Bandingkan Demokrasi dengan Sistem Islam, Pamong Institute: “Jauh Sekali”
Mediaumat.id – Membandingkan demokrasi dengan sistem Islam dari segi idealisme sebagai sebuah pemerintahan negara, Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky mengatakan jauh sekali.
“Tentu (demokrasi) jauh sekali dengan, kalau kita lihat itu dalam sistem pemerintahan Islam,” cetusnya dalam Kajian Politik Islam; Sistem Politik Islam: Sederhana, Cepat dan Hemat Anggaran, Sabtu (26/3/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Hal itu seperti ia sampaikan sebelumnya, sistem yang lekat dengan kredo ‘suara rakyat suara tuhan’ tersebut tidak mungkin menghasilkan suatu pemerintahan ideal sebagaimana sistem Islam dengan segala kegemilangan selama hampir 13 abad lebih.
Pasalnya, lanjut Wahyudi, sejak dibentuk oleh Rasulullah SAW, pemerintahan di Madinah yang telah menjadi model negara Islam pertama di dunia itu juga sebagai sebuah sistem pemerintahan yang sangat canggih dan modern kala itu.
“Di catatan saya, Nabi membentuk Piagam Madinah dan itu dalam catatan sejarah, itu sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia,” paparnya dengan mengungkapkan di masa itu belum ada satu negara pun yang memiliki konstitusi serupa.
Hebatnya lagi, masyarakat Madinah yang tergolong bukan mayoritas Muslim, bisa menyepakati klausul-klausul Piagam Madinah. “Disebutkan bahwa apabila terjadi perselisihan antar masyarakat di Madinah, maka akan dikembalikan keputusannya kepada Rasulullah Muhammad SAW,” terangnya.
Dengan demikian, kata Wahyudi, ketundukan tersebut juga menunjukkan selain sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW juga berperan menjadi seorang kepala pemerintahan yang tentunya berdasarkan syariat Islam.
Ramping
Ia menambahkan, selain berkultur unik sebab kemajemukannya, ternyata struktur di dalam sistem pemerintahan Islam juga ramping.
Sebutlah jabatan kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kemudian para muawin yang membantu mengurus pemerintahan, dsb. “Itu simpel, ringan dan justru dia lebih ramping dan lincah,” kagumnya.
Lebih dari itu, seraya membuat du contract social, (semacam kesepakatan) dalam konteks pemberlakuan Piagam Madinah, Nabi SAW juga membangun persaudaraan di antara kaum Muhajirin dan Anshar.
“Di situ Rasul datang tidak langsung membangun ibu kota negara,” sela Wahyudi, dengan maksud mengkritik rezim saat ini yang sangat ingin membangun ibu kota negara baru. Padahal menurutnya, belum memiliki kecukupan uang.
Maknanya, Rasulullah SAW memang tidak meninggalkan suatu bangunan megah, tetapi mewariskan sebuah sistem pemerintahan yang unik, ramping dan efisien, yang model kepemimpinannya dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar as-Siddiq serta para khalifah berikutnya.
“Khalifatur Rasulullah (pengganti Muhammad dalam hal kepemimpinan umat) Abu Bakar ash-Shiddiq itu sebagai pewaris dari Nabi, Rasulullah SAW. Dia bentuknya, sistem pemerintahannya sistem pemerintahan Islam,” jelasnya.
Lugasnya, ia menyampaikan satu catatan sejarah tentang perluasan wilayah kekuasaan Islam di era Abu Bakar yang ternyata sudah mampu menjangkau keluar jazirah Arab.
“Dengan sistem pemerintahan yang ramping, maka pergerakan pemerintahan menjadi lebih lincah, lebih cekatan dan lebih murah pastinya,” ujarnya kembali membandingkan dengan sistem pemerintahan demokrasi saat ini yang mengurusi minyak goreng saja sampai berbulan-bulan.
“Berbulan-bulan enggak beres minyak goreng ini,” timpalnya.
