Tidak Ada Tambahan di dalam al-Quran yang Tanpa Makna
Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertanyaan: sejauh mana kesahihan ucapan ini?
Terjadi diskusi antara seorang ulama nahwu dengan seorang ulama balaghah yaitu Ibnu al-Atsir seputar huruf “an“ di dalam firman Allah SWT:
﴿فَأَصْبَحَ فِى ٱلْمَدِينَةِ خَآئِفاً يَتَرَقَّبُ فَإِذَا ٱلَّذِى ٱسْتَنصَرَهُۥ بِٱلْأَمْسِ يَسْتَصْرِخُهُۥ قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰٓ إِنَّكَ لَغَوِىٌّ مُّبِينٌ * فَلَمَّا أَنْ أَرَادَ أَنْ يَبْطِشَ بِالَّذِي هُوَ عَدُوٌّ لَهُمَا قَالَ يَا مُوسَىٰ أَتُرِيدُ أَنْ تَقْتُلَنِي كَمَا قَتَلْتَ نَفْساً بِالْأَمْسِ﴾
“Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa berkata kepadanya: “Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya)” Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: “Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia?” (TQS al-Qashash [28]: 18-19).
Ulama nahwu berkata; “huruf “ an “ yang pertama adalah tambahan. Seandainya itu dihilangkan dan dikatakan: “ falamma arâda an yabtisya “, niscaya maknanya sama saja. Tidakkah engkau lihat firman Allah SWT:
﴿فَلَمَّا أَنْ جَاءَ الْبَشِيرُ أَلْقَاهُ عَلَى وَجْهِهِ﴾
“Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya’qub” (TQS Yusuf [12]: 96).
Para ahli nahwu sepakat bahwa huruf “ an ” yang dinyatakan setelah lammâ dan sebelum fi’il adalah tambahan. Dengan apa Ibnu al-Atsir menjawabnya? Ibnu al-Atsir menjawab ahli nahwu itu: “para ahli nahwu tidak memiliki keahlian dalam posisi-posisi kefasihan dan balaghah. Mereka tidak memiliki pengetahuan rahasia-rahasianya, dari sisi bahwa mereka adalah ahli nahwu. Tidak diragukan bahwa mereka menemukan huruf “ an “ yang dinyatakan setelah “ lammâ “ dan sebelum fi’il di dalam al-Quran al-Karim dan di dalam ucapan orang-orang yang fasih, lalu mereka beranggapan bahwa makna dengan disertai keberadaan “ an “ adalah sama seperti makna jika huruf “ an ‘ itu dihilangkan. Mereka mengatakan, “ini adalah tambahan”. Padahal perkaranya tidak demikian. Tetapi jika dinyatakan “ lammâ “ dan setelahnya adalah “ an “ lalu fi’il maka hal itu merupakan dalil bahwa tidak ada segeranya Musa as kepada pembunuhan yang kedua sebagaimana segeranya Musa untuk melakukan pembunuhan yang pertama. Bahkan yang ada pada Musa adalah lambatnya dia mengulurkan tangannya. Oleh karena itu al-Quran mengungkapkan ini dengan firman Allah:
﴿فَلَمَّا أَنْ أَرَادَ أَنْ يَبْطِشَ﴾
Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras (TQS al-Qashash [28]: 19).
Dengan ada tambahan huruf “ an “ setelah kata “ lammâ “. Dan jika dinyatakan fi’il setelah “ lammâ “ dengan menggugurkan “ an “ maka hal itu merupakan dalil bahwa perbuatan itu dilakukan segera”. Ibnu al-Atsir mengakhiri diskusinya dengan ucapannya: “detail-detail ini tidak diambil dari para ahli nahwu sebab itu bukan bagian dari urusan mereka”.
Yakni: apakah apa yang dikatakan oleh Ibnu al-Atsir itu detail (tepat)? Dan jika tidak demikiran lalu apakah di dalam al-Quran ada ucapan tambahan?
