Fenomena Buzzer di Dunia Maya, Medsos Ibarat Pisau Bermata Dua

 Fenomena Buzzer di Dunia Maya, Medsos Ibarat Pisau Bermata Dua

Mediaumat.id – Menyoal fenomena keberadaan para buzzer di dunia maya saat ini, Digital Enterpreneur Pompy Syaiful, menganalogikan media sosial (medsos) seperti pisau bermata dua.

“Memang social media saat ini, itu menjadi pisau bermata dua itu sudah tepat. Artinya kalau misalnya social media ini kita gunakan dengan baik dan positif maka hasilnya akan jadi baik,” tuturnya dalam Kabar Petang: Pemerintah Pekerjakan Buzzer? di kanal YouTube Khilafah News, Rabu (20/4/2022).

Sebagaimana dikutip dari 2021 Country Report on Human Right Practice, Indonesia yang dilihat dari situs Deplu AS, Jumat (15/4), ada sejumlah hal yang disorot dalam laporan tersebut.

Salah satunya terkait dengan gangguan sewenang-wenang atau melanggar hukum terkait privasi.

Lebih jauh, menurut laporan AS ini, peretas (hacker) pendukung sering melakukan doxing atau tindakan mempublikasikan informasi pribadi atau identitas tentang individu atau organisasi di internet, terhadap pihak yang kontra pemerintah.

Bahkan mengutip SAFEnet dalam laporan 2020, ada 147 serangan digital, kebanyakan terjadi saat Oktober, yakni selama marak demonstrasi terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Dengan demikian, memang perlu mencermati upaya buzzer terutama aktivitasnya yang menurut Pompy, ‘menggulung deras’ bukan hanya pada masa-masa kampanye. “Ini sudah terlanjur dalam sebuah fenomena ini, itu adanya dua geng atau kubu dalam dunia maya yang saling melontarkan opini dan kontra opininya,” ungkapnya.

Maka salah satu akibatnya, kata Pompy, fenomena tersebut membuat penanganan suatu hukum menjadi timpang. “Kalau buzzer-nya_ pemerintah itu kemudian seolah-olah anti terhadap penanganan hukum,” terangnya.

Sebutlah, kasus Ade Armando yang berkali-kali dilaporkan, bahkan sudah menjadi tersangka, tetapi sampai sekarang terkesan jalan di tempat.

“Ketika itu menyinggung atau melawan pemerintah sangat gampang sekali dijerat oleh Undang-Undang ITE,” sesalnya dengan mencontohkan kasus yang menjerat Despianoor Wardani hanya gegara mengkritik.

Jasmev

Ia melihat, fenomena buzzer telah membentuk polaritas di tengah masyarakat dimulai sejak Jasmev (Jokowi Ahok Social Media Volunteers) terbentuk.

Artinya, kata Pompy, itu mempunyai jaringan serta anggota, dengan satu orang think tank yang menggerakkan para buzzer untuk mendengungkan suatu narasi.

“Sebelumnya mungkin orang mendukung ini, mendukung itu, kemudian membuat sebuah opini, baik (terlepas) itu salah atau benarnya, itu secara pribadi,” ulasnya.

“Namun sejak masa Jasmev terbentuk, itu kayaknya kemudian membentuk sebuah pola bahwa opini ini terkoordinir rapi,” tegasnya kembali.

Apalagi menurut Pompy, fenomena buzzer tersebut bertujuan membentuk opini publik yang berdampak negatif dengan narasi-narasi kotor, kampanye hitam, doxing, serta trolling berikut pesan terkirim yang membangkitkan tanggapan emosional atau kemarahan.

“Ini kemudian yang menjadi saling membenci, kebencian yang di antara ini kemudian akhirnya membentuk sebuah opini publik yang terbelah dan dengan isu sedikit aja bisa memecah belah,” pikirnya.

Haram

Maka cara-cara demikian, menurut Pompy, adalah cara haram yang tak dibenarkan. “Memfitnah, melakukan kampanye hitam yang di mana ini bisa memanipulasi nilai-nilai kebenaran menjadi sesuatu yang subjektif sesuai apa dengan yang dinarasikan buzzer politik ini,” urainya.

Namun ia juga mengatakan, untuk menangkalnya pun susah, karena posisi umat secara umum. “Data-data dan sebagainya itu yang pegang itu adalah orang yang punya otoritas, sementara ini yang bermain otoritas,” bebernya.

Meski demikian, setidaknya untuk meminimalisir, ia mengimbau agar senantiasa hati-hati dalam bermedsos. Seperti tak mudah menilai gambar-gambar atau sejenisnya yang berseliweran di dunia maya. “Saring dulu sebelum sharing. Ini benar enggak, kalau itu benar dan bermanfaat baru di-sharing,” ucapnya menuturkan.

Terlebih, tambahnya, di dalam bermedsos senantiasa menggunakan standar syar’i. “Sehingga, kalaupun mendapatkan perundungan (bully), tidak menjadi persoalan bagi kita,” ujarnya.

Intinya, kata Pompy, terlepas dari istilah buzzer yang kalau saja tidak terbranding dengan perilaku buzzer hitam bayaran, sebenarnya aktivitas ini sangat positif. “Kalau kita kembalikan kepada istilah awalnya, jadi buzzer ini sebenarnya enggak masalah sebenarnya ya kalau pandangan Islam,” lugasnya.

Lebih-lebih digunakan untuk mengedukasi masyarakat dengan opini yang bervisi akhirat. “Artinya bahwa kita menggunakan sosmed untuk mendengungkan dakwah Islam,” cetusnya.

Sehingga jangan sampai umat Islam justru meninggalkan dunia medsos lantaran makin masifnya serangan para buzzer hitam dimaksud. “Jangan sampai seperti itu malahan pemikirannya,” pesannya.

Sebaliknya, tatkala para buzzer hitam bayaran membawa opini publik kepada anti Islam, kaum Muslim harusnya hadir mengambil alih dengan narasi-narasi pembelaan kepada Islam.

Sehingga pula ia berharap, nantinya masyarakat awam pun memahami bahwa Islam bisa menyelesaikan segala permasalahan dengan mengambil Islam sebagai sistem kehidupan, berikut meneladani Rasulullah SAW di setiap langkah mereka.

“Kalau buzzer itu mendengung dengan anti Islam, kita harus semakin kencang mendengungkan Islam di dunia maya,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *