Remisi Djoko Tjandra, Tunjukkan Bobroknya Penegakan Hukum
Mediaumat.news – Pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman selama dua bulan atas Terpidana kasus suap Djoko Tjandra dengan alasan berkelakuan baik, menunjukkan betapa bobrok potret penegakan hukum di Indonesia.
“Ini menunjukkan betapa bobroknya potret penegakan hukum di Indonesia,” ujar Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan kepada Mediaumat.news, Senin (23/8/2021).
Seperti diketahui, Djoko Tjandra telah terbukti memberikan uang suap kepada penyelenggara negara termasuk Jaksa Pinangki dalam permasalahan hukum terkait permintaan fatwa Mahkamah Agung dari Kejagung yang bertujuan agar dirinya bisa kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana 2 tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No 12 tertanggal 11 Juni 2009.
Tak hanya itu, Djoko yang sebelumnya buron selama 11 tahun, namun vonis ketika banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi 3,5 tahun dari semula 4,5 tahun penjara, juga disebut menyuap Irjen Napoleon Bonaparte agar membantu menghapus namanya dari status daftar pencarian orang sistem imigrasi.
Sehingga menurut Fajar, sudah sepatutnya Djoko Tjandra dimasukkan dalam daftar orang yang sama sekali tidak mendukung pemberantasan korupsi dengan bahkan menyuap aparat penegak hukum. “Harusnya dia dihukum lebih berat lagi. Itu yang seharusnya dilakukan,” harapnya.
Namun alih-alih bersikap adil, menurut Fajar, sistem penegakan hukum di Indonesia malah tidak memakai prinsip perlakuan sama di muka hukum. “Tidak ada yang namanya prinsip equality before the law. Kesamaan di muka hukum itu ternyata tidak ada. Itu hanya omong kosong saja,” ucapnya prihatin.
Fajar menegaskan, kasus pemberian remisi atas terpidana korupsi maupun suap, justru membuktikan bahwa hukum di mata kekuasaan, seolah bisa dipermainkan. “Kalau untuk rakyat kecil, hukum itu sangat tajam, atau orang-orang yang berseberangan dengan rezim itu sangat tajam, tegas. Tetapi bagi orang-orang yang punya duit, orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, maka hukum itu menjadi tumpul,” sesalnya.
Sistem Sekuler
Menurut Fajar, potret penegakan hukum bobrok tersebut terjadi karena sistem hukum yang diterapkan adalah sekuler yang di dalamnya memang tidak terdapat rasa takut kepada Allah SWT. “Maka ketika menegakkan hukum, suka-suka mereka. Tidak lagi takut kepada Allah SWT,” jelasnya.
Oleh karena itu, upaya menegakkan sebuah hukum, seharusnya, lanjut Fajar, menetapkannya hanya dengan bersandar pada syara’ yang telah terbukti menggunakan prinsip equality before the law.
Sebagaimana generasi Islam terdahulu, sambung Fajar, Khalifah Umar bin Khattab telah mengajarkan betapa tegasnya ajaran Islam melarang umatnya untuk menjauhi tindak kejahatan termasuk korupsi dan suap.
“Kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah karena tidak mau menindak tegas kalangan terhormat yang mencuri, tetapi langsung menghukum orang lemah,” ucapnya menirukan seruan sang Khalifah ketika mencambuk keras tubuh putranya sendiri yang terbukti bersalah kala itu.
Dengan demikian, dari kisah tersebut Fajar memaknai penegakan hukum di dalam Islam tidak sekadar untuk kepentingan dunia, tetapi dimensinya hingga akhirat. “Dia (pelaku kejahatan) menyadari akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak di akhirat,” tandasnya.
Kalau pun seseorang nanti bisa lolos dari pengadilan di dunia, maka bisa dipastikan dia tidak akan pernah bisa lolos di pengadilan akhirat kelak. “Saya kira misi itu atau visi itulah yang hilang dari proses penegakan hukum di Indonesia hari ini,” pungkasnya.[] Zainul Krian