Prof. Suteki: Ada Fenomena Industri Hukum di Balik Kasus HBS
Mediaumat.id – Menyoroti fakta terkait kasus yang dilaporkan berkali-kali tetapi tidak diproses, sebaliknya ada yang dilaporkan sekali langsung diproses (kasus Habib Bahar bin Smith/HBS) sampai pada penahanan, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menilai fenomena ini menunjukkan adanya industri hukum.
“Kalau kita lihat dari kacamata ilmu hukum, apa yang terjadi ini, ada fakta terkait kasus yang dilaporkan berkali-kali tetapi tidak diproses. Sebaliknya ada yang dilaporkan sekali langsung diproses sampai pada penahanan. Jika memang itu benar terjadi, maka gejala atau fenomena yang ada itu saya sebut sebagai industri hukum,” tuturnya dalam Diskusi Online Media Umat, HBS Ditahan: Ketidakadilan Hukum Makin Nyata? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (09/01/2022).
Menurutnya, hal ini juga pernah disampaikan Menkopolhukam yang mengungkap bahwa saat ini ditengarai tengah terjadi industri hukum. “Industri hukum yaitu penegakan hukum yang tidak berorientasi kepada kebenaran dan keadilan, tetapi lebih berorientasi kepada kepentingan atau untung rugi. Untung rugi ini bisa karena kepentingan penguasa atau pihak lain,” ujarnya.
Namun ia melihat, penanganan suatu kasus dari sebuah laporan yang disampaikan kepada polisi sampai dapat ditindak itu ada beberapa hal. “Pertama, dengan skala prioritas atau kedua, kemungkinan lain yakni dilakukan diskresi. Diskresi itu to do or not to do,” jelasnya.
Ia heran, tersangka pembunuhan yang ancamannya jelas pidana 15 tahun tidak ditahan, sedangkan orang yang membicarakan pembunuhan itu dan dinilai oleh penyidik polisi, misalnya, melakukan berita bohong yang ancaman pidananya 10 tahun, justru itu yang ditahan. “Itu bagi saya, ironi di dunia hukum. Lah kok bisa begitu. Maka saya katakan ini diskresi. To do or not to do. Tapi menurut saya, ini diskresi yang tidak benar,” tegasnya.
Ketiga, adanya kemungkinan yang buruk yaitu melakukan diskriminasi. “Kalau kita ngomong hukum itu seperti pisau dapur. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Atau bisa juga dikatakan galak ke lawan, tetapi lunak ke kawan,” ungkapnya.
“Jadi, bisa saja satu kasus itu ditangani dengan gerak cepat (gercep) sedangkan di kasus yang lain agak telat. Tentu polisi ini punya pertimbangan atau alasan subjektif maupun objektif. Namun secara prinsip, penetapan orang menjadi tersangka itu memang harus setidaknya ada dua alat bukti ditambah dengan pemeriksaan pendahuluan. Tapi semua kembali kepada polisi untuk menahan atau tidak menahan. Polisi mempunyai hak mulai dari awal pemeriksaan, penetapan tersangka, sampai penahanan. Bahkan, bisa terjadi dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, yaitu dalam hitungan jam,” bebernya.
“Oleh karena itu, kalau ada ketimpangan, saya lebih mengamini apa yang dikatakan Pak Mahfud MD bahwa ada fenomena industri hukum,” tegasnya.
Menurutnya, fenomena industri hukum ini bisa dilihat, misalnya, saat terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pejabat negara. “Seperti pelanggaran HAM pada kasus KM 50 itu jelas pelanggaran HAM, cuma waktu itu Komnas HAM menyatakan bahwa itu bukan pelanggaran HAM berat. Padahal menurut analisis saya, secara dangkal itu bisa dikatakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh penguasa. Itu dilakukan secara terstruktur terjadi unlawfull killing,” ungkapnya.
Ia mengatakan, jika pelanggaran HAM itu dilakukan oleh penguasa maka hukum dan politik ini sangat berkelindan. “Dan proses hukum itu sangat terpengaruhi oleh politik. Itu bisa saya pastikan,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it