Pakar Beberkan Akar Masalah dan Solusi Karut-Marut BBM
Mediaumat.id – Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., Ak., memaparkan, akar permasalahan karut-marut seputar kebijakan terkait bahan bakar minyak (BBM) terletak pada liberalisasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) Indonesia.
“Akar masalah karut-marut BBM itu sebenarnya mengerucut pada satu yaitu liberalisasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia termasuk dalam hal ini adalah bahan bakar minyak dan gas,” ujarnya dalam Kajian Ekonomi Islam: Prinsip Pengelolaan BBM dalam Islam, Senin (29/8/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Pernyataan itu ia ungkapkan untuk menanggapi rencana pemerintah yang bakal menaikkan harga BBM bersubsidi terutama jenis pertalite, solar dan gas elpiji 3 kg dalam waktu dekat.
Menurutnya, ada enam faktor turunan penyebab karut-marut dimaksud yang terlebih, berdampak kepada munculnya rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Pertama, suatu harga barang misalnya, tidak semata-mata ditentukan oleh banyak sedikitnya penawaran dan permintaan.
“Harga barang itu tidak semata-mata ditentukan oleh persediaan tapi kadang-kadang juga ditentukan oleh rekayasa pasar yang memang disebabkan oleh para kapitalis,” jelasnya, seraya menyebut hal itu sebagai sesuatu yang tidak seharusnya.
Malah secara Indonesia, bebernya, sejak adanya Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, justru memberikan keleluasaan bagi swasta untuk menguasai 80 persen lebih sumber migas.
“Sehingga perusahaan-perusahaan internasional seperti Chevron kemudian juga milik Inggris, Shell, itu kemudian mendominasi di berbagai negara dan merekalah yang akhirnya menentukan harga,” ungkapnya.
Dengan kata lain, dampak dari liberalisasi eksplorasi migas oleh swasta tersebut, pada akhirnya menjadikan pemerintah tak berdaya dalam hal pengendalian harga.
Kedua, pemerintah memandang subsidi BBM bakal membebani APBN sehingga berpotensi jebol.
Menurut Arim, angka Rp502 triliun yang disodorkan pemerintah kenyataannya tidak sebesar itu. “Ternyata Rp502 triliun itu bukan hanya subsidi untuk 2022, ternyata di situ ada BBM-nya, ada energinya dan juga ada (pagu anggaran) 2021 juga,” ungkapnya, dengan mengatakan pemerintah telah melakukan kebohongan.
Selain itu, tegasnya, memang di dalam sistem kapitalisme meniscayakan belanja subsidi bakal disebut membebani APBN. Sementara untuk pembiayaan bunga utang yang faktanya jauh lebih besar tidak dikatakan demikian.
Sekadar diketahui, melansir dari data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, termaktub informasi besaran belanja pemerintah pusat menurut jenis pembayaran bunga utang yang lebih besar dari belanja subsidi.
Pada periode 2018-2021, realisasi pembayaran bunga utang mencapai Rp257,95 triliun (2018), sebesar Rp275,52 triliun (2019), sebesar Rp314,09 triliun (2020), dan sebesar Rp343,49 triliun (2021).
Pada tahun ini, meski lebih rendah dari target yang tercatat Rp405,87 triliun, realisasi bunga utang diperkirakan mencapai Rp403,87 triliun.
Lantas pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023, anggaran untuk pembayaran bunga utang menembus Rp441,4 triliun, naik 35,5% dibandingkan yang tertuang dalam Perpres 98/2022.
Terlepas itu, sambung Arim, pemberian subsidi merupakan sebuah kewajiban negara terhadap rakyatnya. “Kalau kita lihat faktanya, sebenarnya kan wajar rakyat mendapatkan subsidi, karena sebagian besar dari APBN itu juga sumbernya dari pajak,” urainya.
Ketiga, pemerintah tidak memiliki political will atau kemauan politik yang cukup kuat untuk membangun kilang.
Hal itu ia dasarkan pada tren permintaan BBM impor yang terus meningkat. “Tentu ini membahayakan, saya kira, keamanan energi Indonesia menjadi rentan,” lugasnya.
Keempat, pembebanan pajak yang juga diberlakukan pada komoditas BBM. “Hampir semua objek transaksi jual beli dengan masyarakat dibebani dengan pajak, BBM juga ternyata tidak lepas, pemerintah juga mengenakan komponen PPN dan pajak BBM terhadap harga yang dijual kepada masyarakat” ulasnya.
Kelima, kenaikan harga minyak mentah dunia yang lagi-lagi tidak selalu ditentukan oleh supply and demand atau penawaran dan permintaan.
