Kiai Shiddiq: Penegakan Khilafah Hukumnya Wajib!
Mediaumat.id – Merespons munculnya pemikiran-pemikiran yang menyebut khilafah tidak wajib atau ekstremnya justru mengharamkan terkait mendirikan sistem pemerintahan Islam dimaksud, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan kembali khilafah adalah ajaran Islam yang hukumnya wajib.
“Khilafah atau imamah itu tidak diragukan lagi merupakan ajaran Islam, sebab telah dinyatakan wajibnya oleh para ulama,” jabarnya dalam Kajian Dhuha: Wajibnya Khilafah Menurut Ulama Berbagai Madzhab, Selasa (5/4/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Sebelumnya, terang Kiai Shiddiq, khilafah memang terwujud di dalam fenomena sejarah. Maka itu kalau mungkin ada pertanyaan, apakah khilafah ajaran Islam atau hanya sejarah, Kiai Shiddiq menjawab khilafah bukan sekadar sejarah, tetapi suatu ajaran, norma atau hukum Islam.
Bahkan, menurutnya, terdapat bukti dari sekian banyak ulama yang telah mengatakan khilafah adalah wajib seperti halnya shalat, zakat, puasa maupun haji.
“Berarti kalau itu disebut wajib itu berarti ya ajaran Islam dan itu bukan sejarah. Walaupun, generasi zaman dulu melakukan shalat, zakat, puasa,” tandasnya dengan kembali menegaskan selain sebagai sejarah, khilafah juga sebagai hukum atau ajaran Islam yang wajib ditegakkan.
Pendapat Ulama
Lantas mengenai hukum mendirikan khilafah atau yang bisa disebut imamah karena memang sinonim yang tidak ada perbedaan mendasar, Kiai Shiddiq mengungkapkan ada banyak pendapat ulama lintas mazhab yang ternyata seluruhnya sepakat tentang kewajiban penegakannya.
Di antaranya, Imam Al-Mawardi yang diketahui wafat pada tahun 450 H, di dalam kitab Al- Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5, beliau dengan tegas menyatakan,
‘Melakukan akad imamah (khilafah) bagi orang yang [mampu] melakukannya, hukumnya wajib berdasarkan ijma’ atau kesepakatan, meskipun Al-Asham menyalahi mereka (ulama) [dengan menolak wajibnya khilafah.’
Artinya, kata Kiai Shiddiq, khilafah itu merupakan suatu akad kontrak antara umat yang menyerahkan kekuasaannya kepada seseorang untuk menjadi khalifah atau imam. “Jadi ini akad politik atau kontrak politik,” jelasnya.
Berikutnya, ia mengutip pendapat Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) yang di dalam pernyataannya malah menyebut nama-nama kelompok di kalangan umat Islam. ‘Telah sepakat semua ahlussunnah, semua murji`ah, semua syi’ah, dan semua khawarij atas wajibnya imamah (khilafah)…’ (Al-Fashlu fi al-Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz IV hlm. 87).
Dengan demikian, kata Kiai Shiddiq, tidak hanya dalam lingkup ulama ahlussunnah wal jamaah saja, tetapi juga ulama dari firqah-firqah atau kelompok-kelompok di luar itu.
Kemudian, masih dari pendapat Imam Ibnu Hazm, sebagaimana dijelaskan di kitab yang lain, Maratibul Ijma’, hlm. 207, ulama dari mazhab Dhahiri tersebut juga menyampaikan, ‘Mereka (ulama) telah sepakat bahwa imamah (khilafah) itu fardhu dan bahwa tidak boleh tidak harus ada seorang imam (khalifah), kecuali An-Najdat…’
Hal yang sama juga dikatakan oleh Imam Abu Ya’la (w. 456 H), ulama mazhab Hambali, di kitab yang berjudul sama dengan kitab karya Imam Al-Mawardi bermazhab Syafi’i, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, yang dengan jelas menyatakan,
‘Mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib. Sebagaimana penjelasan Imam Ahmad ra dalam riwayat Muhammad bin Auf bin Sufyan al-Himshi berkata, adalah suatu cobaan, jika tak ada seorang imam (khalifah) yang menegakkan urusan manusia” (Abu Ya’la al-Farra’, Al Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 19).
