Pimpinan KPK Upayakan Restorative Justice, Siyasah Institute: Tidak Tepat!

 Pimpinan KPK Upayakan Restorative Justice, Siyasah Institute: Tidak Tepat!

Mediaumat.id – Pernyataan pimpinan atau komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak yang akan mengupayakan restorative justice dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor), dinilai Direktur Siyasah Institute Iwan Januar tidak tepat.

“Tidak tepat bila negara melakukan restorative justice dalam tindak pidana korupsi. Itu sama artinya mengebiri rasa keadilan pada rakyat,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jumat (30/9/2022).

Iwan mengatakan, restorative justice itu adalah proses mediasi dan dialog antara pelaku dan korban atau keluarganya dan pihak yang terkait. Dalam kasus pidana lain seperti pembunuhan, perampokan, penipuan, hal itu dimungkinkan, karena korbannya adalah individu atau badan hukum. “Tapi dalam kasus korupsi korbannya kan rakyat, sedangkan negara adalah institusi yang harus melaksanakan amanat rakyat,” ujarnya.

Menurutnya, kalau pertimbangannya adalah soal biaya, solusinya adalah harus dibuat proses pengadilan yang efektif dan efesien sehingga cost-nya tidak besar. “Dengan proses restorative justice justru membuat pelaku korupsi bisa bernegosiasi dengan pemerintah, dan mereka juga tidak takut untuk membayar denda karena bisa jadi mereka sudah punya dana simpanan hasil korupsi yang besar yang tidak terlacak negara,” ungkapnya.

Selain itu, kata Iwan, cara seperti ini tidak akan membuat koruptor jera. “Tidak ada yang ditakuti. Sudah saatnya pemerintah menjatuhkan vonis berat sampai hukuman mati bagi pelaku korupsi. Sita harta yang tidak wajar dengan cara audit yang ketat, dan cabut hak politik mereka untuk ikut pilkada, pileg, selama beberapa tahun,” sarannya.

Proses restorative justice, menurut Iwan, justru menunjukkan kelemahan negara pada koruptor. “Negara bisa diajak mediasi, dan belum tentu denda yang dibayarkan oleh pelaku membuat ia jera,” tegasnya.

Iwan menilai, korupsi dalam sistem demokrasi, khususnya di Indonesia, tidak akan bisa diberantas dengan hukum produk manusia. “Karena selalu ada peluang tawar menawar hukum, pelemahan konstitusi, intervensi kekuasaan, dan pemerintah juga royal memberikan remisi. Mental sebagian besar rakyat dan aparat juga sudah korup akibat puluhan tahun korupsi membudaya,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *