Menteri Bahrain Dipecat karena Tolak Jabat Tangan Dubes Israel, Pengamat: Orang-Orang Idealis Itu Masih Ada
Mediaumat.id – Dipecatnya Menteri Kebudayaan Bahrain Sheikha Mai binti Mohammed Al Khalifa karena tidak mau berjabat tangan dengan Dubes Israel dinilai Magister Kajian Timur Tengah dan Islam Iranti Mantasari BA.IR, M.Si. sebagai optimisme masih adanya orang-orang idealis.
“Menteri Bahrain yang dipecat karena menolak menjabat tangan duta besar Israel adalah yang pertama bahwa orang-orang idealis yang memegang teguh idealisme mengenai siapa yang menjadi kawan dan siapa jadi lawan itu masih ada,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Rabu (27/7/2022).
Menurutnya, ini sebuah optimisme bahwa jika orang-orang idealis seperti ini semakin banyak dan diperbanyak dengan dikuatkan pemahaman keislaman dan pemahaman tentang politik maka ini akan menjadi jalan kebangkitan Islam.
“Bagaimana Islam memandang politik hubungan luar negeri dan sebagainya, maka biidznillah (dengan izin Allah) di sana akan bisa memunculkan kemenangan dan kebangkitan Islam dan dalam aspek politik itu sendiri. Itu yang pertama,” ungkapnya.
Kemudian yang kedua, kata Iranti, ternyata kejadian ini menunjukkan sisi lain dari Bahrain itu sendiri. “Salah satu negara di Jazirah Arab bertetangga dekat sekali dengan Arab Saudi bahkan ini ternyata tidak terlalu jauh bedanya dengan Arab Saudi atau beberapa negara Arab lainnya seperti UEA (Uni Emirat Arab) yang sudah secara resmi menormalisasi hubungan dengan Israel,” ujarnya.
Menurutnya, itu adalah langkah yang sangat kontroversial karena sebagaimana yang dipahami, dunia Arab kalau dilihat dari perjalanan perjuangan mereka, justru banyak yang membela Palestina. “Tapi semakin ke sini semakin liberal, semakin sekulernya negeri-negeri Arab, malah mereka semakin bersahabat dengan Israel,” sesalnya.
“Ternyata Bahrain yang meskipun belum melakukan normalisasi hubungan dengan Israel secara resmi, tetapi juga sudah menunjukkan gelagat seperti itu,” tambahnya.
Iranti menilai ini pertanda bahwa paradigma sekuler khususnya paradigma yang mengutamakan politik pragmatis dan juga politik transaksional. “Tentu saja karena pasti akan ada yang didapatkan oleh Bahrain ketika mereka melakukan normalisasi hubungan dengan Israel,” ungkapnya.
Menurutnya, ini menjadi sangat jelas bahwa negeri-negeri kaum Muslim termasuk negeri Arab di dalamnya, ternyata tidak bisa lepas dan tidak bisa menghindar dari jeratan paradigma-paradigma yang fasad, yang rusak, dan yang merusak seperti ini.
Sistem Politik Islam
Oleh sebab itu, kata Iranti, penguasa negeri-negeri kaum Muslim harus memahami sistem politik di dalam Islam itu seperti apa, apa yang harus dan boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan ketika berhubungan dengan pihak-pihak yang secara nyata melakukan pembunuhan, melakukan penjajahan terhadap kaum Muslim.
“Penguasa negeri-negeri kaum Muslim juga harus memahami bagaimana negara seharusnya menjaga, melindungi kehormatan dan nyawa dari kaum Muslim dan menjaga muru’ah (kehormatan) Islam itu,” jelasnya.
Ketika sudah dipahami mengenai konsep sistem politik di dalam Islam seperti apa, menurutnya, penguasa kaum Muslim juga tidak seharusnya merasa berpuas atau merasa cukup berada dalam sistem kehidupan yang sekuler seperti hari ini karena memang sekularisme yang sudah mengakar sangat kuat ini menjadi masalah besar bagi dunia Islam.
“Termasuk dalam bagaimana menghadapi Israel atau bahkan pihak-pihak yang mendukungnya seperti Amerika Serikat ataupun negara-negara Barat yang lain,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it