FAKKTA: Banyak Sebab Bisa Lahirkan Inflasi
Mediaumat.id – Ekonom Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Hatta, S.E., M.M mengatakan, di bawah payung tata kelola ekonomi kapitalistik banyak sebab yang bisa melahirkan inflasi.
“Di bawah payung tata kelola ekonomi kapitalistik saat ini, ada begitu banyak sebab yang bisa melahirkan inflasi,” ujarnya kepada Mediaumat.id, ketika berbincang soal laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut lonjakan inflasi di Indonesia mulai aneh dan tidak wajar, Kamis, (7/7/2022).
Menurut Hatta, sebab-sebab terjadinya inflasi itu mulai dari lemahnya sektor riil dalam memenuhi permintaan, hingga rapuhnya mata uang yang digunakan dalam transaksi. Inflasi saat ini datang atau bersumber dari kedua sektor tersebut.
Hatta menuturkan, dari sektor riil, terdapat dorongan inflasidari komoditas energi (oil and gas), minyak nabati hingga komoditas makanan seperti gandum. Komoditas-komoditas ini mengalami gangguan suplai yang disulut oleh Perang Rusia-Ukraina serta gangguan cuaca yang semakin tampak ekstrem.
Sedangkan dari sisi keuangan dan moneter, tingka tinflasi yang melambung tinggi diduga kuat salah satunya berasal dari kebijakan quantitative easing (QE) yang super jumbo oleh bank sentral di banyak negara, terutama Amerika Serikat dan sebagian negara-negara Eropa. Oleh karenanya, tidaklah heran negara-negara inilah yang kemudian mengalami tingkat inflasi tertinggi dalam beberapa dekade.
Ia menjelaskan, konsep inflasi adalah cara yang digunakan untuk memotret dan mengukur perkembangan sejumlah komoditas yang sangat berkaitan dengan konsumsi rakyat sehari-hari, seperti sandang, pangan, papan, hingga transportasi. Dari perkembangan data yang diperoleh bisa diketahui pola dari masing-masing perkembangan harga komoditas. Ketika perkembangan yang telah diamati terdapat ketidaksesuaian dengan pola yang selama ini terjadi, maka hal itu bisa disebut aneh atau tidak wajar.
Dampaknya adalah, daya beli sebuah mata uang terhadap barang dalam posisi anjlok. Dengan kata lain, untuk membeli barang yang sama dan dalam jumlah yang sama rakyat harus mengeluarkan uang lebih banyak. Hal demikian tentu saja semakin menghimpit kondisi ekonomi rakyat yang belum sepenuhnya pulih dari terjangan krisis ekonomi yang dipicu oleh pandemi.
Inilah yang disebut dengan krisis di atas krisis (crisis upon crisis). Krisis kesehatan dalam bentuk pandemi telah memukul belanja kesehatan masyarakat menjadi jauh lebih besar. Bahkan menyebabkan roda ekonomi berjalan lambat yang berujung kepada resesi. Belum keluar sepenuhnya dari dua krisis tersebut, ekonomi saat ini justru masuk ke dalam krisis yang lain berupa melambungnya harga-harga barang alias inflasi.
Stagflasi
Di titik inilah kemudian muncul kekhawatiran terjadinya stagflasi, yaitu ekonomi berjalan masih relatif lambat, namun inflasi sudah lebih dulu melesat jauh. Akibatnya beban ekonomi yang harus ditanggung rakyat semakin berat dan menghimpit.
Hatta mengungkapkan, solusi atas tingginya tingkat inflasi saat ini tidak lain tidak bukan tentu saja harus dikembalikan dan diarahkan kepada sebab sesungguhnya atau akarnya (root and immediate causes/RICa). Bukan sebab cabang (off shoot causes/OfCa). Jika tidak, persoalan inflasi yang merusak ekonomi akan terus berulangterjadi. Bahkan dapat menjadi lebih buruk dan lebih merusak.
Hatta menilai, dalam perspektif Islam, persoalan inflasi yang merusak perekonomian saat ini tidak bisa dipecahkan dengan instrumen-instrumen moneter konvensional yang sering dipakai saat ini, seperti dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan (interest rate), GWM (fractional reserve requirement), operasi pasar terbuka (open market operation).
Instrumen tersebut, menurut Hatta, justru hanya akan semakin merusak perekonomian. Dalam jangka pendek inflasi mungkin saja akan turun, namun dalam jangka panjang inflasi justru akan semakin melambung tinggi dan lebih merusak.
Solusi Islam
Dari sisi sektor riil, ungkap Hatta, Islam akan mengembalikan kepemilikan komoditas-komoditas penting (seperti minyak dan gas) kepada rakyat yang kemudian dikelola oleh negara. Dengan demikian akan tertutup bagi pihak-pihak yang selama ini mengendalikan suplai komoditas tersebut demi mendapatkan keuntungan setinggi mungkin alias serakah.
“Termasuk menghapus transaksi komoditas yang bersifat spekulatif alias gambling seperti yang terjadi di pasar komoditas saat ini. Sehingga hal ini akan menjamin tidak terjadinya inflasi yang masuk ke dalam cost push inflation (dorongan biaya produksi),” bebernya.
Kemudian di sisi keuangan dan moneter, terang Hatta, Islam akan memastikan seluruh aturan main yang menyebabkan jumlah uang dan jumlah barang menjadi tidak setimbang (equal) dihapus. Seperti bunga perbankan, GWM, hingga mata uang itu sendiri yang memang terbuat dari kertas (fiat money). Termasuk juga di dalamnya adalah pasar modal (stock exchange), dan pasar valas (foreign exchange) yang juga termasuk transaksi spekulatif dan ribawi.
“Di sinilah kemudian perlunya analisis yang dalam dan tajam untuk melihat mana saja yang menjadi sebab akar dan ‘sebab cabang,” pungkasnya.[] Agung Sumartono