Krisis Keuangan Afghanistan, Pengamat: Bentuk Strategi Politik AS
Mediaumat.id – Krisis keuangan yang terjadi di Afghanistan saat ini, sehingga berharap agar Amerika Serikat (AS) mencairkan kembali aset milik Bank Sentral Afghanistan yang telah dibekukan, serta tidak lagi menahan bantuan-bantuan kemanusiaan masuk ke sana, dinilai sebagai bentuk strategi politik AS.
“Menciptakan ketergantungan ekonomi memang telah menjadi bagian dari strategi politik AS untuk tetap menjaga kepentingan nasionalnya di Afghanistan,” ujar Pengamat Politik Internasional Dr. Hasbi Aswar, S.I.P., M.A. kepada Mediaumat.id, Jumat (19/11/2021).
Lebih dari itu, lanjutnya, strategi tersebut dilakukan dengan tujuan, siapa pun yang bakal memimpin akan ditekan dengan berbagai isu. Terbukti, Taliban pun nampaknya kehilangan ide kecuali harus memohon kepada AS dan sekutu-sekutunya agar bantuan tetap bisa mengalir ke sana.
Pembekuan aset tersebut berdampak langsung pada ketidakmampuan pemerintah membiayai kebutuhan dalam negerinya. Seperti biaya listrik, impor, termasuk menggaji para pegawainya. “Bahkan, kondisi krisis itu bisa menciptakan ancaman kelaparan yang meluas di Afghanistan,” ucapnya.
Hasbi menerangkan, sebelumnya, Afghanistan sudah dikenal sebagai negara yang tidak stabil secara politik. Hal itu berdampak sangat besar terhadap proses pembangunan ekonomi di negara itu. “Berbagai upaya pembangunan infrastruktur juga banyak yang gagal, sebab masalah konflik yang terus menerus terjadi di negeri ini,” ungkapnya.
Bahkan, di era Taliban pada periode pertama tahun 1995-2001 sampai periode kedua tahun 2021 saat ini pun kondisinya sama.
Selama itu, menurut Hasbi, Afghanistan berupaya membangun ekonomi mereka, masih saja dengan cara mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari banyak negara dan selanjutnya menjalin kerja sama ekonomi.
Sedangkan di era pasca-Taliban yang dianggap demokratis dan berkuasa selama 20 tahun (2001-2021) pun, kondisinya malah lebih parah. “Negara ini secara politik dikontrol melalui berbagai bantuan ekonomi dan militer oleh AS dan sekutu-sekutunya termasuk melalui lembaga donor Bank Dunia dan IMF,” jelasnya.
Hasbi mengatakan, sebenarnya, Afghanistan adalah negara agraris yang mayoritas perdagangan luar negerinya didominasi oleh produk-produk pertanian dan buah-buahan. Tetapi, dengan itu tidak serta-merta lantas mampu menopang perekonomian di sana.
“Faktanya, 80 persen pendapatan negara berasal dari bantuan donor Amerika Serikat dan donor Barat yang setara dengan 43% pendapatan domestik bruto negara ini,” tuturnya.
Dengan demikian, ia tak heran, setelah pengambilalihan oleh Taliban pada Agustus 2021, secara serentak AS membekukan simpanan Bank Sentral Afghanistan senilai US$9,5 miliar atau setara Rp135 triliun, serta menahan bantuan-bantuan kemanusiaan masuk ke sana.
Strategi Bangun Negara
Membangun sebuah negara, menurut Hasbi, memang bukan perkara yang mudah. Sangat membutuhkan persiapan matang, khususnya dari aspek strategi membangun negara.
Ia mengatakan, persiapan tersebut penting agar kepercayaan masyarakat nantinya bisa tetap terjaga. “Jika tidak, rakyatlah yang akan menjadi penentang utama bagi pemerintahan dan pada akhirnya kekuasaan tidak akan bertahan lama,” tegasnya.
“Kita (juga) bisa belajar dari bagaimana Nabi Muhammad SAW mendirikan negara di Madinah. Beliau dengan terlebih dulu menyatukan pemikiran dan perasaan masyarakat dengan Islam,” sambungnya.
Tak hanya itu, menyiapkan masyarakat agar rela berkorban harta, bahkan termasuk nyawa sekalipun untuk bisa saling menyokong satu sama lain, juga amat penting. “Contoh, kaum Anshar membagikan sebagian harta kepada kaum Muhajirin,” tandasnya.
Strategi tersebut, kata Hasbi, sudah terbukti mampu menciptakan stabilitas dalam negeri sehingga negara bisa fokus menghadapi berbagai ancaman dari luar. Baik propaganda maupun ancaman militer.
Di samping itu, negara juga memungkinkan untuk melakukan kontak dan meminta bantuan ke pihak-pihak atau negara yang relatif independen dari kepentingan negara-negara besar.
Strategi demikian dalam pandangan Hasbi, sangat mungkin dilakukan di era sekarang. Meskipun sebagian besar negeri-negeri saat ini dikontrol oleh kepentingan Barat dan negara-negara adidaya yang lain. “Akan selalu ada kalangan yang bisa diharapkan untuk bekerja sama secara independen baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi,” ujarnya meyakinkan.
Intinya, tegas Hasbi, Islam menginginkan suatu negara, dibangun secara independen dan terorganisir dengan baik. “Sehingga negara yang berdiri itu negara yang dicintai oleh rakyatnya dan disegani di dunia internasional,” pungkasnya.[] Zainul Krian