“Dalam sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan transaksi-transaksi di pasar modal dalam konteks ini pasar komoditas itu kemudian menjadi permainan para spekulan untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya,” terangnya.
Keenam, karut-marut pengelolaan BBM hingga harganya menjadi mahal, disebabkan adanya keterkaitan dengan mata uang dolar Amerika.
Sebagaimana diketahui, hampir setengah dari kebutuhan BBM RI yang mencapai kurang lebih 1.5 juta barel per hari, didapatkan dari impor. “Ketika impor, maka harganya selain harganya menggunakan harganya tinggi, juga nilai tukar rupiah terhadap dolar juga jeblok,” ucapnya.
Maknanya, kenaikan harga BBM bukan semata-mata karena harga minyak dunia naik, tetapi faktor melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Sistem Islam
“Lalu bagaimana sih sebenarnya sistem ekonomi Islam mengelola BBM sehingga BBM itu kemudian tidak menjadi problem, tidak menjadi masalah bagi masyarakat, bagi rakyat?” lanjutnya.
BBM, kata Arim, dalam pandangan Islam disebut sebagai barang milik umum yang pengelolaannya diserahkan kepada negara, sehingga haram diserahkan kepada swasta.
Begitu pula distribusinya. “Dalam pandangan Islam, peran negara itu bukan hanya sebagai regulator dalam konteks bahan bakar minyak, negara dalam sistem ekonomi Islam ya dia sebagai regulator sekaligus sebagai pelaku bisnis,” jelasnya.
Namun dengan catatan, sebagai regulator, kepala negara juga akan menentukan perundang-undangan terkait dengan BBM yang tentunya berdasarkan pada hukum Allah SWT.
“Dalam sistem ekonomi Islam, itu tidak diserahkan kepada rakyat, pembuatan hukum itu ditetapkan oleh kepala negara didasarkan pada hukum Allah SWT,” tegasnya.
Lebih jauh, negara akan membentuk perusahaan-perusahaan yang disebut dengan badan usaha milik umum berikut sektor energi misalnya, yang ada di bawahnya. “Semua nanti dalam sistem ekonomi Islam itu di bawah kendali badan usaha milik umum yang dibentuk oleh negara,” imbuhnya.
Pun orientasinya bukan lagi keuntungan dengan tidak memedulikan penderitaan rakyat seperti apabila swasta yang mengelola. Tetapi lebih kepada melayani seluruh warga negara.
Memang, kata Arim, semua itu membutuhkan biaya besar. Namun manfaat atau keuntungan yang dihasilkan juga cukup besar.
Hal itu tampak ketika swasta pun berbondong-bondong ingin memiliki hak penguasaannya. “Keuntungan yang mereka dapatkan ketika mereka bisa menghasilkan, menemukan sumber minyak itu akan menutupi semua biaya eksplorasi yang mereka keluarkan,” jelasnya.
Kata Arim lagi, komoditas BBM dalam pandangan ekonomi, terkategori inelastis sempurna. Maksudnya, berapa pun harga yang ditetapkan, tidak mempengaruhi jumlah permintaan.
Dengan kata lain dikarenakan termasuk kebutuhan, tetap akan dibeli oleh masyarakat. “Ini kan bahayanya,” cetusnya.
Oleh karena itu, dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan SDA dalam hal ini BBM dan gas, yang pertama dan utama adalah memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Baru setelah itu, apabila memang terdapat kelebihan, negara boleh menjual ke luar negeri. Itu pun dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara.
“Silakan itu mencari keuntungan yang keuntungan itu nanti juga akan dikembalikan pada rakyat dalam berbagai bentuk fasilitas atau pelayanan negara terhadap rakyat,” imbau Arim.
“(Atau) bisa aja misalnya, kepala negaranya mengambil kebijakan, ini BBM dijual dengan harga pasar tetapi semua keuntungan itu akan kembali kepada rakyat,” sambungnya.
Dengan demikian, kebijakan penentuan harga dalam negeri pun bisa disesuaikan dengan harga pasar, harga pokok, atau di bawahnya tergantung pertimbangan ekonomi, sosial politik bagi negara untuk kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat melalui penerapan syariat.
Terakhir, dalam sistem ekonomi Islam, negara berperan sebagai wakil rakyat dalam hal pengelolaan SDA. “Negara itu memang wakil dari rakyat untuk mengelola sumber daya alam yang sebenarnya sumber daya alam tersebut juga milik umat, milik rakyat,” pungkasnya. [] Zainul Krian