Perppu Ormas: Memaksakan Kegentingan Demi Kepentingan

 Perppu Ormas: Memaksakan Kegentingan Demi Kepentingan

Oleh: Dr. Ahmad Sastra (Peneliti Islam Politik dan Peradaban)

Mungkin orang bisa jadi superior pada waktu tertentu, tapi dia tidak mungkin bisa menghebat selamanya, sebab satu saat pasti akan dihentikan oleh waktu [Abu Zaydan el Fateeh]

Jargon bahwa Indonesia adalah negara hukum yang selalu diteriakkan dan dipuja-puja pemerintah tiba-tiba diruntuhkan oleh mereka, jika tidak ingin dikatakan dikhianati sendiri. Melalui penerbitan perppu ormas no 02 tahun 2017, pemerintah telah melakukan tindakan ceroboh dan tidak mendidik rakyatnya sendiri. Apa yang sedang ingin rezim wariskan kepada generasi penerus bangsa ini dengan penerbitan perppu kontroversial ini.

Jargon ‘agama demokrasi’ yang dimaknai sebagai kebebasan berkumpul dan berpendapat setelah sekian lama disembah-sembahpun kini diinjak-injak sendiri. Lebih ironi adalah efek domino yang ditimbulkan oleh perppu ini yang hanya menyasar ormas-ormas Islam yang berseberangan dengan logika rezim saat ini. HTI hanyalah salah satu ormas yang langsung dibubarkan dengan menggunakan senjata perppu ini, tanpa melalui prosedur hukum yang dibuatnya sendiri.

Perilaku dan watak rezim kali ini dapat mudah dibaca bahwa mereka anti Islam. Hanya orang-orang muslim yang mau menyembah mereka yang akan diterima, namun jika mengkritik rezim, maka mereka akan disingkirkan. Rezim dengan kekuatan dan kekuasaan semu telah menempatkan dirinya sebagai ‘tuhan penentu kebenaran’ yang tidak boleh ditolak.

Ormas-ormas Islam yang justru telah mencintai dan membela negara ini dengan benar justru difitnah anti pancasila dan anti kebenekaan. Sementara partai komunis yang justru bertentangan dengan pancasila malah disambut bak raja. Nilai-nilai Islam yang justru menjadi inspirasi lahirnya pancasila justru menjadi sasaran persekusi rezim ini. Inilah kekuasaan terburuk selama penulis tinggal di Indonesia.

Memang benar bahwa presiden punya hak untuk mengeluarkan perppu. Merujuk pasal 22 UUD 1945 dan UU no. 11 tahun 2011, Presiden boleh mengeluarkan  PERPPU dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Artinya presiden bisa mengeluarkan perppu hanya jika keadaan negara genting.Namun penerbitan perppu no 2 tahun 2017 memiliki landasan yang sangat lemah, jika tidak ingin dikatakan ceroboh dan mengada-aada.

Berdasarkan putusan MK no.138/PUU-VII/2009: syarat “hal ihwal kegentingan yang memaksa” ada tiga : pertama, Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Secara de facto, tidak ada kondisi genting di negeri ini, terutama jika dikaitkan dengan tuduhan rezim. Tidak ada kegentingan, semua kehidupan bernegara berjalan normal, bahkan Presiden masih bisa lakukan kunjungan. UU yang mengatur tentang Pembubaran Ormas sudah ada, mengatur secara detil, dimana pembubaran Ormas harus melalui pengadilan. Pemeritah tidak mau menempuh prosedur UU no. 17/2013 tentang Ormas karena dianggap lama dan mungkin kalah di pengadilan. Pemerintah justru tempuh jalan pintas, merevisi UU Ormas melalui PERPPU dengan memberi kewenangan absolut untuk membubarkan Ormas pada dirinya. Inilah bentuk kediktatoran konstitusional yang melahirkan rezim diktator yang represif dan sewenang-wenang.

