Saat Perang Dunia II, Ternyata Pengungsi Eropa Ditampung di Timur Tengah
Sebagian besar wacana seputar pengungsi, terutama pada media tertentu, telah mengambil kata “kita” dan “mereka”.Pengungsi secara teratur diperlakukan secara tidak manusiawi, ketika dipakai istilah “segerombolan”. Hal ini tidak hanya diperuntukkan bagi media sayap kanan, dimana mantan Perdana Menteri Inggris David Cameron menggunakan istilah “segerombolan” untuk menggambarkan sebagian dari pengungsi itu yang mencoba masuk ke Eropa, sebuah refleksi dari pengarusutamaan bahasa yang memecah belah.
Apa yang tampaknya banyak diperhatikan secara mudah adalah bahwa para pengungsi adalah contoh utama orang-orang yang menjadi korban keadaan yang paling mengerikan. Banyak yang suka menyalahkan sebagian besar pengungsi itu sendiri, dan lupa bahwa dalam situasi yang berbeda, adalah “kita” yang meninggalkan rumah-rumah kita untuk mencari hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, yang disebut sebagai keselamatan.
Ini bukan pemikiran hipotetis. Dengan memotret fokus masa lalu kita kembali ke Perang Dunia ke II dan kita dapat menemukan banyak contoh orang-orang Eropa yang melarikan diri ke Timur Tengah untuk mendapatkan perlindungan.
Pada tahun 1941, mesin perang agresif Hitler telah menaklukkan sebagian besar Eropa sehingga menyebabkan jutaan warga sipil hidup tanpa tempat yang aman. Inggris datang dengan gagasan untuk menyelesaikan ratusan ribu pengungsi itu, terutama kaum wanita dan anak-anak, dari Bulgaria, Kroasia, Yunani, Turki dan bekas Yugoslavia, di Mesir, Suriah dan Palestina.
Program ini disebut Middle Relief and Refugee Administration (MERRA). Perjalanan berbahaya melintasi Mediterania dilakukan oleh orang-orang Eropa, seperti yang dilakukan pada hari ini oleh warga Timur Tengah dan Afrika, dengan pelabuhan tujuan dan tempat kedatangan yang sekarang kondisinya terbalik.
Di antara kota-kota yang menampung kamp-kamp tersebut adalah kota Aleppo di Suriah, dan Kota Gaza di Palestina; keduanya adalah wilaya yang telah mengalami hal yang tak terbayangkan selama dekade terakhir, dimana kota-kota itu menjadi rumah bagi banyak pengungsi di seluruh dunia pada saat ini.
Sementara kondisi di kamp-kamp pengungsi ini tidak selalu bagus, ada upaya untuk menerapkan program kerja bagi orang dewasa, dan program pendidikan bagi anak-anak. Secara signifikan, ada juga upaya berkelanjutan untuk mengakomodasi persyaratan religius dan budaya yang dibutuhkan orang-orang Eropa yang baru saja menetap.
Penempatan kembali para pengungsi ke Timur Tengah tidak hanya terbatas pada negara-negara itu, namun Iran juga menampung ratusan ribu orang Polandia. Seorang guru sekolah Polandia yang menetap di kota Isfahan di Iran mengatakan tentang pengalamannya ini, “Orang-orang Persia yang ramah berkerumun di sekitar bus-bus dengan meneriakkan ucapan selamat datang dan memberikan mereka kurma, kacang-kacangan, kacang polong panggang dengan kismis dan delima basah lewat jendela-jendela bus yang terbuka.”
Mudah sekali melupakan pelajaran yang diajarkan sejarah kepada kita. Kita semua sering terjebak dalam memikirkan apa yang terbaik bagi “saya ” atau “kita”, sementara mengabaikan untuk mempertimbangkan kebutuhan “yang lain”. Kita juga bisa jatuh ke dalam perangkap beracun untuk menyimpan gagasan yang mendalam, yang sering menjadi kabur, bahwa kemalangan yang menimpa seseorang sebagian memang dilakukan kita sendiri, sementara restu yang datang kepada “saya” atau “kita” memang sangat pantas dilakukan.
Situasi buruk yang dialami para pengungsi Eropa selama Perang Dunia II menjadi pengingat yang sangat tepat bahwa penderitaan dapat menimpa siapapun.
Sebelum melemparkan kata-kata kotor, atau melakukan tindakan yang tidak masuk akal, terhadap mereka yang membutuhkan, ingatlah bahwa pada saat itu Anda adalah orang yang harus melarikan diri dari rumah-rumah demi menjaga kelangsungan hidup Anda dan keluarga Anda.
Jumlah Pada Pengungsi Hari Ini
Dunia saat ini memiliki lebih banyak pengungsi daripada sebelumnya. Komisaris Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) melaporkan bahwa 65,6 juta orang di seluruh dunia telah dipaksa meninggalkan rumah-rumah mereka, dimana 22,5 juta adalah pengungsi. Dari jumlah ini 22,5 juta, lebih dari separuhnya berusia di bawah 18 tahun. Mereka juga melaporkan bahwa saat ini, hampir 20 orang dipaksa mengungsi dari rumah-rumah mereka setiap menitnya.
Forum Ekonomi Dunia (WEF) melaporkan bahwa pada tahun 2016, 1 juta pengungsi tiba di Eropa, kebanyakan dari mereka melarikan diri dari perang di Afrika dan Asia. Sementara kita kebanyakan mendengar tentang pendatang pengungsi di Eropa, oleh mereka yang membahas “Krisis Pengungsi”, satu-satunya negara Eropa yang saat ini berada di posisi 10 negara teratas yang menjadi tuan rumah pengungsi adalah Turki (2,5 juta), yang dikalahkan di seluruh dunia dengan 2,7 juta pengungsi di Yordania.
Lebanon dan Pakistan menempati posisi ke-3 dan ke-4 dalam daftar negara penampung pengungsi, masing-masing memiliki 1.5 juta dan 1.6 juta jiwa. Lebih dari separuh pengungsi dunia berasal dari 3 negara; Suriah, Afghanistan dan Somalia. Terlepas dari perhatian yang diterima oleh para pengungsi di Eropa, WEF menyatakan bahwa negara-negara berkembang saat ini memiliki 86% pengungsi dunia.
Secara mengejutkan, 1 dari setiap 200 anak yang hidup saat ini adalah pengungsi. Statistik mengejutkan lainnya yang diberikan oleh WEF adalah : 4.690 pengungsi mati saat mencoba menyeberangi Laut Tengah ke Eropa pada tahun 2016, lebih tinggi dari tahun 2015 yakni sebesar 3.777 pengungsi. Secara menyedihkan, tanggal 3 September 2017 menandai ulang tahun ke 2 kematian Aylan Kurdi yang mengejutkan dunia.
Perlakuan
Perlakuan terhadap para pengungsi bervariasi dari satu negara ke negara lain, dan juga bergantung pada pemerintahan pada hari ini. Kita telah melihat di Kanada sebuah contoh kebijakan bermusuhan sebuah negara terhadap pengungsi telah menjadi baik dengan terpilihnya Justin Trudeau dari kelompok liberal, sementara di A.S. telah terlihat regresi yang signifikan terhadap perlakuan pengungsi dengan terpilihnya Donald Trump.
Di Turki, kita memiliki contoh sebuah negara yang melakukan yang terbaik untuk mengakomodasi masuknya para pengungsi Suriah, dengan pandangan serupa dilakukan di Jerman, yang telah melihat kedatangan para pengungsi itu sebagai tantangan dan kesempatan bagi negara tersebut untuk memperbaiki berkurangnya angka kelahiran di dalam negeri.
Hal-hal yang tampaknya tidak begitu positif terlihat di Lebanon di mana negara yang kelebihan pengungsi itu tampaknya tercampur antara luka historis antara orang-orang Syria dan Lebanon, yang mengakibatkan banyak laporan tentang pelecehan, pengabaian dan kekerasan.
Di Eropa, ada banyak kontroversi terkait dengan perlakukan terhadap para pengungsi. Pada tingkat ekstrem, kita telah melihat kelompok sayap kanan dimana organisasi Defend Europe menghalangi mereka yang mencoba membantu para pengungsi yang menyeberangi Laut Tengah dengan perahu mereka sendiri, yang membawa spanduk yang bertuliskan “ANDA TIDAK AKAN MENJADIKAN EROPA SEBAGAI RUMAH ANDA” dan “TIDAK MUNGKIN “.
Nasib tragis dialami oleh kapal Defend Europe yang rusak di Mediterania pada bulan Agustus tahun ini, dan harus diselamatkan oleh sebuah kapal LSM, salah satu LSM yang berusaha menghalangi Eropa untuk menghalangi masuknya pengungsi.
Bagi para pengungsi yang berhasil tiba di Eropa, banyak yang menjadi sasaran kelompok kriminal, dipaksa melakukan berbagai bentuk tindakan kriminalitas termasuk prostitusi, sementara kondisi di kamp-kamp pengungsian berkisar dari situasi yang tidak tertahankan, hingga situasi yang mengerikan.
Di Yunani, banyak dari mereka yang ditempatkan di bekas gudang-gudang yang ditinggalkan, sehingga terdapat nama kamp Softex karena gudang itu menjadi gudang gulungan toilet yang pernah diproduksi di masa lalu. Analogi toilet tidak berhenti dengan namanya, karena kondisi di kamp-kamp seperti ini sama sulitnya karena mereka dibatasi. Dengan sedikit hal yang bisa dilakukan, dan tidak ada tempat untuk pergi, kamp-kamp pengungsi tersebut disamakan dengan penjara oleh penduduk negara itu.
Pelecehan seksual merajalela di sebagian besar kamp ini, dimana laporan dari Pusat Kesehatan dan Hak Asasi Manusia FXB Harvard University melaporkan bahwa rata-rata harga transaksi seksual dengan seorang anak adalah 12,50 pound. Anak-anak berumur 4 tahun telah menjadi korban perkosaan.
Sumber: aboutislam.net (5/9/2017)