FDMPB: Negara Harus Tegas Buat Aturan Sejalan dengan Agama
Mediaumat.id – Dari dikabulkannya pernikahan pasangan beda agama oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) sekaligus Dosen Filsafat Dr. Ahmad Sastra mengimbau agar negara membuat aturan yang sejalan dengan nilai-nilai agama.
“Negara harus tegas membuat aturan yang sejalan dengan nilai-nilai agama. Bukankah negara ini didasarkan oleh Ketuhanan Yang Maha Esa?” ujarnya kepada Mediaumat.id, Senin (27/6/2022).
Menurutnya, negara yang baik adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Terlebih, relasi antara laki-laki dan perempuan harus menjadi agenda penting untuk diselamatkan, karena menyangkut masa depan sebuah bangsa.
“Kerusakan sosial akibat budaya sekuler di bidang seksualitas akan mengakibatkan dampak buruk dalam jangka panjang,” tuturnya.
Artinya, negara sekali lagi harus sadar bahwa sekulerisme liberal adalah ideologi yang sangat berbahaya bagi negeri ini. “Selain bertentangan dengan Pancasila, ideologi ini tentu saja haram hukumnya menurut Islam,” tambahnya.
Nikah beda agama yang kerap terjadi di Indonesia (salah satu yang viral pernikahan staf presiden yang Muslimah dengan lelaki non-Muslim) dan telah diakui secara hukum tersebut ia anggap salah satu buah dari ide kebebasan, yakni liberalisme agama.
Sementara liberalisme agama sebagaimana dimaksud, berarti memahami nash-nash agama (Al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas. Serta menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Padahal sebagaimana diketahui pula, paham tersebut dengan tegas difatwaharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Bahkan organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama (pimpinan organisasi), dan cendekiawan Muslim tersebut sebelumnya sudah menegaskan dengan fatwa MUI Nomor: 4/MUNAS VII/MUI//2005 tentang Perkawinan Beda Agama yang memutuskan, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Pun menurut qaul mu’tamad, atau pendapat yang disepakati oleh Imam An-Nawawi dan Imam Rafi’i atau ditarjih (diunggulkan) oleh salah satu dari keduanya, kata Ahmad Sastra, perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita ahli kitab adalah haram dan tidak sah.
Namun, menurutnya, dengan dasar fatwa MUI sebenarnya sudah cukup bagi negara untuk menghentikan berbagai upaya legalisasi perkawinan beda agama tersebut. “Tentu sangat berbeda jika negara ini berdasarkan hukum Islam, segala upaya yang bertentangan dengan syariah tentu saja diharamkan,” tuturnya lebih lanjut.
Bahaya Nyata
Ia menyebutkan, bahaya paling nyata dari gerakan pernikahan beda agama yang melanggar syariat Islam, salah satunya adalah terjadinya berbagai kerusakan sosial.
“Kerusakan relasi sosial yang akibat hukum sekulerisme akan mengakibatkan malapetakan kemanusiaan,” jelasnya.
Sebagai gambaran, ungkapnya, di negara-negara Barat, selain melegalkan pernikahan sesama jenis, di sana juga tidak melarang pernikahan manusia dengan boneka, misalnya.
Oleh karena itu, ia khawatir apabila legalisasi pernikahan beda agama terus dibiarkan, akan sampai kepada legalisasi pernikahan sejenis dan bahkan yang lebih menjijikkan dari itu. “Umat Islam harus waspada,” tandasnya.
Terkait itu, Ahmad Sastra menjelaskan, pernikahan dalam Islam bukanlah tanpa dasar. Selain salah satu dari bentuk ibadah, tuntunan seagama (Islam) antara suami istri merupakan keniscayaan dengan disasarkan oleh niat karena Allah berikut caranya mengikuti Rasulullah.
Sehingga ia tak heran, nikah yang tidak sah karena melanggar hukum syara’, berikutnya tidak bisa mewujudkan hifdh al-nasl (menjaga keturunan).
Di sisi lain, bahaya nyata dari pernikahan beda agama adalah terjadinya kerusakan psikologis. “Menimbulkan ketidaknyamanan secara kejiwaan, termasuk ketidaknyamanan mentalitas anak ketika mereka mengetahui bahwa kedua orang tuanya berbeda agama,” urainya.