Rezim dalam hal ini sesungguhnya telah melakukan kecerobohan dan tindakan mengada-ada. Sebab dengan terbitnya perppu ormas ini rezim telah mengabaikan konsensus berbangsa dan bernegara yang dibuatnya sendiri. Salah satu substansi menonjol dari PERPPU no. 2/2017 adalah meniadakan proses pengadilan. PERPPU no. 2/2017 mengubah secara drastis isi UU no. 17/2013. PERPPU itu mengubah prosedur sanksi pada Pasal 60, 61 dan 62 serta menghilangkan ketentuan prosedur sanksi pada pasal 63 sampai 80 dan Pasal 81 yang mengharuskan adanya proses pengadilan. Wewenang untuk menuduh, menilai, “mengadili” dan memvonis Ormas sepenuhnya secara absolut di tangan Pemerintah. Dengan demikian negara ini bergeser dari negara hukum (rechtstaat) menjadi negara kekuasaan (machstaat).

Alasan penerapan asas contrarius actus, sehingga pejabat yang berwenang menerbitkan surat keterangan/surat keputusan juga berwenang untuk melakukan pencabutan.” Alasan ini tidak tepat-tidak pada tempatnya, mengada-ada, dan tidak berdasar. Tidak ada keharusan di mata hukum bahwa lembaga yang memberikan pengesahan secara otomatis atau harus mempunyai wewenang untuk mencabut dan membatalkan. Begitu banyak lembaga, institusi, atau badan hukum yang tidak dapat dibubarkan oleh lembaga atau institusi yang mengesahkannya dan pembatalan atau pencabutannya harus melalui pengadilan.

Penerapan asas contrarius actus, secara serampangan bisa kacau . Menkumham mengesahkan status PT, Yayasan, Firma, tapi tidak berwenang mencabut/membubarkannya. Pencabutan/pembubaran melalui pegadilan. KUA mengesahkan status pernikahan, tapi KUA tidak berwenang mencabut/membatalkan status pernikahan, tetapi hanya pengadilan.Asas contrario actus adalah asas hukum administrasi, tidak tepat untuk masalah selainnya.

Jika dikaitkan dengan gerakan HTI sebagai alasan terbitnya perppu ormas, maka bisa jadi perppu ini adalah alat penguasa untuk melakukan pembungkaman hak umat Islam untuk berdakwah. Dakwah Islam bisa dianggap “tindakan permusuhan …” . Misal, seruan “tolak pemimpin kafir”, “wa lan tardha ‘anka al-yahudu wa la an-nashara”, “jangan menjadikan orang kafir menjadi teman dekat atau wali”. Kritik kepada rezim bisa dianggap “tindakan permusuhan” kepada penyelanggara negara. Spt ““rezim mencekik rakyat”, “rezim menyengsarakan rakyat”, “rezim antek asing dan aseng”.

Padahal secara substansi, apa yang disuarakan oleh HTI adalah demi kebaikan bangsa ini. Bukankah negara ini memimpikan sebuah kehidupan yang mandiri, sejahtera, berdaulat dan terlepas dari segala bentuk penjajahan. Oleh HTI problem fundamental bangsa ini dikaji secara ideologi dan memberikan solusi yang fundamental pula. Sebenarnya bangsa ini mestinya berterimakasih kepada HTI yang dengan tulus mencintai bangsa ini dengan memberikan solusi komprehensif atas kompleksitas masalah bangsa ini. Jika HTI dianggap genting, maka yang terjadi sebenarnya adalah memaksakan kegentingan untuk mempertahankan kepentingan. Itupun kalau pemerintah mau jujur.

Seruan-seruan dakwah HTI dipaksakan sebagai kondisi genting karena apa yang disuarakan HTI tidak sesuai dengan kepentingan rezim. Hal ini didasarkan oleh Pasal 59 (3) Ormas dilarang: a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan. Penjelasannya: “tindakan permusuhan” adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara Negara.