Bahkan, tambah Kiai Shiddiq, Imam Abu Ya’la juga mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hambal, ‘Kalau tidak ada dalam kehidupan kita ini tidak ada seorang imam, itu termasuk cobaan atau suatu musibah yang menimpa umat manusia, khususnya umat Islam.’
“Ibarat anak ayam kehilangan induknya. Komunitas, tetapi komunitas yang tidak ada pemimpinnya. Yang ada itu pemimpin-pemimpin yang tidak hakiki, tidak sebenarnya bagi umat Islam,” singgung Kiai Shiddiq atas kondisi umat Islam setelah keruntuhan Khilafah Utsmani pada 1924 M hingga saat ini.
Di dalam kitab yang terkenal lainnya, semisal Al-Farqu Bainal Firaq, Juz I hlm. 340, Abdul Qahir al-Baghdadi mengatakan, ‘Mereka [ulama ahlussunnah] berkata mengenai rukun ke-13 yang disandarkan kepada khilafah atau imamah: bahwa imamah atau khilafah itu fardhu atau wajib atas umat Islam, agar imam dapat mengangkat para hakim dan orang-orang yang diberi amanah, menjaga perbatasan mereka, menyiapkan tentara mereka, membagikan fa’i mereka, dan melindungi orang yang dizalimi dari orang-orang yang zalim.’
“Jadi mohon maaf, kalau mengaku ahlussunnah wal jamaah tetapi menolak khilafah atau imamah, berarti ada satu prinsip dasar keyakinan ahlussunnah yang hilang,” ucapnya sembari menyebut kemungkinan lain yaitu sudah ada semacam penyimpangan.
Lantas berikutnya, menukil kitab Ghiyats al-Umam, hlm. 17 karya Imam Al Juwaeni (w. 478 H) yang kata Kiai Shiddiq, beliau salah satu guru dari Imam Al Ghazali, dikatakan, “Mengangkat imam pada saat ada kemampuan wajib…Maka jika telah tetap kewajiban mengangkat seorang imam, maka yang menjadi pendapat jumhur para imam [mazhab] adalah kewajiban mengangkat imam itu diambil dari syara’ yang dinukil.”
Artinya, kewajiban tersebut ditegaskan sebagai kewajiban syar’i yang didasarkan dari Al-Qur’an dan hadits, “Bukan akal atau penalaran murni tanpa dalil,” timpal Kiai Shiddiq.
Lantas pendapat Imam Ghazali sendiri, yang wafat tahun 505 H adalah, ‘Maka jelaslah bahwa kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama, sedang keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat, dan itulah tujuan yang pasti dari para Nabi. Maka kewajiban adanya imam (khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariat yang tak ada jalan untuk meninggalkannya. Ketahuilah itu!’ (Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 99).
Begitu pun dengan pendapat Imam Al-Qurthubi di dalam kitab Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, Juz I hlm. 264, ia memaparkan, ‘Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya hal itu (mengangkat khalifah) di antara umat dan para imam [mazhab], kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Asham, yang dia itu memang ‘asham’ (tuli) dari syariat. Demikian pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta mengikutinya dalam pendapat dan mazhabnya.’
Imam Nawawi dari Damaskus juga berkata, ‘Mereka [para shahabat/ulama] telah sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah’ (Syarah Shahih Muslim, Juz XII hlm. 205).
Maknanya, di dalam urusan mengangkat seorang khalifah, kata Kiai Shiddiq, tidak sekadar wajib tetapi sudah menjadi kesepakatan (ijma’) para ulama. “Termasuk ijma’ para sahabat yang pada waktu itu mengangkat khalifah yang pertama dalam sejarah Islam, yaitu mengangkat Abu Bakar as-Shiddiq,” terangnya.
Berikutnya, penjelasan dari Imam Ibnu Khaldun yang wafat tahun 808 H. ‘Sesungguhnya mengangkat imam (khalifah) adalah wajib yang telah diketahui kewajibannya dalam syariat berdasarkan ijma’ sahabat dan tabi’in, karena pada saat wafat Nabi SAW, para sahabat bersegera membaiat Abu Bakar ra dan menyerahkan kepadanya pertimbangan mengenai urusan mereka. Demikian pula halnya pada setiap masa dan tidaklah manusia dibiarkan dalam keadaan kacau. Hal itu sudah menjadi ketetapan berdasarkan ijma’, yang menunjukkan wajibnya mengangkat imam (khalifah). (Muqaddimah, hlm. 191).
Komprehensif
Bahkan mengenai pendapat empat mazhab dalam lingkup ahlussunnah wal jamaah atau sunni, yaitu dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, Kiai Shiddiq mengutip pendapat yang menurutnya cukup komprehensif dari Syekh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) di dalam kitab Al Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz V hlm. 416.
‘Telah sepakat para imam [yang empat] bahwa imamah (khilafah) adalah fardhu; dan bahwa tak boleh tidak, kaum Muslim harus mempunyai seorang imam yang menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizalimi dari orang-orang zalim; dan bahwa tak boleh kaum Muslim pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.’
“Ini satu kitab yang cukup komprehensif karena menghimpun pendapat dari berbagai mazhab menjadi dalam satu kalimat, dalam satu pernyataan,” ucap Kiai Shiddiq.
Tak hanya itu, di dalam kutipan tersebut menurutnya juga ada hal lain yang mungkin belum ada. Yaitu redaksi para imam empat yang sepakat, kaum Muslim di seluruh dunia hanya boleh memiliki satu imam/khalifah. “Apakah imam itu mau berdamai, hidup berdampingan secara damai atau berkonflik, perang terus, enggak peduli. Pokoknya tidak boleh,” tegas Kiai Shiddiq kembali.
Dengan demikian, analisis lain Kiai Shiddiq, di samping seluruh ulama terpercaya sepakat khilafah hukumnya wajib, pendapat-pendapat tersebut merupakan kesepakatan (konsensus) mazhab fikih sunni (ahlussunnah wal jamaah) yang empat, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
“Bahkan wajibnya khilafah disepakati pula oleh berbagai kelompok (firqah) di luar ahlussunnah wal jamaah, seperti oleh kelompok murji’ah, syi’ah, mu’tazilah, khawarij, dsb.,” tambahnya sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Hazm di kitab Al-Fashlu fi al-Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz IV hlm. 87.
“Intinya ini tidak hanya pendapat internal sunni atau ahlussunnah, tetapi di luar itu sama sepakat menyatakan khilafah adalah wajib,” lugasnya.
Kalaupun ada segelintir ulama yang mengingkari kewajiban Khilafah, kata Kiai Shiddiq, pendapat itu dinilai syadz (menyimpang) dan yang tidak mu’tabar (tidak dianggap). Seperti halnya kata Imam Al-Qurthubi ketika mengomentari Al-‘Asham yang secara harfiyah bermakna ‘si Tuli’ atau sebagai ‘orang yang memang tuli dari syariah.’
“(Pun), pendapat kontemporer seperti Al ‘Asham, itu banyak dikeluarkan oleh orang-orang liberal misalnya Ali Abdur Raziq, kualitasnya lebih rendah daripada Al ‘Asham,” kata Kiai Shiddiq.
Terakhir, analisisnya lagi, akan sangat sulit untuk tidak mengatakan mustahil, mencari rujukan pendapat ulama terdahulu yang mengingkari wajibnya khilafah.
“Para intelektual sekuler atau ulama suu` (jahat) yang mencoba menipu umat Islam bahwa khilafah itu tidak wajib, akan terpaksa berbohong atau melakukan manipulasi jahat terhadap pendapat-ulama terdahulu untuk berkata bahwa ‘khilafah itu tidak wajib’,” pungkasnya.[] Zainul Krian