Begini Alasannya Mengapa Rp10,8 Miliar dari Denmark Harus Ditolak
Mediaumat.id – Karena dinilai hanya untuk kepentingan Barat, dukungan berkelanjutan pemerintah Denmark berupa sokongan Rp10,8 miliar kepada Indonesia dalam upaya mencegah dan melawan terorisme, menurut Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi harus ditolak.
“Sudah seharusnya bantuan-bantuan seperti ini ditolak. Karena setting agendanya itu kalau menerima bantuan ini adalah setting agenda untuk kepentingan Barat,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Jumat (26/11/2021).
Alasannya, lanjut Farid, bantuan Denmark tersebut menunjukkan bahwa perang melawan terorisme ini sesungguhnya bukan sekadar agenda di Indonesia, tetapi lebih kepada agenda dunia internasional.
Sebab kalau bukan agenda global, tidak mungkin negara Australia, Amerika serikat dan bahkan negara-negara Eropa juga memberikan bantuan serupa. “Kita tahu itu, bahwa agenda global ini adalah agenda yang didesain untuk kepentingan negara-negara Barat,” ungkapnya.
Sebelumnya, seperti dikutip dari artikel di jpnn.com, pada Senin (22/11) dengan judul ‘Denmark Kucurkan Rp 10,8 M untuk Bantu Indonesia Basmi Teroris’, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, dukungan dalam bentuk sokongan dana tersebut diberikan kepada Jakarta Centre for Law Eforcement and Cooperation (JCLEC) untuk periode 2021-2023.
Maka itu, menurut Farid, justru di situlah letak persoalannya. Karena, paradigma perang melawan terorisme berlanjut menjadi perang melawan kelompok-kelompok yang dianggap Barat telah mengancam kepentingan mereka.
Apalagi, kata Farid, perang tersebut meluas hingga menjadi melawan radikalisme. “Terkait dengan kelompok-kelompok maupun pemikiran atau orang yang bertentangan dengan nilai-nilai Barat,” jelasnya.
Perang Melawan Islam
Farid menyebut, setting agenda perang global melawan terorisme atau radikalisme, sesungguhnya perang melawan Islam. “Perang global Barat ini adalah sesungguhnya perang melawan umat Islam dan melawan Islam,” tegasnya.
Ia mencontohkan, yang mereka sebut sebagai kelompok radikal, sebagian besar adalah kelompok yang menginginkan penerapan syariat Islam secara kafah dengan tegaknya khilafah. Atau setidaknya, kelompok yang telah mengancam eksistensi penjajahan Barat. “Seperti Hamas, disebut teroris. Kenapa? Karena Hamas ingin membebaskan Palestina dari penjajahan,” bebernya.
“Demikian juga pejuang-pejuang di Suriah, Afghanistan yang melawan penjajahan Barat itu disebut (juga) sebagai teroris,” imbuhnya.
Oleh karena itu, selain menolak, negeri-negeri Muslim malah seharusnya memata-matai kedutaan-kedutaan besar Barat. “Bukan sebaliknya, rakyat sendiri yang justru ingin memperjuangkan syariat Islam untuk kebaikan negeri-negeri Muslim termasuk negeri ini, ini yang kemudian dijadikan sebagai ancaman,” pungkasnya.[] Zainul Krian