[Drmusab Al-froukh]
Jawab:
Tampak bahwa ada sesuatu yang belum terpenuhi di dalam apa yang dikatakan oleh Ibnu al-Atsir dan apa yang dikatakan oleh teman diskusinya dalam diskusi tersebut …. Dan masalah tersebut seperti yang saya lihat adalah sebagai berikut:
Ayat yang mulia:
﴿ فَلَمَّا أَنْ أَرَادَ أَنْ يَبْطِشَ بِالَّذِي هُوَ عَدُوٌّ لَهُمَا ﴾
“Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: “Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia?” (TQS al-Qashash [28]: 18-19).
Ayat ini mengandung dua perkara yang wajib dipahami, yaitu: “ an yabthisya “ dan “ falammâ an “.
1- Adapun yang pertama yaitu huruf nashab “ an “ yang masuk terhadap fi’il mudhari’ maka itu merupakan huruf bersifat mashdar, nashab dan istiqbâl (harfun mashdariyun wa nashabun wa istiqbâlun):
Dia menjadikan lafal sesudahnya dalam takwil mashdar. Misalnya, firman Allah SWT:
﴿يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ﴾
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu” (TQS an-Nisa’ [4]: 28).
Ditakwilkan -ditafsirkan- “yurîdullâh at-takhfîfa ‘ankum -Allah menginginkan keringanan kepada kalian-” … dan huruf “ an “ di situ menashabkan fi’il mudhari’… Adapun itu merupakan huruf istiqbâl, karena dia menjadikan fi’il mudhari’ di situ murni untuk masa akan datang, “dan demikian juga semua yang menashabkan fi’il mudhari’ “. Tetapi fi’il mudhari’ tanpa masuknya huruf nashab maka tetap berkemungkinan masa sekarang dan masa akan datang… Berdasarkan makna huruf nashab di atas maka makna ayat:
﴿ فَلَمَّا أَنْ أَرَادَ أَنْ يَبْطِشَ بِالَّذِي هُوَ عَدُوٌّ لَهُمَا ﴾
“Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: “Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia?” (TQS al-Qashash [28]: 18-19).
Dirajihkan di situ bahwa Musa as tidak bersegera membunuhnya tetapi mulai berpikir (untuk membunuhnya) karena teksnya ﴿أَرَادَ أَنْ يَبْطِشَ﴾ dan bukan أَرَادَ يَبْطِشُ dan jika tidak maka niscaya berkemungkinan masa sekarang (al-hâl) dan masa akan datang (al-istiqbâl), yakni segera (al-fawr) atau berpikir untuk mengambil keputusan, dan karenanya memerlukan qarinah untuk merajihkan fi’il yakni bermakna masa sekarang (al-hâl) atau masa akan datang (al-istiqbâl). Adapun ﴿أَرَادَ أَنْ يَبْطِشَ﴾ maka itu untuk masa akan datang tanpa masa sekarang, artinya setelah suatu jangka waktu berpikir meski sebentar.
2- Adapun penggunaan “ an “ setelah “ lammâ “ maka itu berarti tambahan secara bahasa sebab “ lammâ an arâda “ dari sisi redaksi secara bahasa adalah semisal “ lammâ arâda “. Tetapi itu adalah tambahan untuk makna yaitu penegasan perlambatan dalam al-bathsyu (penindasan/pembunuhan), yakni penegasan terhadap apa yang dinyatakan setelahnya “ an yabthisya “ yakni penegasan tidak adanya kesegeraan dalam pembunuhan tetapi terjadi berpikir dan menyusun keputusan meski sebentar.
3- Begitulah, huruf “ an “ yang pertama di dalam ayat yang mulia itu yakni “ an arâda “, adalah tambahan dari sisi redaksi kebahasaan, tetapi punya makna, yaitu penegasan menunggu (penundaan waktu) dalam al-bathsyu (pembunuhan) yang dinyatakan setelahnya “ an yabthisya “. Tidak dikatakan bahwa penegasan itu berarti penegasan sesuatu yang ditegaskan setelah sesuatu yang ditegaskan (al-mu`akkad ba’da al-mu`akkad), secara waktu dan redaksi, semisal firman Allah SWT:
﴿فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ﴾
“Maka datangkanlah satu surat semisalnya”.