Demokrasi
Lantas berkenaan dengan sistem pemerintahan demokrasi, secara postur ia katakan identik dengan gemuk, lamban, hingga biaya tinggi serta proses politik yang penuh liku dan panjang, termasuk juga masa kampanye yang lama.
Sehingga tak heran tatkala penyusunan kabinet, misalnya, banyak sekali terjadi kompromi politik. “Ada kepentingan-kepentingan politik yang di mana itu menjawab atau pun merespons janji-janji politik ketika mereka berkampanye,” tandasnya.
“Dengan tambahnya struktur kabinet atau menteri atau jabatan, pasti juga seorang menteri butuh staf. Nambah lagi biaya staf. Staf itu dia butuh kantor itu perjalanan dinas telepon, prasarana jadi mahal sekali,” urainya.
Maka dengan struktur pemerintahan yang makin gemuk, sambung Wahyudi, bisa dipastikan di dalam memutuskan suatu kebijakan pun memerlukan tambahan biaya.
“Inilah yang membuat ketika struktur pemerintahan itu gemuk maka cenderung dia lamban dalam bergerak karena banyak koordinasi,” jelasnya.
Persoalan demikian, ternyata tak berhenti di istilah lamban serta boros dalam biaya saja. “Ada penyakit lain lagi, sama persis dengan manusia kalau dia sudah lamban, dia sudah mahal biayanya, karena sudah kegemukan, penyakitnya banyak,” katanya menganalogikan.
Dengan kata lain, dari struktur pemerintahan yang gemuk, ulas Wahyudi memisalkan, sangat berpotensi muncul gontok-gontokan atau cakar-cakaran sesama pejabat, hanya karena rebutan kue proyek ataupun kewenangan.
Namun, secara kabinet yang dipimpin Jokowi selama ini, ia katakan lebih dari gemuk. “Kondisi kabinet yang dipimpin Jokowi ini, saya pikir bukan sekadar gemuk, tetapi sudah obesitas,” tegasnya dengan mengulik sedikit susunan kabinet di era sebelum-sebelumnya yang tidak segemuk sekarang.
“Dalam tubuh pemerintahan yang gemuk, bukan berarti terdapat jiwa yang sehat. Justru dalam tubuh pemerintahan yang gemuk banyak penyakit dan mahal biayanya,” singgungnya.
Artinya, janji-janji Jokowi yang di antaranya akan membentuk kabinet ramping, simpel, dan diisi oleh para profesional, sama sekali tidak terbukti kalau tidak mau disebut kebohongan.
Dengan kalimat berbeda, sebuah sistem demokrasi tidak mungkin menghasilkan pemerintahan ideal dimaksud. “Dalam sistem demokrasi tidak mungkin menghasilkan suatu pemerintahan yang ramping, simpel, murah dan lincah,” ucapnya.
Khilafah Islam
Adalah sistem pemerintahan khilafah Islam, yang secara ideologi, terang Wahyudi, hanya berdasarkan Islam.
Sebab itu, kata Wahyudi menerangkan, khilafah bukanlah ideologi. Tetapi sistem pemerintahan yang berideologikan Islam.
Maka apabila ada pihak yang memang ingin membandingkan, terlebih membenturkan, khilafah dengan Pancasila yang karena itu lalu mengira khilafah adalah sebuah ideologi, sekali lagi ia sampaikan, hal itu adalah sikap yang salah.
“Kalau dibandingkan sistem khilafah, harusnya membandingkannya dengan sistem pemerintahan yang lain. Apakah itu otokrasi maupun demokrasi,” imbuhnya.
Terakhir ia kembali menekankan, apabila masih ada seorang pejabat publik mengatakan khilafah adalah ideologi, itu suatu kekeliruan yang bisa berakibat fatal. “Kalau level pejabat saja belum bisa membedakan antara sistem pemerintahan dan ideologi, apalagi masyarakatnya yang lain,” pungkasnya.[] Zainul Krian