FAKKTA: Bailout IMF untuk Sri Lanka Hanya Sentuh Persoalan Kulit
Mediaumat.id – Ekonom Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Hatta, S.E., M.M menilai dana talangan atau bailout yang ditawarkan International Monetery Fund (IMF) kepada Sri Lanka yang tengah mengalami krisis hanya bersifat jangka pendek dan menyentuh persoalan kulitnya saja.
“Jika sebatas injeksi atau suntikan dana tidak akan bisa membantu banyak. Injeksi dana hanya bersifat jangka pendek dan hanya menyentuh persoalan kulitnya saja (offshoots cause),” tuturnya kepada Mediaumat.id, Rabu (13/7/2022).
Menurutnya, bersifat jangka pendek karena injeksi bisa menambah kekurangan dana secara tiba-tiba untuk sejumlah belanja wajib yang harus dilakukan. Hanya menyentuh persoalan permukaan cabang saja karena APBN Sri Lanka sesungguhnya menghadapi persoalan sumber-sumber pendapatan yang tidak kuat alias rapuh (fragile).
“Di kemudian hari, dana bailout itu sendiri berpotensi menjadi bagian dari persoalan APBN Sri Lanka,” ungkapnya
Ia mengatakan, rapuhnya APBN Sri Lanka dapat dilihat dari rasio utang pemerintah pusat yang melampaui 100 persen terhadap produk domestik bruto (GDP/gross domestic product) setidaknya sejak tahun 2001.
“Sejak tahun 2001, rasionya tidak pernah di bawah 50 persen. Dilihat dari sisi neraca pembayaran (BOP), neraca berjalan (current account) Sri Lanka juga berada dalam kondisi defisit yang terus menerus (persistent). Defisit ini bersumber dari neraca perdagangan barang yang sangat besar. Tercatat, kondisi tersebut terjadi setidaknya sejak tahun 1975,” beber Hatta.
Di sisi lain, lanjut Hatta, Sri Lanka juga telah bergabung (MoU) dengan Belt and Road Iniatiative (BRI) sejak tahun 2017, itu merupakan strategi Cina untuk membangun kekuatan politik luar negerinya.
“Sejak saat itu, arus dana masuk (utang dan investasi) dari Cina semakin tinggi. Di tahun 2020, sebanyak 9,6 persen (dari total LKR 6,8 triliun) utang luar negeri Sri Lanka bersumber dari Cina,” beber Hatta.
“Dari sisi impor di tahun 2020, Impor terbesar Sri Lanka berasal dari Cina. Berada di angka 23 persen (USD 3,5 miliar),” tambahnya.
Dilihat dari sisi impor Sri Lanka terhadap AS, menurut Hatta, nilainya jauh lebih kecil dibandingkan dengan Cina. Hanya berada di angka USD 496,9 juta. Berada di urutan ketujuh.
Karena itu, secara ekonomi tampak relatif lebih kecil keuntungan yang didapatkan oleh Amerika Serikat (AS), namun dari sisi kerjasama militer bilateral mendapatkan posisi yang besar. Terutama kerjasama sektor maritim.
“Dari sisi inilah tampaknya Sri Lanka bernilai sangat tinggi bagi AS,” pungkasnya.[] Ade Sunandar