Pakar Hukum Pidana: Terorisme dan Radikalisme Hanyalah Komoditas
Mediaumat.id – Pakar Hukum Pidana Dr. Muhammad Taufiq S.H., M.H. mengatakan isu terorisme, radikalisme hanyalah komoditas.
“Terorisme, radikal dan itu Islam itu semata-mata karena komoditas saja tidak ada alasan ilmiah, alasan historinya tidak ada, apalagi alasan akademisnya tidak ada, tidak nyambung,” tuturnya dalam acara Perspektif PKAD: Radikalime dan Khilafah, di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Ahad (6/3/2022).
Menurutnya, di Indonesia stempel terorisme atau radikalisme dibuat lebih kepada aspek ekonomi karena untuk dipakai jualan. “Terorisme itu atau radikalisme lebih kepada aspek ekonomi karena yang dipakai jualan untuk menarik duit,” ungkapnya
Ia mengatakan bahwa di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. “Di dalam KBBI jelas tidak ada kaitannya dengan Islam,” tegasnya.
Taufiq juga menyebut, menurut perspektif masyarakat di Indonesia, radikal dan teroris itu untuk menyudutkan Islam karena mestilah selalu dikaitkan dengan umat Islam, kemudian dipersempit lagi dengan mengatakan pasti celananya cingkrang.
“Kapan Islam dihubungkan radikalisme? Puncak memontumnya pada saat World Trade Center (WTC) kemudian kita lihat tahun 1990 puncaknya tahun 2001 itu dimulai dari AS, AS memiliki pandangan negatif terhadap Islam,” terangnya.
Ia mengungkapkan, pada 1990, AS menghegemoni hampir semua negara yang mempunyai potensi minyak. Pada 2000 memposisikan semua negeri Islam yang anti AS disebutnya menyokong terorisme, di antaranya adalah Iran, Irak, termasuk di dalamnya Afghanistan.
“Allah tunjukkan bahwa AS, puncaknya ditandai 14 Desember 2021 dengan disahkannya RUU untuk memerangi Islamofobia artinya RUU ini sebagai negara demokrasi yang memandang sebuah persoalan dengan cara-cara kaca mata ilmiah sudah menciptakan RUU Islamofobia dan ini bukan pertempuran yang mudah RUU yang digagas oleh Partai Demokrat tanggal 14 Desember 2021 dalam pemungutan suara menghasilkan komposisi suara sangat tipis (pada tahun) 2019 menyatakan setuju dengan RUU Islamofobia, (kemudian) 212 menolak (RUU Islamofobia) artinya ada satu perubahan pola pikir,” imbuhnya
“Kalau kemudian radikalisme ini dihubungkan dengan Islam saya pikir pemahaman tokoh-tokoh politik Indonesia ini mencontoh AS, mencontohnya telat, AS sudah berubah,” pungkasnya [] Alfia Purwanti