terutama semasa pandemi) yang sebenarnya adalah akibat dari ulah mereka sendiri. Isu perekonomian tentang finance track yang membahas ekonomi, keuangan, fiskal dan moneter ditambah bahasan isu ekonomi non-keuangan seperti pembangunan, pariwisata, ekonomi digital dan pendidikan kerja juga semua itu masih berkutat dalam kubangan sistem kapitalisme yang rapuh akan krisis.
“Maka dari itu kepala negara dari negara-negara berkembang terutama negara yang memiliki populasi besar dan sumber daya alam yang besar dijadikan batu pijakan yang sangat tepat bagi para negara-negara penjajah untuk sekadar menghirup udara segar dari krisis walau untuk sekejap,” ucapnya.
Indra melihat, kebanyakan negara-negara maju tersebut bisa jadi meminta Jokowi membantu masalah-masalah internasional, terutama sebagai wakil perdamaian. Padahal akar masalah konflik dunia ini diakibatkan sistem kapitalisme yang digawangi oleh negara-negara maju tersebut. Masalah inilah yang sebetulnya paling tidak mereka pedulikan, mengingat penerapan sistem ekonomi kapitalisme negara-negara tersebut senantiasa memacu konflik karena ketidakadilan yang dibentuk sistem kapitalisme ini.
Ia mengungkapkan, pada beberapa waktu sebelumnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi dalam pidato pembukaan Pertemuan G20 Foreign Ministers’ Meeting menyebutkan bahwa tantangan global yang berusaha disasar G20 adalah isu perdamaian. Maka dari itu Indonesia mengangkat isu multirateralisme untuk merespons tantangan global. Maka dari itu program G20 ini juga untuk pertama kalinya mengundang negara-negara berkembang dan negara pulau kecil seperti Pacific Island Forum dan Carribean Community untuk menumbuhkan rasa saling percaya.
Padahal kenyataannya hal itu tidak lebih dari upaya konsolidasi untuk memastikan negara-negara berkembang agar selalu tunduk patuh pada arahan negara-negara maju (yang notabene sebagai negara penjajah) dengan tagline menjaga perdamaian.
Indra menilai, posisi Indonesia dengan populasi Muslim terbesar seharusnya menjadi negara besar yang diisi oleh para pejuang dan pembela agama Allah, membebaskan para negeri-negeri tertindas dari kezaliman neoliberalisme dan neoimperialisme dari negara-negara maju hari ini. Dan posisi inilah yang coba dikonsolidasikan oleh negara-negara penjajah bahwa posisi Indonesia harus tetap dikerdilkan dari posisi negara dengan populasi Muslim terbesar ini agar menjadi tetap tunduk di bawah penjajahan negara-negara maju dengan dalih kerja sama internasional.
Indra mengatakan, apa yang disampaikan oleh Luhut tersebut adalah untuk menutup-nutupi miskinnya prestasi rezim Jokowi ini, hampir di segala aspek kehidupan mengalami penurunan. Dilihat berbasiskan data-data makro, pertumbuhan dan lainnya tidak ada prestasi yang dapat dibanggakan, yang ada kondisi perekonomian begitu semakin sulit dengan berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat bawah.
Terakhir Indra menyatakan, rezim ini bekerja untuk kepentingan oligarki dan kuasa-kuasa besar yang menancapkan penjajahan gaya baru di tengah-tengah masyarakat.
“Hal ini sangat bersifat sistemik yang tentu harus diurai sampai ke akarnya, penerapan sistem kapitalisme di Indonesia inilah yang sangat merusak tatanan kehidupan masyarakat,” pungkasnya.[] Agung Sumartono