Terlebih, hubungan suami-istri akibat pernikahan yang melanggar syariah dianggap layaknya perbuatan zina.
Selain itu, lanjut Ahmad Sastra, masih banyak dampak negatif dari pernikahan beda agama yang tidak sejalan dengan ketentuan fikih. Seperti permasalahan hukum nasab, nafkah, waris, wali, dsb. “Itulah mengapa, menurut kitab Tafsir Al-Ahkam karya Syekh Aly al-Shabuny (pernikahan beda agama) adalah haram,” tegasnya.
Hukum Dasar
Membahas hukum dasar perbuatan, Islam sebagai agama sempurna telah menetapkan berbagai standar yang menurutnya, hukum Islam amat berbeda dengan sekuler.
Perbedaan mendasar keduanya, ada pada sandaran atau sumber hukumnya. “Ideologi sekuler menyumberkan hukum pada kesepakatan sosial dengan kerangka besar hak asasi manusia dan kebermafaatan materi semata. Sementara Islam menyandarkan hukum perbuatan kepada hukum-hukum syara’,” ulasnya.
Termasuk hukum pernikahan beda agama yang dalam perspektif fikih, secara garis besar ada tiga ketentuan. Pertama, laki-laki Muslim boleh hukumnya menikah dengan wanita kafir ahli kitab, yaitu wanita kafir yang beragama Yahudi dan Nasrani. “Dalilnya Al-Qur’an, surat al-Maidah ayat kelima. Dengan syarat selama tidak menimbulkan mudharat bagi laki-laki Muslim tersebut,” terangnya.
Hukum kebolehan tersebut, kata Ahmad Sastra, telah dijelaskan oleh para fuqaha dari berbagai mazhab di dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz VII, hlm. 143, yang menyebutkan, bahwa mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad, telah sepakat mengenai pernikahan dimaksud.
Demikian pula Imam Abdurrahman al-Jaziri di dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, hlm. 73; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, hlm. 369; dan Imam Wahbah Al-Zuhaili di dalam kitab Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX, hlm 145.
Namun pada kasus-kasus tertentu, pesan Ahmad Sastra, pernikahan tersebut dapat diharamkan secara syar’i jika menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), meski hukum pokoknya yang mubah tetap ada dan tidak hilang. Misal, suami malah murtad mengikuti agama Nasrani.
Hal itu ia sandarkan pada kaidah fikih yang dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitab Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz III, hlm. 456, yang berbunyi, ‘Setiap kasus dari kasus-kasus perkara yang mubah, jika terbukti berbahaya atau membawa kepada bahaya, maka kasus itu diharamkan, sedangkan perkara pokoknya tetap mubah’.
Kedua, laki-laki Muslim haram menikah dengan wanita musyrik, yaitu wanita kafir yang beragama selain Yahudi dan Nasrani.
“Dalilnya Surat Al-Baqarah ayat ke-221,” jelasnya, seraya menyebutkan agama selain tersebut termasuk Hindu, Budha, Konghucu, Majusi, penganut komunisme (tidak beragama), atau penyembah berhala (watsaniyah) dan yang semisalnya.
Ahmad Sastra menambahkan, Imam Thabari di dalam kitab Tafsir ath-Thabari, Juz IV, hlm. 363 juga telah menafsirkan ayat tersebut, sebagai berikut, ‘Janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, maksudnya adalah perempuan-perempuan musyrik Arab yang tidak mempunyai suatu kitab yang dapat mereka baca’.
Ketiga, wanita Muslimah haram hukumnya menikah dengan laki-laki kafir (non-Muslim), baik laki-laki kafir ahli kitab maupun laki-laki kafir musyrik.
Dalilnya sama, yakni QS. Al-Baqarah ayat ke-221. Namun ditambah Al-Mumtahanah ayat kesepuluh.
Terakhir kata Ahmad Sastra menambahkan, penegasan hukum ketiga juga datang dari Imam Qatadah dan Al-Zuhri dengan mengatakan di dalam kitab Tafsir ath-Thabari, Juz II, hlm. 379, yang artinya,
‘Tidak halal bagi kamu (wali nikah) untuk menikahkan laki-laki Yahudi atau laki-laki Nasrani atau laki-laki musyrik (dengan perempuan beriman), yaitu laki-laki itu dari kalangan penganut agama di luar agamamu (beragama bukan Islam)’. [] Zainul Krian