Padahal jika dipikirkan secara mendalam, maka perppu ormas ini adalah sebagai upaya kriminalisasi ajaran Islam, dakwah Islam dan aktivis Islam. Dalam Pasal 59 ayat (4) disebutkan Ormas dilarang: … c. Menganut, mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Padahal penjelasan yang dimaksud dengan “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 45. Dengan demikian, Islam tidaklah paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Sementara PERPPU ini menyerahkan wewenang menentukan “paham lain” yang bertentangan dengan Pancasila itu kepada Pemeritah secara subyektif dan sepihak, tanpa diuji dan melalui putusan pengadilan.  Penafsiran “paham lain” itusangat terbuka bergantung pada penafsiran pemerintah.  Maka ini bisa saja dijadikan alat oleh rezim untuk memberangus Ormas dan para pengurus serta anggotanya dengan menggunakan label “paham bertentangan dengan Pancasila”.

PERPPU ini dalam pasal 59 ayat (4) huruf c itu juga mengkriminalisasi suatu pemikiran dan keyakinan. Tampak jelas Pasal ini menghakimi atau mengkriminalkan pemikiran yaitu berupa larangan menganut. Sementara menganut suatu pemikiran adalah ranahnya keyakinan atau pemikiran yang bersifat abstrak. Lebih berbahaya lagi, penafsiran dan penentuan paham, ajaran atau keyakinan yang tidak boleh dianut atau diyakini itu ada di tangan Pemerintah secara sepihak dan absolut. Sangat dimungkinkan hal itu akan tergantung selera dan kepentingan rezim berkuasa.

Perppu ini juga berpotensi mengkriminalisasi berdasarkan asosiasi. Pasal 82A berbunyi :  (1)Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. (2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. (3) Selain pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan diancam dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana.

Pasal ini memidanakan orang berdasarkan asosiasi. Ketika suatu Ormas diputuskan secara sepihak oleh Pemerintah melanggar ketentuan Pasal ini, maka seseorang yang dinyatakan sebagai pengurus atau anggota Ormas itu bisa dipidanakan dengan ancaman pidana yang sangat berat, ancaman penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Jika Ormas anggotanya 1 juta, maka 1 orang itu bisa dipidanakan dengan penjara seumur hidup atau penjara palig singkat 5 tahun  dan paling lama 20 tahun.

Bahkan dalam perppu ini niat aja bisa dikriminalisasi. Penjelasan Pasal 82A ayat (1) yang menjelaskan kata “dengan sengaja” adalah adanya niat atau kesengajaan dalam bentuk apapun (kesengajaan dengan kemungkinan, kesengajaan dengan maksud/tujuan, dan kesengajaan dengan kepastian). Untuk itu kesengajaan telah nyata dari adanya “persiapan perbuatan” (voorbereidingings handeling) sudah dapat dipidana, dan ini sebagai perluasan adanya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat.

Dalam sejarah hukum di negeri ini, ketentuan seperti ini tidak ada pada jaman kolonial, masa Orla, Orba, Reformasi, baru ada pada masa rezim ini. Masa Orla tidak ada ketentuan memenjarakan anggota Parpol yang dibubarkan yang bertentangan dengan Pancasila. Ketentuan ini lebih kejam dari hukum penjajah Belanda sekalipun.

Akhirnya, berdasarkan semua itu, PERPPU no. 2 tahun 2017 akan melahirkan rezim diktator yang represif dan sewenang-wenang. Rezim ini dengan menggunakan PERPPU tersebut juga berpotensi: membungkam suara kritis, mengekang dakwah, mengkriminalisasi ajaran islam, mengkriminalisasi Ormas dan aktivis Islam. Oleh karena itu PERPPU tersebut harus ditolak dengan keras.

Karena itu menolak perppu ormas ini selain merupakan hak setiap rakyat, juga merupakan refleksi kejernihan hati dan kecermatan analisa. Menerima perppu hanyalah untuk mereka yang mendasarkan dirinya pada gejolak emosional dan syahwat kekuasaan belaka. Libido kekuasaan akan segera menumbangkan mereka sendiri, cepat atau lambat. []

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *