Bahaya Logika Sesat Seorang Pengamat, Bahasa Arab Ciri Radikalisme
Ditulis oleh: Muhammad Bajuri
Pengamat intelijen Susaningtyas Nefo Kertopati, mengaitkan bahasa Arab dengan salah satu ciri radikalisme. Kemudian setelah mendapatkan kecaman dan kritikan akhirnya ia memberikan klarifikasi mengenai pernyataannya bahwa banyak sekolah di Indonesia berkiblat pada militan Taliban dan bahasa Arab sebagai ciri teroris.
Dia menjelaskan pernyataannya saat menjadi narasumber Webinar yang diselenggarakan media Medcom. “Sebagai umat Islam tentu saya tidak mungkin mengatakan Islam sebagai embrio terorisme. Saya sebagai Muslim secara sadar sangat menghormati Islam sebagai agama saya,” ujarnya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (8/9).
Dia menambahkan, ajaran Islam yang dia pelajari adalah agama yang cinta sesama bahkan juga dengan umat beragama lain atau Islam rahmatan lil ‘alamin. Jadi saya tidak mungkin menuduh agama Islam sebagai embrio terorisme,” ujarnya (Republika, 9/9/2021).
Sungguh, ini merupakan logika sesat dan menyesatkan, ketika memasukkan bahasa Arab sebagai ciri radikalisme. Sebab ciri itu adalah tanda khas yang membedakan sesuatu dengan yang lain. Dengan demikian, seakan-akan bahasa Arab merupakan bahasa yang hanya digunakan oleh kelompok kecil komunitas masyarakat yang disebutnya kaum radikal. Padahal, ia sendiri mengakui bahwa bahasa Arab digunakan secara luas sebagai alat komunikasi resmi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan penggunaannya sebagai bahasa sehari-hari dalam pergaulan. Bahkan, ia pun mengklaim dirinya adalah seorang Muslim yang sangat menghormati agamanya (Republika, 9/9/2021), yang tentunya sebagai seorang Muslim ia sangat dekat dengan bahasa Arab.
Jangan-jangan, sebagai seorang Muslim, setelah dimasukkannya bahasa Arab sebagai ciri radikalisme, ia nanti tidak lagi melaksanakan shalat, termasuk berdzikir sesudahnya dengan mengucapkan kalimat thayyibah, karena takut dilabelin sebagai kaum radikal, mengingat bacaan dalam shalat dan dzikir itu semuanya menggunakan bahasa Arab. Sehingga jika hal ini dibiarkan, dikhawatirkan akan lahir generasi di tengah-tengan umat yang mengaku Muslim, tapi tidak bisa shalat dan bahkan tidak bisa baca Al-Qur’an apalagi memahami isi kandungannya, yang merupakan panduan hidup agar terwujud Islam rahmatan lil ‘alamain, seperti yang ia ketahu tentang Islam, katanya.
Bagi kaum Muslim, bahasa Arab bukan sekedar alat komunikasi, namun lebih dari itu bahasa Arab merupakan bahasa Agama, dimana sumber hukum utama, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah keduanya berbahasa Arab. Sehingga untuk bisa mengerti dan memahami isi kandungannya, tentu harus bisa bahasa Arab terlebih dahulu. Lalu, bagaimana mereka akan belajar bahasa Arab, sebab berani belajar bahasa Arab, label radikal akan melekat pada dirinya.
Akhirnya, Al-Qur’an benar-benar tinggal tulisan saja, tidak ada yang mengamalkan isinya. Bagaimana bisa mengamalkan isinya, sekedar membaca saja tidak bisa. Padahal, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (TQS. Yusuf [12] :2).
Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan bahasa Arab, ketika beliau berkata menafsirkan ayat tersebut: “Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu kitab yang paling mulia diturunkan (Al-Qur’an) kepada rasul yang paling mulia (Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam), dengan bahasa yang termulia (bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (Jibril), ditambah diturunkan pada dataran yang paling muia diatas muka bumi (tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsīrul Qur’an Al-Azīm, 4/210).
Bahkan sahabat, dan ulama salafush shalih menegaskan betapa penting dan tingginya kedudukan bahasa Arab ini. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa bahasa Arab adalah bagian dari agama, “Pelajarilah bahasa Arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” (Ibnu Taimiyah, Iqtidhā’ Shirātal Mustaqīm, hlm. 1/527-528, Tahqīq Syeikh Nashir Abdul karim Al-‘Aql).
Belajar bahasa Arab juga merupakan sarana untuk lebih memahami agama. Barang siapa yang ingin mendalami agama dan mengajarkan agama ke banyak orang, hendaknya ia belajar bahasa Arab. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Siapa yang menguasai nahwu, dia dimudahkan untuk memahami seluruh ilmu.” (Syadzarat ad-Dzahab, hlm. 1/321).
Jadi, bagaimana mungkin bahasa Arab yang begitu luas penggunanya dan tinggi kedudukannya, menjadi ciri radikalisme, kalau bukan karena logika sesat dan pikiran sempit, akibat terinfeksi virus bahaya islamophobia yang disebarkan oleh kaum kafir Barat penjajah, yang takut akan bangkitnya kekuatan Islam, dengan berdirinya kembali Khilafah Islamiyah, yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah. []