Puasa Ramadhan Tidak Boleh Dimasukkan ke dalam Kafarah Pembunuhan Karena Tersalah
Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Semoga Allah menolong Anda atas apa yang Anda jalani.
Pertanyaan: apakah dalam kafarah boleh dihimpun berpuasa dua bulan berturut-turut dalam kafarah pembunuhan karena tersalah (al-qatlu al-khatha`) antara bulan Sya’ban dan Ramadhan? Perlu diketahui bahwa kafarah berpuasa adalah wajib dalam keadaan tidak dapat membebaskan seorang hamba sahaya, dan puasa Ramadhan juga wajib, lalu apakah boleh menghimpun Sya’ban dan Ramadhan dalam kafarah dalam bentuk berpuasa itu?
Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.
[al-‘Abid Lillah]
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
1- Tidak boleh memasukkan puasa bulan Ramadhan dalam kafarah pembunuhan karena tersalah (al-qatlu al-khatha`). Masing-masing dari keduanya adalah hukum yang terpisah satu sama lain. Kafarah pembunuhan karena tersalah adalah berpuasa dua bulan berturut-turut bagi orang yang tidak memiliki hamba sahaya untuk dia merdekakan atau tidak mampu memberi makan enam puluh orang miskin sebagaimana yang ada di dalam ayat yang mulia:
﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً﴾
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (TQS an-Nisa’ [4]: 92).
Jelas dari ayat tersebut bahwa yang dituntut adalah berpuasa dua bulan berturut-turut untuk kafarah, sehingga tidak masuk di dalamnya puasa yang lain yang diwajibkan bukan untuk kafarah seperti puasa bulan Ramadhan. Nas syar’iy tentang puasa Ramadhan adalah:
﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (TQS al-Baqarah [2]: 185).
Nas ini bukan nas syar’iy untuk kafarah pembunuhan karena tersalah sehing keduanya tidak saling intervensi. Dan saya memohon kepada Allah SWT agar menolong Anda atas ujian ini dan mengagungkan pahala Anda, dan Allah Maha menolong orang-orang saleh.
2- Adapun dalam kondisi tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut karena sebab yang mengharuskan hal itu maka ada perbedaan pendapat dalam hukumnya pada dua pendapat:
Pertama: bahwa dia tidak memberi makan, sebab Allah SWT tidak menyebutkan memberi makan jika dia tidak mampu berpuasa dalam kafarah pembunuhan karena tersalah. Seandainya di situ ada memberi makan niscaya Allah menyebutkannya sebagaimana Allah SWT menyebutkannya dalam kafarah azh-zhihâr … Ini adalah pendapat jumhur.
Kedua: pengqiyasan kafarah pembunuhan karena tersalah kepada kafarah lainnya semisal kafarah azh-zhihâr yang mana wajib memberi makan enam puluh orang miskin jika tidak mampu berpuasa enam puluh hari “dua bulan berturut-turut”. Allah SWT berfrman:
﴿وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ * فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيناً ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (TQS al-Mujadilah [58]: 3).
Ini adalah pendapat ulama syafi’iyyah.
3- Yang saya rajihkan adalah jika tidak mampu berpuasa karena sebab yang mengharuskannya seperti disebutkan di atas, maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya, tetapi dia beristighfar memohon ampunan kepada Allah SWT dan bertaqarruh kepada-Nya dengan berbagai kesunahan dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. Adapun kenapa kami tidak mengqiyaskan kafarah pembunuhan karena tersalah terhadap kafarah azh-zhihâr, karena tidak ada qiyas dalam kafarah sebab kafarah itu tidak disertai ‘illat.
Dinyatakan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz iii bab “Syurûth Hukm al-Ashl -Syarat-Syarat hukum Pokok-“ tentang al-Qiyas halaman 338 file pdf:
[Kelima: hukum pokok tidak dialihkan dari sunah (aturan) qiyas. Yang dialihkan dari aturan qiyas ada dua jenis:
Pertama; apa yang tidak dapat dirasionalkan maknanya, yaitu ada kalanya dikecualikan dari kaedah umum atau diawali dengannya:
– Apa yang dikecualikan dari kaedah umum itu semisal diterimanya kesaksian Khuzaimah seorang diri sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari. Maka itu seiring keberadaannya yang tidak dapat dirasionalkan maknanya, dia dikecualikan dari kaedah kesaksian.
– Dan apa yang diawali dengannya (al-mubtada` bihi) semisal jumlah rakaat shalat, penetapan angka nishab zakat, kadar hudud dan kafarah. Semua itu bersamaan keberadaannya tidak dapat dirasionalkan maknanya, juga tidak dikecualikan dari kaedah umum. Berdasarkan kedua penilaian itu, qiyas di dalamnya terhalang… ] selesai.
Saya berharap di dalam jawaban ini ada kecukupan. Wallâh a’lam wa ahkam.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
15 Sya’ban 1443 H
18 Maret 2022 M
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/80990.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/512941637059877