Pakar: Hanya Khilafah yang Bisa Kelola Negara Tanpa Pajak
Mediaumat.id – Menjawab kemungkinan mengelola sebuah negara dalam hal ini perolehan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tanpa pajak, Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., Ak., CA. menegaskan hanya bisa melalui sistem pemerintahan khilafah.
“Kalau mau mewujudkan APBN tanpa pajak, menurut sejarah, menurut fikih, menurut Al-Qur’an dan hadits itu hanya bisa dilakukan dengan sistem politik Islam yang disebut dengan sistem khilafah,” ujarnya dalam Kajian Ekonomi Islam: Mengurus Negara Tanpa Pajak, Mungkinkah? Sabtu (23/7/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Pasalnya, kebijakan memungut tidaknya pajak yang bakal diterapkan sebuah negara, misalnya, secara tidak langsung juga menyebut suatu sistem yang menjadi dasar pelaksanaannya.
Adalah sistem ekonomi Islam berikut paradigma APBN syariah yang akan menjadikan sumber utama pendapatan negara berasal dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pungutan lain yang tentu saja tidak memberatkan seperti yang saat ini diberlakukan.
“Sistem politiknya sistem politik Islam, sistem ekonominya sistem ekonomi Islam, baru (tanpa pajak) itu bisa dijalankan,” ulangnya.
Malah secara sejarah, kesejahteraan senantiasa meliputi seluruh warga negara di dalam naungan sistem pemerintahan khilafah kala itu.
Dengan kata lain, untuk menyelesaikan krisis secara tuntas saat ini pun tidak ada jalan lain, kecuali menghentikan sistem ekonomi, kebijakan fiskal, termasuk kebijakan APBN-nya yang kapitalistik, yang tidak sejalan dengan ketentuan Islam.
Tetapi penting diingat, pesan Arim, untuk mencapai itu diperlukan perjuangan total dengan mendakwahkan Islam secara politik kepada segenap umat.
Maknanya, menyampaikan bahwa agama Islam diturunkan tidak mengatur urusan ibadah mahdhah saja, tetapi seluruh aspek kehidupan. “Kita ganti dengan sistem ekonomi Islam, kebijakan fiskal Islam, kebijakan APBN menurut Islam,” tandasnya.
Indonesia
Sebagaimana diketahui, terang Arim terkait Indonesia hingga kini, persentase pendapatan negara dari sektor pajak tahun ke tahun selalu meningkat dibandingkan dari hasil pengelolaan sumber daya alam (SDA).
“Terakhir (2021) itu kan di atas 80 persen,” ungkapnya dengan juga membeberkan bahwa di tahun 1990-an antara sektor pajak dan SDA porsinya masih sama sebagai penyokong utama APBN.
Menurutnya, persoalan ini erat kaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan di hampir seluruh negara di dunia saat ini, yakni kapitalisme.
Sedangkan negara yang menerapkan sistem tersebut memang meniscayakan sumber utama APBN-nya dari pungutan pajak di samping juga dari utang yang nantinya digunakan untuk menutupi defisit anggaran.
“Di mana pun. Amerika, Indonesia, Eropa, Jepang misalnya, sebagian besarnya dari pajak,” ucapnya.
Sebabnya, di dalam sistem ekonomi kapitalis pengelolaan SDA memang cenderung diserahkan kepada swasta berikut paradigma liberalisasinya. “Sumber daya alam diserahkan kepada swasta, sementara negara untuk mengurus rakyat itu memungut pajak dari rakyat,” sesalnya.
Tak ayal, yang terjadi adalah negeri ini, Indonesia, sangat menggantungkan sebagian besar pendapatannya melalui pajak.
Sehingga pula, meski dikatakan sudah merdeka, kata Arim, sebenarnya Indonesia bisa dikatakan masih terjajah secara ekonomi.
Serahkan Pada yang Mampu
“Kalau tidak bisa mengurus negara dengan sumber daya alam yang kaya di Indonesia, ya turunlah. Serahkan kepada kelompok yang mampu mengelola sumber daya alam ini sehingga tidak akan menjadikan pajak sebagai sumber utama APBN,” singgung Arim atas pernyataan Menteri Keuangan.
Lebih-lebih, sambungnya, negeri ini sudah berulang kali mengalami krisis keuangan.
Sebagaimana diberitakan sempat ramai tagar di media sosial yang menyuarakan untuk tidak membayar pajak.
Lantaran itu Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara Perayaan Hari Pajak, di Jakarta, Selasa 19 Juli 2022 lalu, pun merespons dengan mengatakan, ‘bagi yang tidak mau bayar pajak maka silahkan jangan tinggal di Indonesia’.
Artinya, betapa melimpah sebenarnya SDA di Indonesia yang apabila dioptimalkan dengan langsung mengambil alih penguasaan dan pengelolaan, enggak bakalan keluar pernyataan Menkeu tersebut.
Apalagi berkenaan dengan nilai subsidi bagi masyarakat yang menurutnya tidak seberapa dibandingkan pembiayaan bunga utang tahunan. “Bunganya saja Rp405 triliun. Pernah teriak itu enggak (pemerintah)?” tegasnya tentang utang di tahun ini.
Sederhananya, selain menyesatkan pernyataan menteri tersebut menunjukkan sikap frustrasi terkait kewajiban mengurus negara. “Pernyataan pejabat yang frustasi enggak bisa ngurus negara, harusnya mundur bukan menyuruh rakyat keluar dari Indonesia,” pungkasnya sekali lagi. [] Zainul Krian