Siyasah Institute: Ingin Pemilu Murah dan Bebas Oligarki? Tegakkan Khilafah!
Mediaumat.id – Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengatakan kalau ingin pemilu lebih murah dan bebas oligarki maka mesti kembali menegakkan khilafah. “Di dalam sistem demokrasi tidak ada istilah pemilu murah serta bebas dari cengkeraman oligarki. Kalau mau pemilu lebih murah dan bebas oligarki, jangan pakai demokrasi. Kembali ke syariat Islam dengan menegakkan khilafah,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (24/2/2022).
Hal itu ia sampaikan berkenaan dengan makin membengkaknya biaya penyelenggaraan pemilu tahun 2024 dan kekhawatiran akan bertambah kokohnya cengkeraman oligarki atas jalannya perpolitikan di negara ini.
Sekadar diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengusulkan anggaran untuk penyelenggaraan pemilu 2024 sebesar Rp86,2 triliun. Naik Rp60,61 triliun dari anggaran tahun 2019 sebesar Rp25,59 triliun.
Dari data KPU itu, kenaikan dikatakan karena biaya operasional penyelenggaraan pemilu dan dukungan bagi perbaikan infrastruktur KPU di daerah yang juga membengkak.
Harusnya, ulas Iwan, sebelum pengajuan anggaran, diadakan evaluasi kinerja penyelenggaraan pemilu sebelumnya secara terbuka. “Disaksikan akademisi, pengamat politik, peneliti dan perwakilan masyarakat non-DPR,” ucapnya terkait dengan persoalan efisiensi penggunaan dana, tranparansi, serta kinerja KPU, Bawaslu, dsb.
Sebab di sisi lain, Iwan memandang, banyak keluhan serta pengaduan berbagai pihak berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu tahun 2019 lalu.
Yang lebih mendasar, menurut Iwan, adalah pemerintah yang seharusnya bisa menjamin penyelenggaraan pemilu bebas dari intervensi siapa pun termasuk kaum oligarki, kenyataannya berbanding terbalik. “Belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya dan pesta demokrasi di negara mana pun, kaum oligarki pasti bermain,” bebernya.
Cukong
Indikasinya, ungkap Iwan, bisa dilihat seperti halnya pernyataan Mahfud MD yang pernah menyatakan bahwa 90% lebih, pilkada didanai cukong. “KPK juga bilang 60 persen lebih,” imbuhnya.
Dengan demikian, kata Iwan, kalau memang untuk pilkada saja bermain, apalagi untuk pileg dan pilpres.” Masak sih mereka enggak ada? Kuenya lebih besar dan menggiurkan,” tukasnya.
“Jadi untuk apa ada pemilu dengan biaya sebesar itu kalau ujungnya negara ini tetap jadi oligarki,” tegasnya.
Oleh karena itu, Iwan kembali menuturkan, pangkal dari semua polemik itu memang demokrasi yang telah membuka gerbang depan rumah negara berikut gelaran karpet merah bagi kaum kapitalis.
Sehingga, ia menyebut, demokrasi melalui pemilu sebenarnya bukan untuk memilih wakil rakyat, tetapi wakil partai politik. “Sedari awal rakyat sudah tidak berdaulat. Bukan mereka yang tentukan wakilnya, tapi parpol,” tegasnya dengan menyebut hal itu sebagai manipulasi dari demokrasi.
Justru, ia katakan, parpol sendiri nyaris tidak independen. Sebab, mereka membutuhkan cash money untuk biaya semisal, operasional, pembangunan gedung, maintenance pemilih agar tetap loyal, dan yang sudah pasti adalah untuk berkompetisi di perhelatan demokrasi.
“Dari mana mereka bisa dapat uang besar? Enggak cukup hanya patungan anggotanya, pasti butuh sumbangan. Di sinilah oligarki berinvestasi,” pungkasnya.[] Zainul Krian