Merupakan penegasan secara waktu (ta`kîdun zamaniyun) sebagaimana dijelaskan di bawahnya, dan “ jâ`a jâ`a ‘aliy “ atau “ lâ, lâ abûhu bi asy-syarri “ merupakan penegasan secara redaksi (ta`kîdun shiyâghatun) … Ini benar, namun jika penegasan itu dari sisi penegasan yang sinonim (at-ta`kîd al-mutarâdif) maka boleh terjadi sekaligus tanpa yang dahulu dan setelahnya (al-qabliyah wa al-ba’diyah) menjadi syarat dalam penegasan yang sinonim (at-ta`kîd al-mutarâdif). Misalnya, Anda katakan “ atâ jâ`a ‘aliy “. Lafal atâ dan jâ`a termasuk bab penegasan yang sinonim, dan al-qabliyah wa al-ba’diyah tidak dinyatakan di sini … Begitulah, “ falammâ an arâda “ memberi faedah penantian dan penundaan (at-tarabuts wa al-imhâl), yakni bukan langsung (bukan segera). Demikian juga setelahnya “ an yabthisya “ merupakan fi’il mudhari’ yang dinashabkan, dan nashab semata adalah untuk masa akan datang yakni tidak langsung (segera). Ini dari sisi penegasan yang sinonim (at-ta’kîd al-mutarâdif) … Oleh karenanya, huruf “ an “ dalam “ falammâ an arâda “ dapat dikatakan bahwa itu merupakan tambahan secara bahasa tetapi untuk makna yaitu penegasan yang sinonim kepada “ an yabthisya “, yakni bahwa Musa as tidak membunuh lawan itu segera langsung, tetapi dia menunda dan memikirkan perkara tersebut …
4- Adapun apakah di dalam al-Quran al-Karim ada huruf tambahan, maka jika yang dimaksudkan adalah tambahan bukan untuk makna tertentu maka saya tidak berpandangan demikian. Tidak ada huruf tambahan di dalam al-Quran tanpa makna. Saya telah menyebutkan hal itu di buku saya at-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr – Sûrah al-Baqarah yang mana di situ dinyatakan ketika menafsirkan ayat yang mulia:
﴿فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ﴾
“Maka datangkanlah satu surat semisalnya”.
Dinyatakan: “tidak ada di dalam al-Quran pengulangan atau tambahan bukan untuk makna tertentu. Oleh karena itu, semua yang dinyatakan di dalam al-Quran dan seolah-olah merupakan pengulangan atau tambahan, adalah dalam hakikatnya untuk menambah makna semisal “ min “ di sini. Itu memberi faedah tambahan makna yaitu penegasan yakni penegasan tantangan sebelumnya”.
Adapun jika yang dimaksudkan adalah huruf tambahan untuk makna tertentu maka ini ada di dalam al-Quran. Firman Allah SWT di dalam surat al-Baqarah:
﴿فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ﴾
“Maka datangkanlah satu surat semisalnya”.
Di sini “ min “ mungkin dikatakan bahwa itu merupakan tambahan secara bahasa tetapi bukan tanpa makna, tetapi itu memberi faedah makna penegasan secara waktu yakni penegasan untuk perkara yang mendahuluinya. Ini berarti bahwa ayat ini turun setelah tantangan sebelum ayat ini, kemudian sekarang ayat ini datang untuk menegaskan tantangan sebelumnya itu. Dan dengan merenungkan ayat-ayat al-Kitab menjadi jelas bahwa tantangan ini turun sebelum tantangan yang itu, di Mekah di surat Yunus as.
﴿أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ﴾
“Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya”. Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya “ (TQS Yunus [10]: 38).
Dan surat Yunus adalah makiyah sedangkan surat al-Baqarah adalah madaniyah, artinya turun setelah surat Yunus. Maka ayat al-Baqarah itu menjadi penegasan untuk ayat Yunus sebelumnya. Dan hal itu dengan tambahan “ min “ di ayat surat al-Baqarah tentang tantangan itu dari di surat Yunus. Maka “ min “ itu memberi faedah penegasan apa yang sebelumnya dan bukan tanpa makna.
Begitulah, saya pahami bahwa tidak ada tambahan di dalam al-Quran tanpa makna. Wallâh a’lam wa ahkam.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
04 Rabiul Awwal 1444 H
30 september 2022 M
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/84591.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/645049820515724