Politik Identitas, Romo Syafi’i: Tidak Boleh Ada Penekanan Khusus

 Politik Identitas, Romo Syafi’i: Tidak Boleh Ada Penekanan Khusus

Mediaumat.id – Politik identitas yang diopinikan bahwa itu seolah-olah salah, direspons Anggota DPR RI dari Partai Gerindra Romo Syafi’i.

“Dari dasar filosofis, yuridis dan sosiologis, sebenarnya enggak boleh muncul ada penekanan khusus terhadap politik identitas,” ungkapnya di acara Bincang Hangat: Politik Identitas Salahnya di Mana? melalui kanal Youtube UIY Official, Senin (18/7/2022).

Romo mengatakan, politik identitas ini erat kaitannya dengan pemilu. “Hal yang sangat elementer bahwa hak untuk dipilih dan hak untuk memilih adalah hak asasi manusia sesuai dengan UUD 1945 pasal 28c ayat 2,” bebernya.

“Secara yuridis dijamin oleh UU no 39 tahun 99. Jadi secara filosofis, secara yuridis tidak ada pembatasan siapa yang harus dipilih dan siapa yang harus memilih,” imbuhnya.

Demikian pun, lanjutnya, secara sosiologis terdapat beragam identitas yang ada di negeri ini yang terangkum dalam slogan Bhineka Tunggal Ika. “Identitas yang berbeda menjadi ciri identitas keseluruhan bangsa Indonesia yang tidak boleh dipandang parsial tapi harus dipandang satu bangsa Indonesia,” tukasnya.

Keliru

Menurut Romo, yang menjadi masalah justru jika ada pembatasan berdasarkan identitas untuk berpartisipasi di dalam kontestasi politik. Ia mencontohkan kasus di Papua. “Saya baca sendiri ketentuan yang berlaku di sana itu bahwa yang mungkin menjadi kepala daerah di Papua itu harus mereka yang berdarah Papua. Kalau itu saya kira itu menyimpang. Ini politik identitas yang keliru,” nilainya.

“Yang ingin saya batasi adalah politik identitas itu salah kalau yang boleh memajukan dirinya sebagai calon untuk dipilih harus sesuai dengan alamatnya, dia harus orang dalam teritorial itu dan beretnis di tempat itu serta mengabaikan bahwa ini adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini saya kira keliru,” tegasnya.

Desakralisasi Agama

Romo menilai politik identitas yang berkonotasi negatif saat ini tidak terpisah dari upaya desakralisasi agama. “Larangan politik identitas yang merembet pada pelanggaran hukum, menurut saya, ini bagian dari upaya yang sistematis, terstruktur, masif, agar orang tidak lagi menjadikan agama (Islam) sebagai alasan untuk mengaktualisasikan pilihannya,” bebernya seraya menegaskan padahal itu dijamin UUD 1945 pasal 28e ayat 2.

“Menurut saya ini bukan persoalan hukum tapi persoalan desakralisasi agama. Mereka sangat keberatan kalau kemudian umat ini memilih berdasarkan keyakinan agama,” tandasnya.

Jadi, lanjutnya, ini desakralisasi agama, dan ini bagian tak terpisahkan dari gerakan islamofobia. “Memperlakukan umat Islam secara diskriminatif, membuat ketakutan-ketakutan yang tidak beralasan dengan Islam. Jadi arahnya malah ke sana,” ungkapnya.

Tiga Sebab

Romo menyebut ada tiga sebab mengapa desakralisasi agama atau Islamofobia ini dimunculkan.

Pertama, persoalan panik terhadap umat Islam terkait populasi. “Saya baca ada penelitian di Unesco kalau satu bangsa dalam setahun tidak lahir 1,1 % anak bangsa tersebut maka bangsa itu lama kelamaan kehilangan identitasnya,” jelasnya.

Menurut Romo, negara-negara yang mayoritas non-Muslim itu tingkat natalitas warga aslinya paling tinggi 0,5%, sementara umat Islam naik terus. “Yang mereka khawatirkan identitas bangsanya itu akan berganti dengan identitas populasi umat Islam yang bermigrasi ke sana,” terangnya seraya mengatakan mereka lalu meluncurkan L68T, narkoba.

“Narkotika itu bagian yang sangat terencana. Narkotika itu bukan kejahatan asli rakyat Indonesia, ini adalah kejahatan internasional dalam rangka menekan populasi umat Islam pada saat yang sama desakralisasi agama,” tambahnya.

Jadi sekarang, lanjutnya, kalau diperiksa lapas-lapas di Indonesia semuanya over capasity 300 sampai 400 persen. “Dan ketika kita periksa mayoritas mereka beragama Islam usia antara 18-30 tahun. Ini menjadi perhatian saya merupakan upaya yang sangat sistematis,” tandasnya.

Kedua, yang membuat mereka panik itu adalah kualitas ajaran Islam. Romo menuturkan bahwa mereka memiliki teknologi dan pengetahuannya cukup baik, sehingga mereka selalu berusaha menemukan dengan penelitiannya hal-hal baru yang mereka anggap bisa membuat kehidupan mereka lebih mudah, lebih baik.

“Ketika mereka menemukan itu mereka kemudian mempraktekkannya dan memproklamirkannya sebagai temuan mereka. Tapi kemudian menjadi tidak bernilai karena ternyata apa yang mereka temukan dan dianggap baik itu hanya bagian ajaran Islam,” jelasnya.

Ketiga, besarnya populasi umat Islam menjadi market untuk memasarkan produk-produk mereka. Romo juga menegaskan sesuatu yang luar biasa, bahwa bumi tempat kaum Muslim banyak bersujud dan berzikir, dikasih kekayaan yang luar biasa oleh Allah SWT. “Lalu mereka berfikir bagaimana merampok ini semua? Lagi-lagi ini harus ada upaya desakralisasi agama,” cetusnya.

“Ini upaya-upaya yang berasal dari kepanikan mereka terhadap kesempurnaan ajaran Islam, keinginan mereka untuk tetap menghegemoni, maka mereka melakukan desakralisasi agama melalui islamofobia,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *