Jaringan Milik Pemerintah Diretas, Ironi
Mediaumat.news – Secara institusi negara, peretasan jaringan terhadap sepuluh kementerian dan lembaga negara Badan Intelijen Negara (BIN) yang diduga dilakukan hacker Cina dinilai Direktur Global Cyber Watch Rif’an Wahyudi sebagai sebuah ironi.
“Dari sisi sebuah institusi dengan sepuluh institusi negara apalagi, mungkin ini sudah menjadi sesuatu yang ironi,” ujarnya dalam Kabar Petang: Keamanan Siber Indonesia Lemah? Sabtu (18/9/2021) di kanal Youtube KC News.
Ia menjelaskan, karakter peretas yang bermacam-macam tetap tidak boleh dianggap remeh. Meskipun ada yang bersifat hanya memberitahu terkait sistem yang lemah, namun, tindakan pemblokiran, pembajakan atau pencurian data hingga tingkat sangat berbahaya berupa pengubahan data harus benar-benar diwaspadai.
Selain disebabkan dari kelemahan sistemnya, tambahnya, peretasan jaringan data di sepuluh kementerian dan satu lembaga tersebut patut diduga memang telah dilakukan oleh level negara (Cina) jika dikaitkan situasi politik kawasan Laut Cina Selatan.
Bukan tanpa alasan, lanjut Rif’an, sebagaimana telah diberitakan Indonesia sempat melakukan latihan militer bersama dengan Amerika Serikat, serta menghasilkan komitmen dari Amerika terkait pasokan kebutuhan senjata. Padahal sebelumnya terdapat hubungan baik Indonesia dengan Cina. “Kalau dengan institusi negara komunis, tentu ini sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh negara,” ucapnya menganalisa.
Regulasi Global
Kendati sudah ada UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun, di sisi lain ia menyayangkan belum terdapatnya regulasi global yang diratifikasi terkait peretasan yang dilakukan antar negara.
Padahal, jelasnya, PBB biasanya berinisiatif atas usulan negara-negara tertentu yang memiliki kepentingan. Setelah diajukan lewat sidang umum dan ditawarkan kepada anggota sehingga disetujui dan diratifikasi, barulah dijadikan pengikat yang bisa mengenakan sanksi bagi negara pelanggar.
Tetapi, imbuh Rif’an, justru beda respons bagi pihak negara yang merasa diuntungkan oleh suatu tindakan retas. “(Seperti) fenomena Snowden kemarin (2013), dia menjadi buron pihak AS dan mencari suaka ke Rusia,” ujarnya memisalkan.
Sosok Edward Joseph Snowden, sebelumnya diketahui merupakan karyawan Central Intelligence Agency (CIA) yang pernah menjadi kontraktor untuk National Security Agency (NSA), dan telah membocorkan informasi program mata-mata rahasia tersebut kepada pers.
Mengaca dari situ, menurut Rif’an, sebuah negara wajib memiliki ketahanan sistem digitalisasi yang kuat. Misal, selain ketersediaan software dan hardware yang berkualitas, upaya peningkatan kemampuan sumber daya manusianya juga harus dilakukan secara terus-menerus. “Pengamanan berlapis dan ini terkait dengan algoritma yang harus diubah-ubah misalnya. Supaya tidak bisa terbaca polanya,” ujarnya.
Sehingga, ia pun mengajak para generasi muda untuk bisa menguasai teknologi informasi yang saat ini terus berkejaran dengan kemajuan akselerasi yang sangat cepat. “Semuanya itu harus dikuasai. Sekarang saja dengan era sekarang, revolusi 4.0 tidak lepas dari itu. Tentu (tentang) dunia peretasan dan pembobolan bisa dimuatkan di situ,” pungkasnya.[] Zainul Krian