UIY: Hari Santri Nasional, Momentum Lawan Kejahatan Sejarah
Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menyatakan peringatan Hari Santri Nasional harusnya menjadi momentum untuk melawan kejahatan serta usaha menulis ulang sejarah.
“Hari Santri Nasional harus bisa dijadikan momentum untuk melawan kejahatan sejarah itu, serta usaha menulis ulang sejarah,” ujarnya dalam sebuah tulisan yang dipublikasikan sekitar Oktober 2016 silam dengan judul Hari Santri Nasional, Digging Up The Past, namun diteruskan berkali-kali oleh warganet hingga viral kembali saat peringatan Hari Santri 2022.
“Tentang apa yang disebut kebangkitan nasional, pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya, termasuk sejarah pergerakan pra kemerdekaan secara kritis, jujur dan obyektif sehingga peran Islam bisa diletakkan secara tepat,” sambungnya.
Pasalnya, sejarah tidaklah selalu netral. “Sejarah adalah realitas tangan kedua (second hand reality) yang sangat tergantung pada siapa yang menuliskan, dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis,” paparnya.
Pun berkenaan dengan latar belakang penetapan Hari Santri Nasional setiap 22 Oktober yang diperingati sejak 2015 silam. “Mestinya bukan sekadar digging up the past (mengungkap masa lalu), tetapi digging up the truth (mengungkap kebenaran).
Ialah kiprah para santri dan kiai dalam melawan penjajah yang ketika itu senantiasa berusaha mengancam kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan.
Ringkasnya, tepat hari Ahad, 21 Oktober 1945, ungkap UIY, berkumpul para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama).
Sebagaimana diketahui, setelah rapat darurat sehari semalam, pada esoknya dideklarasikanlah seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah Resolusi Jihad. Intinya, membela kemerdekaan Indonesia sebagai negeri Muslim dari kaum penjajah adalah kewajiban syar’i. “Inilah jihad, yang diperintahkan Allah SWT, dan pelakunya sangat dimuliakan,” tandas UIY.
Maka berangkat dari apa yang disebut suatu kepentingan hingga sejarah ditulis, bakal muncul setidaknya tiga jenis kejahatan penulisan sejarah. Pertama, penguburan atau peniadaan peristiwa sejarah termasuk contoh paling nyata soal Resolusi Jihad 1945.
“Bila sejarah pergerakan kemerdekaan ditulis secara jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang tergabung dalam Hizbullah dan para kiai yang tergabung dalam Sabilillah dalam periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia” ulasnya.
Lebih-lebih, peran KH Hasyim Asy’ari tatkala mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan Belanda yang ketika itu, dengan membonceng sekutu, hendak kembali bercokol.
Bahkan menurut KH Salahuddin Wahid, cucu KH Hasyim Asy’ari, kata UIY, resolusi atau fatwa itu telah berhasil mendorong puluhan ribu Muslim, utamanya di Surabaya, untuk bertempur melawan Penjajah Belanda dengan gagah berani.
“Tanpa resolusi itu, mungkin semangat melawan Belanda dan sekutu tidak terlalu tinggi,” tambah UIY, seraya mengatakan dari peristiwa heroik di Hotel Oranye, Surabaya itulah kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan 10 November.
Tetapi sayang, peristiwa yang menurutnya penting itu tidak diulas dalam buku sejarah. “Sungguh aneh, peristiwa 10 November selalu disebut-sebut, tapi Resolusi Jihad yang membuat peristiwa 10 November bisa terjadi malah disembunyikan,” herannya.
Padahal sebagaimana keterangan dari buku Resolusi Jihad Paling Syar’i yang ditulis oleh Gugun el Guyanie, dengan penerbit Pustaka Pesantren 2010, telah digambarkan semangat untuk mengungkap kebenaran sejarah, khususnya seputar Resolusi Jihad dimaksud.
Sedihnya lagi, dari sub judul ‘Biarkan Kebenaran yang Hampir Setengah Abad Dikaburkan Catatan Sejarah Itu Terbongkar’, oleh Sejarawan asal Belanda Martin van Bruinessen pun disebutkan bahwa peristiwa penting itu memang tidak mendapatkan perhatian layak dari para sejarawan.
Kedua, pengaburan peristiwa sejarah. “Siapa sebenarnya inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah? Bila sejarah mencatat secara jujur, mestinya bukan Boedi Oetomo, melainkan Sarekat Islam (SI) yang merupakan pengembangan dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang antara lain dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, yang harus disebut sebagai cikal bakal kesadaran nasional melawan penjajah,” katanya memisalkan.
Bahkan sebagai gerakan politik, urainya, SI ketika itu benar-benar memang bersifat nasional, ditandai dengan eksistensinya di lebih dari 18 wilayah di Indonesia, dan dengan tujuan yang sangat jelas, yakni melawan penjajahan Belanda.
Sebaliknya, Boedi Oetomo sesungguhnya hanya perkumpulan kecil, sangat elitis, bahkan, rasis, serta sama sekali tidak memiliki semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda. “Tetapi mengapa justru sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor?” herannya lagi.
Ketiga, pengaburan konteks peristiwa sejarah, yang tentunya bukan sebuah kebetulan belaka ketika Hari Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasar pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarekat Islam, misalnya.
Pun Hari Pendidikan Nasional, yang menurutnya, tak didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912. “Ke mana Ki Hadjar waktu itu banyak belajar? Ki Hadjar sendiri baru mendirikan sekolah Taman Siswa pada 1922,” singgung UIY mencoba meluruskan sejarah.
Spirit Islam
Oleh karena itu, apabila jujur mengungkapkan sejarah sebenarnya, maka yang akan mengemuka tentu adalah spirit atau semangat Islam.
Namun lagi-lagi UIY menyesalkan, hanya untuk kepentingan politik penguasa, pengungkapan kebenaran tak dikehendaki. “Dalam setting kepentingan politik penguasa saat itu, hal itu sangatlah tidak dikehendaki,” ucapnya.
Padahal, spirit Islam sesungguhnya telah lama menjadi dasar perjuangan kemerdekaan di masa lalu. “Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan Belanda tidak lain didorong oleh semangat jihad melawan penjajah,” beber UIY.
Di antaranya, ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, maka kebanyakan yang tergugah adalah para ulama dan santri dari pelosok desa. Begitu juga pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu di bawah bendera Islam.
“(Pun) perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape (penjajah) Belanda,” ungkapnya.
Bahkan sebutan ‘padri’ pada Perang Padri yang terjadi pada tahun 1803 hingga 1838, jelas menggambarkan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan. Istilah padri sendiri adalah sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan syariat agama Islam dalam tatanan masyarakat di Minangkabau.
Untuk itu, terkait tindak kejahatan penulisan sejarah, UIY juga menilai ada upaya sistematis di dalamnya untuk meminggirkan, bahkan menghilangkan peran Islam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan serta menghilangkan spirit Islam dari wajah sejarah bangsa dan negara ini.
Kebangkitan Hakiki
Lepas itu, ia menjelaskan, sejarah dalam istilah Al-Qur’an seperti halnya kisah yang mengandung ibrah atau pelajaran. Sehingga pengaburan, terlebih penguburan sejarah dari fakta, tentu akan menutupi ibrah yang mestinya bisa didapat.
Maka, bila mengacu kepada sejarah yang benar tentang peran Sarekat Islam, KH Ahmad Dahlan, dan lainnya, juga peran KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihadnya serta peran Hizbullah berikut Sabilillahnya, tentu akan mendapatkan spirit Islam dimaksud.
Yang berarti pula bakal terwujud kebangkitan hakiki berupa kembalinya kesadaran akan hakikat hidup manusia sebagai abdullah dan khalifatullah dengan misi hanya menyembah Sang Khaliq serta memakmurkan bumi dengan menjalankan segala titah-Nya.
“Bukan hanya sebuah kata sloganistik, tetapi suatu kata yang menginisiasi perjuangan bagi sebuah perubahan dalam seluruh aspek kehidupan bangsa dari penjajahan ideologi-ideologi jahiliah yang menyengsarakan rakyat menuju yang memberikan rahmat bagi semua,” pungkasnya.[] Zainul Krian