Palestina, Negeri Muslim Pertama Akui Kemerdekaan Indonesia
Mediaumat.id – Menyoal bergala Palestina dan Indonesia selama ini, Filolog Salman Iskandar mengungkapkan bahwa Palestina termasuk negeri Muslim pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
“Dalam catatan sejarah nasional, kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus t1945, bahwasanya negeri-negeri pertama yang mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia lepas dari kolonialisme adalah Muslimin dari Jazirah Arabia, baik itu dari Palestina, Mesir, Yordania, Saudi, Yaman, dan lain sebagainya,” ungkapnya, Kamis (11/8/2022) dalam siaran langsung di YouTube Khilafah Channel Reborn berjudul The Short History of Palestine Indonesia Relationship.
Salman mengisahkan, di era revolusi kemerdekaan sekira September 1944, bala tentara Dai Nippon yang sudah mulai terdesak dalam Perang Pasifik oleh pasukan Amerika meminta bantuan dan dukungan dari masyarakat negeri-negeri yang diduduki oleh bala tentara Nippon.
“Kekaisaran Jepang yang ada di Tokyo yaitu pemerintahan junta militer Nippon dengan Perdana Menterinya Jenderal Kuniaki Koiso memberikan janji kelak di kemudian hari (kemerdekaan),” ujarnya.
Sekitar satu hari berikutnya, ia mengatakan bahwa janji kelak di kemudian hari itu sampai ke seluruh dunia Islam. “Maka salah seorang di antara Imam Masjidil Aqsa, Baitul Maqdis, Palestina di Yerusalem yaitu sosok yang dikenal sebagai Imam Muhammad Amin al-Husaini begitu mendengar kabar bahwa Muslim di ujung timur dunia yaitu Nusantara Indonesia akan menyongsong kemerdekaannya, ia pun kepada rakyat Muslim dunia untuk ikut mendukung kemerdekaan bangsa Muslim Nusantara Indonesia,” bebernya.
“Kemudian juga didukung sosok aghniya (kaya) Muhammad Tohir Aldi yang dengan kekayaannya berderma untuk mendukung para pejuang untuk menyuarakan terkait upaya merebut dan meraih kemerdekaan di Nusantara Indonesia,” terangnya.
Salman mengungkapkan bahwa sosok Muhammad Tohir Aldi pun dikenal sebagai sosok jurnalis dan pemilik koran dan media massa di Palestina dan wilayah Syam di Timur Tengah.
“Melalui keterampilan jurnalisnya, Muhammad Tohir Aldi itu menyuarakan dukungan bangsa Arab khususnya Muslimin Palestina terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia,” jelasnya.
Efek langsung atau imbas dari fatwa Imam Muhammad Amin al-Husaini dan publikasi oleh Muhammad Tohir Aldi tersebut, dikatan Salman membuat Muslimin Palestina dan Muslimin Arabia pada umumnya itu mendukung Indonesia dalam upaya untuk merebut kemerdekaannya.
“Itu bukti hubungan dan jalinan harmonisasi di antara dua negeri Muslim, baik yang ada di negeri ini dengan Muslimin yang ada di Timur Tengah, khususnya yang ada di Baitul Maqdis Palestina,” tandasnya.
Islamisasi Nusantara
Salman menjelaskan, sebelum era kemerdekaan, hubungan Palestina dengan Indonesia telah terjalin sekian lama, yaitu dengan adanya islamisasi Jawa Dwipa sejak permulaan abad ke-15 Miladiah. “Kedua bangsa Muslim ini semakin harmonis,” tuturnya.
“Awal Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi melalui jalur maritim dan terjadi islamisasi di Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian berlanjut perkembangan Islamisasi yang ada di Nusantara dalam bentuk kesultanan-kesultanan Islam,” terangnya.
“Sampai membentuk instruksi politik Islam, di antaranya adalah Kerajaan Jeumpa pada tahun 770 yang kemudian diinisiasi oleh Abdullah al-Hind dan diteruskan oleh menantunya yaitu Salman Syahriansyah. Kekuasaan itu berlangsung sampai tahun 840,” lanjutnya.
Kemudian dilanjutkan oleh Peurlak, salah satu di antara anak keturunan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, Salman menyebutkan Sayyid Abdul Aziz Shah, membentuk kekuatan yang ada di wilayah Lhokseumawe (Peurlak) semenjak tahun 840 dan disublimasi dengan keberadaan dari Kesultanan Samudera Pasai pada tahun 1267 dengan Sultan Malikul Shalih.
“Kekuasaan Samudera Pasai merupakan kekuasaan Islam yang paling megah yang pernah ada di Kepulauan Sumatera, bahkan pengaruhnya sampai ke wilayah Semenanjung Pamalayu atau Malaysia, Patani di Muangthai Selatan, dan sampai di perbatasan Jawa Dwipa,” terangnya.
Pada tahun 1404-1408, Salman mengatakan para duta dakwah mulai berdatangan ke Pulau Jawa. “Dua di antaranya berasal dari Baitul Maqdis dengan memulai dakwahnya di Tatar Sunda. Mereka juga ke daerah Demak, Kudus, dan lain-lain,” tuturnya.
Edukasi
Salman yang juga seorang sejarawan menghimbau agar dilakukan edukasi kepada masyarakat, sehingga memahami hubungan antar negeri-negeri Muslim. “Bagaimana kita menyampaikan informasi yang sahih berkenaan dengan apa yang terjadi di negeri kita dan negeri-negeri Muslim yang lain,” anjurnya.
“Saat ini dunia Islam tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Negeri Muslim itu telah terpecah belah sedemikian rupa yang pada awalnya satu itu menjadi sekian banyak,” sebutnya.
Negeri-negeri Muslim yang terpecah belah, menurutnya tidak begitu sulit untuk menunjukkan soliditasnya ataupun persatuannya, karena Allah memerintahkan hal tersebut.
Ia menukil potongan surah Ali Imran ayat 103, yang artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”
“Hendaknya kita semuanya bersatu padu dalam tali agama Allah, itu dalam akidah Islam. Janganlah kita terpecah belah dan harus bersatu. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mengatur dalam satu naungan, kepemimpinan, junnah (perisai), dan perlindungan,” paparnya.
Dulu ketika ada seruan untuk islamisasi Pulau Jawa, itu disambut di dunia Islam. Ternyata bukan hanya Muslimin dari Samudra Pasai saja sebagai inisiator awal, tetapi kemudian disambut oleh Sultan Marinia, Sultan Utsmani, bahkan oleh para alim ulama dari Timur Tengah.
“Mereka berangkat dari kota pelabuhan satu ke kota pelabuhan yang lain. Bahkan dikisahkan sosok yang dikenal sebagai Maulana Hasanuddin dari Palestina tiba di perairan Kota Pelabuhan Karawang dan Kota Pelabuhan Muara Jati Cirebon, itu ikut menumpang kapal misi persahabatannya Laksamana Cheng Hoo,” ungkapnya,
Salman memungkasi penjelasannya, “Ketika ada kampanye Islamisasi di Pulau Jawa, satu sama lain saling mendukung dan menolong. Kenapa? Karena ada bentuk ukhuwah islamiah yang dipahami secara begitu baik itu oleh kaum Muslim.”[] Rere