Sistem dan Administrasi Pertanahan Amburadul Penyebab Utama Konflik Pertanahan
Mediaumat.news – Sistem dan administrasi pertanahan yang amburadul, dinilai Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak sebagai penyebab utama konflik pertanahan atau agraria di Indonesia.
“Penyebab utama konflik pertanahan atau agraria di Indonesia adalah sistem dan administrasi pertanahan yang amburadul sehingga kepastian hukum atas hak tanah sangat rendah,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Sabtu (9/10/2021).
Kemudian, kata Ishak, ditambah maraknya praktik korupsi dan penyalahgunaan jabatan dalam administrasi penetapan status hak tanah, baik hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan seterusnya. Sehingga kondisi tersebut memunculkan praktik mafia pertahanan yang melibatkan pejabat pertanahan, pemerintah, dan pengusaha.
Selain itu, beber Ishak, penegakan hukum yang lemah dalam masalah pertanahan juga menjadi penyebab konflik pertanahan. Hal ini terlihat, dari banyaknya keberpihakan aparat penegak hukum kepada pihak yang lebih berkuasa atau lebih kaya, seperti korporasi atau pejabat.
Ishak memandang, dari ketiga masalah tersebut, lalu lahirlah berbagi dampak turunan dari hal-hal tersebut, seperti sertifikat ganda, penguasaan lahan secara sepihak oleh korporasi, penggusaran tanah-tanah rakyat yang dimiliki secara sah untuk kepentingan pihak korporasi untuk pembangunan real estate, infrastruktur, penggusuran untuk kepentingan umum dengan ganti kerugian yang tidak layak atau bahkan tanpa kompensasi.
Menurut Ishak, keberpihakan pemerintah kepada pengusaha juga tampak pada pemberian hak guna usaha (HGU) yang sangat luas dan kadang-kadang mencakup hak masyarakat adat dan petani yang terlebih dahulu mendapatkan hak atas tanah tersebut.
Akibatnya, kata Ishak, ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia menjadi sangat menganga. Jutaan petani tidak memiliki tanah, sementara puluhan juta hektare dikuasai oleh segelintir pengusaha. Meskipun kenyataannya, banyak lahan-lahan tersebut dibiarkan terbengkalai selama bertahun-tahun, sehingga tidak produktif. Celakanya, data pemegang HGU tersebut tidak dibuka ke publik sehingga menjadi pemicu terjadinya konflik agraria antara korporasi dengan rakyat.
Terakhir, ia menyatakan, bahwa Indonesia perlu perubahan sistem pertanahan yang disertai perubahan tatanan hukum, ekonomi dan pemerintahan secara fundamental.
“Dan, perubahan tersebut harus diarahkan kepada tatanan aturan Islam yang merupakan solusi yang telah diberikan Allah SWT kepada umat manusia,” pungkasnya.[] Agung Sumartono