Fitnah Kehidupan

 Fitnah Kehidupan

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Hari ini, saya ditakdirkan Allah SWT bertemu dengan orang-orang hebat dan luar biasa. Mereka adalah para inspirator perubahan. Tetapi, mereka tetap manusia biasa, dengan segala problem yang dihadapinya, seperti halnya saya. Jangankan kita yang tidak maksum, Nabi saw. yang maksum saja, tetap saja menghadapi masalah. Bahkan, masalah yang lebih berat daripada kita. Itulah “fitnah” kehidupan. Selama kita hidup, selama itu pula kita tidak bisa menghidari “fitnah”.
Allah SWT pun memberikan penegasan dalam firman-Nya:

وَنَبْلُوَكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً

“Dan Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah [ujian].” [Q.s. al-Anbiya’: 35]
Ayat ini menegaskan, bahwa “fitnah” [ujian dan tantangan] yang dihadapi manusia dalam hidupnya bisa berupa keburukan [syarr] sekaligus kebaikan [khair]. Ketika Allah menguji kita dengan sakit, kesulitan, kekurangan, belum diberi keturunan, belum mendapatkan jodoh, dan lain-lain yang kita anggap buruk [syarr], meski sesesungguhnya kita tidak pernah tahu ada apa di balik semuanya itu? Tetapi, yang pasti, Allah SWT hendak menguji kita, sejauh mana kesabaran, keyakinan dan harapan kita kepada-Nya. Semuanya merupakan fitnah bagi kita.

Begitu juga ketika Allah menguji kita dengan sehat, kemudahan, rizki yang berlebih, mempunyai keturunan, pasangan hidup, keluarga, dan lain-lain yang kita anggap baik [khair], meski boleh jadi ujian ini jauh lebih berat ketimbang keburukan [syarr] yang menimpa kita, namun kita sering tidak merasa bahwa ini semuanya adalah fitnah. Padahal, keduanya, baik fitnah yang kita anggap buruk [syarr], maupun fitnah yang kita anggap baik [khair], dua-duanya merupakan keputusan Allah SWT.

Karena itu, tidak jarang di antara kita yang bisa bersabar ketika mendapat ujian keburukan [syarr], sebaliknya justru tersungkur ketika mendapat ujian kebaikan [khair]. Sebagaimana yang dilukiskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an:

أَلاَ فِي الْفِتْنَةِ سَقَطُوْا وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيْطَةٌ بِالْكَافِرِيْنَ

“Ingat, mereka telah tersungkur di dalam fitnah. Dan, sesungguhnya neraka Jahannam itu mengepung orang-orang Kafir.” [Q.s. at-Taubah: 49]

Pendek kata, kita tidak bisa menghindari fitnah, apakah yang kita anggap baik maupun buruk. Karena, semuanya itu memang selalu menyertai kehidupan kita. Yang bisa dan seharusnya kita hindari adalah fitnah yang menyesatkan [mudhillati al-fitan], sehingga kita terperosok atau tersungkur. Karena itu, Sayyidina ‘Ali –Karrama-Llahu wajhah—mengajarkan doa kepada kita:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُضِلاَّتِ الْفِتَنِ

“Ya Allah, hamba berlindung kepada-Mu dari fitnah yang menyesatkan.”

Iya, fitnah yang menyesatkan [mudhillati al-fitan] itulah fitnah yang membuat kita terperosok atau tersungkur. Fitnah yang membuat kita terperosok dan tersungkur itu boleh jadi bukan keburukan [syarr], tetapi sebaliknya, kebaikan [khair].

Lalu apa yang membuat kita terperosok atau tersungkur dalam kubangan fitnah kehidupan? Jawabannya adalah hawa nafsu. Ketika kita dikendalikan oleh hawa nafsu, sehingga akal dan kesadaran kita kalah. Ibn al-Jauzi, dalam kitabnya, Dzamm al-Hawa, menjelaskan bahwa dorongan hawa nafsu itu tidak selamanya buruk, tetapi harus tetap dikendalikan oleh akal dan kesadaran kita.

Orang makan, tergerak untuk makan, karena merasa lapar. Orang tidur, akhirnya harus berangkat tidur, karena merasakan kantuk. Orang beribadah, tergerak untuk beribadah, karena ada dorongan mendekatkan diri kepada Allah. Orang menikah, tergerak untuk menikah, karena ada dorongan cinta dan melestarikan keturunan dengan lawan jenisnya. Begitu juga hasrat untuk memiliki kekayaan telah mendorong orang bekerja dan mengumpulkan harta. Semuanya itu tidak ada yang salah, ketika dikendalikan dengan akal dan kesadaran yang lahir dari akidah dan pandangan hidup kita. Islam.

Masalahnya, apakah kita sudah mempunyai bekal yang cukup untuk membangun akal dan kesadaran kita, sehingga hawa nafsu kita bisa kita kendalikan dengan akidah dan pandangan hidup kita? Inilah yang menjadi tantangan kita. Kita sering merasa sudah cukup, karena minimal seminggu sekali kita sudah mengikuti kajian. Tanpa melihat, apakah yang kita dapatkan tadi benar-benar sudah memadai untuk menjawab semua masalah yang kita hadapi? Padahal, tantangan hidup yang kita hadapi sesungguhnya lebih kompleks daripada ilmu yang kita dapatkan.

Karena itu, sesungguhnya kita tidak boleh merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki. Kita juga tidak boleh berhenti belajar. Karena, begitu kita merasa cukup dengan ilmu kita, dan kita pun berhenti belajar, sesungguhnya tanpa kita sadari kita sudah masuk dalam perangkap syaitan. Akibatnya, ketika kita menghadapi berbagai masalah yang kompleks dalam kehidupan kita, kita tidak memiliki bekal yang memadai. Saat masalah itu datang, kita pun tidak siap. Saat itulah kita akan terperosok. Kita tersungkur. Kalau saat itu kita sadar, mungkin pada saat itulah kita baru berpikir untuk belajar. Mencari solusi dari masalah yang kita hadapi. Tapi, terkadang ada yang tidak sadar. Akibatnya, terus-menerus berada dalam kubangan fitnah, dan dia pun tidak bisa menyelamatkan diri dari fitnah itu.

Nah, di sinilah sesungguhnya tantangan kita setelah kita bertaubat. Karena itu, kita harus terus belajar, baik untuk mengetahui hukum dan pemikiran yang harus kita terapkan, maupun melatih jiwa dan nafsu kita. Mengetahui hukum dan pemikiran itu memang lebih mudah. Tetapi, yang paling sulit adalah ketika kita harus melatih jiwa dan nafsu kita. Berbicara tentang konsep ikhlas jelas lebih mudah, tetapi menjadikan jiwa dan nafsu kita agar bisa meraih keikhlasan itu jelas lebih susah. Di sini, yang kita butuhkan bukan sekedar konsep, tetapi latihan [riyadhah]. Begitu juga ketika bicara tentang sabar, lebih mudah jika kita bicarakan. Namun, kita tidak akan pernah meraih kesabaran, jika kita tidak pernah berlatih sabar.

Padahal, semuanya itu kita butuhkan di saat kita menghadapi fitnah [ujian]. Pendek kata, hanya ada satu jalan yang bisa menyelamatkan kita dari fitnah yang menyesatkan [mudhillati al-fitnah], yang akan membuat kita terperosok dalam kehidupan, yaitu terus belajar dan menyempurnakan diri. Inilah yang dicontohkan oleh Nabi, dengan terus-menerus belajar dan membina para sahabat sepanjang hayatnya. Inilah yang diwarisi dan diwariskan oleh para sahabat kepada generasi berikutnya. Maka, inilah yang juga seharusnya menjadi tradisi kita.
Semoga kita bisa mewarisi warisan mereka, dan dengannya Allah SWT menyelamatkan kita dari fitnah yang menyesatkan:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُضِلاَّتِ الْفِتَنِ

“Ya Allah, hamba berlindung kepada-Mu dari fitnah yang menyesatkan.”
Amin ya Mujibas Saillin…
Bogor, 29 April 2015 M/10 Rajab 1436 H

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *