Panglima Andika Sebut Anak PKI Boleh Daftar TNI, Begini Tanggapan Pakar

 Panglima Andika Sebut Anak PKI Boleh Daftar TNI, Begini Tanggapan Pakar

Mediaumat.id – Pernyataan Jenderal TNI Andika Perkasa yang membolehkan anak keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) ikut seleksi calon prajurit TNI hanya karena tidak ada aturan yang melarang, dipandang pakar sejarah begini.

“Mestinya dia harus mencabut itu atau merevisi itu dan sebagainya,” ujar Prof. Dr. Aminuddin Kasdi dalam FGD Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) #47: PKI & Underbownya, Antara Larangan dan Peluang, Sabtu (2/3/2022) di kanal YouTube Prof. Suteki.

Pasalnya, kalau memang seorang panglima TNI sudah mempelajari sekaligus menguasai sejarah, ia tidak akan mengatakan itu. “Dari latar belakang pendidikannya, saya yakin Andika Perkasa itu enggak pernah memperoleh (pelajaran) sejarah,” nilainya.

Lantaran itu selain mengatakan pentingnya mempelajari sejarah, ia juga membeberkan, sifat komunisme adalah laten (terpendam) serta menghalalkan segala cara demi mewujudkan paham yang menganut ajaran Karl Marx itu dalam lingkup negara.

“Cara-cara apa pun boleh. Bahkan sampai pembunuhan juga boleh, pengkhianatan juga boleh, bohong juga boleh,” tegasnya.

Bahkan sebagai penegas, ia menunjukkan satu dokumen berupa buku kecil tentang ‘ABC Revolusi’ yang ditulis Comite Central (CC) PKI pada 1957 yang intinya, tujuan dari revolusi adalah menjadikan Indonesia sosialisme berikut komunismenya.

“Ini mereka wujudkan dengan operasionalnya yaitu anggaran dasar (AD) PKI,” tandasnya sembari menyampaikan bahwa di dalam AD PKI disebutkan ‘Lewat manifesto politik Republik Indonesia, PKI akan mencapai tujuannya dan tidak bertentangan dengan asas tujuan Republik Indonesia.’

Di samping itu, lanjutnya masih dalam buku tersebut, disebutkan tiga rencana revolusi atau pemberontakan oleh PKI dengan target pembentukan negara komunis di Indonesia.

Pertama, revolusi nasional untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Kedua, revolusi sosial serta revolusi dalam bentuk agraria. “Yang terakhir itu adalah revolusi komunis,” ucapnya.

Namun khusus revolusi agraria, ternyata mereka gagal. Sebabnya dalam peristiwa itu mereka mengalami kekalahan dalam perkelahian di sekitar Pondok Gontor, Mantingan, Ngawi. Meskipun, menyisakan banyak korban jiwa dan terjadi rumah-rumah dibakar.

“Dan mereka balik dari mengadakan revolusi, kemudian angkatan kelima minta dipersenjatai, buruh dan tani minta dipersenjatai,” ulasnya setelah kegagalan itu.

Sementara, di tahun 1948, terjadi peristiwa Madiun di samping tragedi Goranggareng, Magetan. “Di (Desa Soco) Magetan itu ada satu sumur yang di dalamnya itu terpendam 108 jenazah. Yang 68 itu dapat,” sebutnya dengan mengulas kembali peristiwa banjir darah 74 tahun silam.

Belum lagi aksi-aksi sepihak lain yang terjadi di tahun 1960 hingga puncaknya yang dikenal dengan sebutan G30S/PKI 1965. “Dalam aksi sepihak itu, sekali lagi komunisme itu dikembangkan. Kemudian yang tidak setuju dengan pemerintah dikatakan kontra revolusi atau kelompok reaksioner” sebutnya.

Kambing Hitam

“Kalau sekarang yang menjadi kambing hitam itu adalah HTI, FPI, maka waktu itu yang menjadi kambing hitam adalah Masyumi, PSI kemudian DI/TII,” terang pakar sekaligus peneliti dan dosen sejarah Unesa tersebut.

Para ulamanya pun, tak luput dari target mereka. “Kalau yang sekarang kan kita tahu HRS, dsb. Waktu itu yang dipenjara adalah Hamka, kemudian juga Pak Prawoto Mangkusasmito, kemudian juga Muhammad Rum,” sambungnya dengan rasa heran, apa kesalahan mereka sebenarnya.

Persoalan kebudayaan pun demikian. Dengan kata lain, kebudayaan yang tergolong murni tidak diperbolehkan. Tak pelak, terjadilah perlawanan dengan bentuk manifes kebudayaan, meski kemudian menjadi sasaran Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terkait PKI.

Maka itu ia sedikit banyak mengulik tentang hubungan PKI dengan pemerintahan RRC berikut Partai Komunis Cina (PKC)-nya yang juga sarat kekejaman. “Mao Ze Dong itu sekali tebas itu bisa puluhan perwira tentara berbintang yang ditawan itu bisa dibunuh,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan kejadian serupa di Kamboja era Pol Pot bersama pasukan Khmer Merah yang ketika itu menewaskan sekitar dua juta orang. “Itu dua juta itu sampai batok kepalanya itu ditumpuk di rak-rak di sawah-sawah,” ucapnya sedih.

Dengan demikian dari semua pemaparan, Prof. Aminuddin heran dengan upaya gugatan yang datang dari golongan mereka yang justru pada tahun 2016, menggaungkan permintaan maaf kepada eks PKI dari Presiden Jokowi.

Celakanya, lanjut Prof. Aminuddin, pemerintah justru terkesan menginisiasi, mempelopori dan mensponsori penyelenggaraan simposium tragedi 1965 yang dilangsungkan pada tahun 2016 lalu di Hotel Aryaduta, Jakarta.

“Intinya pendekatan sejarah supaya mendapat legitimasi bahwa PKI itu sebagai korban gitu loh,” timpalnya dengan mempertanyakan, kalau memang benar mereka (eks PKI) menjadi korban, lantas siapa pelakunya?

Maka itu sekali lagi ia menuturkan, betapa pentingnya pendidikan sejarah. Bahkan sebagai bentuk kepedulian, ia pernah merekomendasikan agar di sekolah-sekolah dengan jenjang SMA ataupun sederajat, terdapat pelajaran sejarah meskipun satu jam pelajaran.

“Tetapi sekali lagi waktu itu enggak digubris sama sekali. Sehingga kalau Andika Perkasa itu enggak tahu sejarah, ya wajar itu,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *