Tangani Insiden Brigadir J Tidak Transparan, Gerus Kepercayaan Publik

 Tangani Insiden Brigadir J Tidak Transparan, Gerus Kepercayaan Publik

Mediaumat.id – Penanganan perkara yang terkesan ditutup-tutupi atas insiden dugaan saling tembak di internal kepolisian hingga menewaskan Brigadir Polisi berinisial J, dinilai bakal menggerus kepercayaan publik terhadap institusi Polri.

“Kalau sejak awal itu tidak transparan, sejak awal tidak terbuka, bagaimana mungkin kita bisa memberikan kepercayaan kepada hasil yang disampaikan oleh kepolisian,” ujar Advokat Ahmad Khozinudin, S.H. dalam Perspektif PKAD: Kasus KM 50 dan Pembunuhan Ajudan Ferdy Sambo, Miripkah? di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Jumat (15/7/2022).

Pasalnya selain fakta reka ulang yang dilakukan penyidik dari Reskrim tertutup, temuan-temuan dari olah TKP pun sarat kejanggalan hingga banyak pula menimbulkan pertanyaan publik.

Kalaupun nanti dibentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF), menurut Ahmad, itu hanya sekadar formalitas saja.

“Apalagi katanya mau melibatkan tim eksternal. Tim eksternal yang dilibatkan itu siapa? Kompolnas sama Komnas HAM,” jawabnya.

Komnas HAM, kata Ahmad, di kasus tewasnya enam laskar FPI pada akhir 2020 lalu saja, justru mendorong agar diproses dengan peradilan biasa. Padahal bisa saja merekomendasikan dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Kompolnas juga bagian dari kepolisian juga kalau kita mau gali secara lebih jauh, walaupun fungsinya dia untuk mengontrol kepolisian,” sambungnya.

Terlebih kalau memang komitmennya memberikan kepastian hukum yang profesional, lanjut Ahmad, semestinya melibatkan juga partisipasi publik untuk mengawalnya.

Sebutlah akademisi hukum pidana atau pun praktisi di luar institusi negara yang diambil profesionalitasnya, keahliannya misalkan. Kemudian ahli balistik, ahli senjata termasuk psikologi untuk mendapat keterangan dari kronologis insiden itu.

Sebagaimana keterangan yang disampaikan Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto dalam rapat konferensi pers di Mapolres Metro Jakarta Selatan, Selasa (12/7/2022), baku tembak dimaksud melibatkan Bharada E dan Brigadir J yang merupakan personel kepolisian yang ditugaskan mengawal Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo.

Namun terlepas dari hasil otopsi sementara yang dikeluarkan oleh dokter forensik Rumah Sakit Polri berkenaan kondisi jenazah, faktanya kata Ahmad, di tubuh Brigadir J terdapat tidak hanya luka tembak tetapi juga luka semacam sayatan di wajah berikut dua ruas jari tangan yang patah.

Malah secara korban, hanya menimpa Brigadir J. Sementara Bharada E tidak mengalami luka sedikit pun.

Begitu juga dengan tujuh bekas tembakan yang ada di tangga. “Benar tadi kata Bang Novel, ini reka ulang apa rekayasa ulang?” sahutnya membenarkan pernyataan Koordinator Humas Persaudaraan Alumni 212 yang turut menjadi narasumber tersebut.

Lebih lanjut ia juga melihat, sejak awal TKP di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, tidak dipasang garis polisi. Padahal sebagaimana dipahami, fungsi semacam pembatas tersebut untuk mensterilkan dari potensi atau upaya-upaya menambah ataupun menghilangkan bukti-bukti di TKP.

“Olah TKP baru dilakukan tanggal 12, empat hari (setelah kejadian) dan saat olah TKP pun tidak diizinkan publik terlibat, jadi tertutup,” bebernya.

Lebih mencengangkan, setelah diserahkan ke pihak keluarga korban sehingga diketahui kondisi jenazah berikut luka-luka yang sebenarnya, publik lantas menganggap kronologis versi Mabes Polri berbeda dengan keadaan jenazah.

“Kalau rilisnya itu adalah tembak menembak, okelah yang menjadi korban itu adalah hanya Brigadir J ya luka yang terdapat hanyalah luka tembak, tetapi ternyata yang ditemukan bukan hanya luka tembak, ada luka sayatan dan juga dua jari itu patah,” tandasnya.

Persis Kasus KM 50

Lantas membandingkan dengan wafatnya enam laskar FPI yang dikenal dengan tragedi KM 50, Ahmad mengatakan sama dalam hal perbedaan antara kronologis yang disampaikan dengan fakta-faktanya.

“Kalau yang ini persis seperti di dalam kasus Front Pembela Islam,” cetusnya.

Artinya, jenazah enam laskar FPI awalnya juga tidak boleh dibuka oleh anggota keluarga sekalipun. Namun karena memang harus dilakukan penyelenggaraan jenazah ulang yang akhirnya diketahui kondisi jenazah yang juga mengenaskan.

“Hari ini pun kita melihat ya bagaimana kondisi jenazah, fotonya ya, jenazah dari Brigadir J ini ya, Nopriansyah Joshua Hutabarat,” ucapnya.

Sehingga Ahmad pun menilai sebagai fakta yang justru mengonfirmasi betapa bahayanya negeri ini. “Ini negara benar-benar sudah dikendalikan dengan suatu proses yang benar-benar sudah enggak pernah kita temui sebelumnya sepanjang sejarah republik ini berdiri,” urainya.

Dengan kata lain, insiden serupa bisa saja menimpa warga masyarakat biasa. “Saya hanya sederhana saja. Kalau anggota polisi saja bisa jadi korban sampai seperti itu, apalagi rakyat biasa,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *