Geliat Pergerakan Islam

 Geliat Pergerakan Islam

Oleh: Adam Syailindra (Koordinator Forum Aspirasi Rakyat)

Sejarah Indonesia ditandai dengan penjajahan kaum kafir yang bertujuan merampas kekayaan (gold), menjalankan misi kristenisasi (gospel) dan menguasai wilayah (glory). Portugis menyerang Kepulauan Nusantara pada abad 16 dan 17 sehingga pada tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis. Pendudukan ini memicu semangat jihad hingga jauh ke Tanah Jawa dan dimobilisasi oleh para penguasa. Pati Unus—menantu Raden Fattah Raja Demak dan keturunan Muballigh Parsi bergelar Syaikh Khaliqul Idrus—diangkat menjadi panglima gabungan yang membawahi armada Banten, Demak dan Cirebon. Tugas utamanya merebut kembali Tanah Malaka. Pada tahun 1513 dikirim ekspedisi Jihad I yang mencoba masuk ke benteng Portugis di Malaka, tetapi gagal dan armada itu kembali ke Tanah Jawa.

Kegagalan ini membuahkan strategi baru dengan menyiapkan armada berkekuatan 375 kapal perang yang dibuat di Gowa, Sulawesi. Pasukan jihad ini menuju Malaka pada tahun 1521. Namun, atas kehendak Allah, kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam dan menjadikan ia syahid. Mujahid yang tersisa bertempur selama tiga hari tiga malam sehingga menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis.

Kepemimpinan Pati Unus diambil-alih oleh Fadhlulah Khan, yang diangkat Sunan Gunung Jati sebagai panglima armada gabungan. Fadhlulah Khan—tersohor dengan nama Fatahillah—berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa pada tahun 1527.

Terkait dengan hubungan Indonesia dengan Khilafah, pada tahun 1519, armada Khilafah Utsmani dikabarkan akan membebaskan Malaka. Namun, dalam perjalanannya hanya sebagian armada yang sampai di Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman. Sebanyak 500 pasukan Utsmani tiba di Aceh pada tahun 1566 dan membantu Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568.

Perlawanan jihad tak pernah berhenti di seluruh pelosok negeri. Proses tatsqîf memiliki andil besar dalam menjaga dan menumbuhkan semangat jihad sepanjang sejarah Indonesia. Kaum Muslim pada masa itu mengerti betul status keharamanan pendudukan kafir di tanah ‘usyriyah Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, mayoritas jihad dipimpin para ulama atau penguasa yang mendapat legitimasi dari para ulama. Ada perlawanan Sultan Agung Mataram, misalnya, yang mendapatkan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram dari Makkah. Ia menyerang VOC di Batavia tahun 1628 dan 1645). Ada ulama Pasaman bergelar Tuanku Imam Bonjol (Perang Padri 1803-1837). Ada Pangeran Antasari, yang bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (sejak 1859 di Banjar, Kalimantan Selatan), dan sebagainya.

Seruan jihad terus bergema hingga perlawanan Bung Tomo, anggota Sarekat Islam, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945.

Pada abad dua puluh, perjuangan pembebasan Indonesia dari kaum kafir melalui babak baru dengan pendirian organisasi politik. Di antaranya, pendirian Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh H. Samanhudi pada tahun 1911, yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam. Setahun berikutnya Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta mendirikan Muhammadiyah yang berusaha untuk mengembalikan aja-ran Islam sesuai dengan al-Quran dan Hadis.

Perjuangan umat Islam pasca kemerdekaan lekat dengan dunia pergerakan. Hal ini seiring dengan keinginan mendirikan Negara Islam yang menerapkan syariah Islam. Pendirian Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada Konggres Umat Islam tanggal 7-8 Nopember 1945 menjadi wadah politik demi merealisasikan tujuan tersebut. Namun, perjuangan ini dikandaskan rezim Soekarno dengan membubarkan Masyumi.

Indoktrinasi yang dijalankan pemerintahan Orde Baru menjadikan gerakan politik Islam sebagai ancaman bagi negara. Rezim Soeharto memberikan stigma ekstrem kanan, Negara Islam Indonesia (NII), SARA dan Anti Pancasila terhadap golongan yang ingin menerapkan syariah Islam. Namun, depolitisasi Islam yang dijalankan rezim ini gagal memberangus Islam sebagai sebuah ideologi. Dinamika pergerakan Islam masih eksis dalam perlawanan politis demi menentang kebijakan yang meminggirkan Islam.

Keteguhan umat dalam menegakkan ‘amar ma’ruf nahi munkar membuahkan hasil pada akhir Orde Baru. Sesaat sebelum kejatuhannya, Soeharto lebih akomodatif terhadap Islam. Pada saat itu dakwah Islam berkembang pesat, termasuk di kampus sebagai pusat perubahan. Kondisi ini membawa berkah yang luar biasa bagi umat. Jika sebelumnya mayoritas umat hanya mengenal Islam ritual, setelah kader-kader dakwah kampus berinteraksi dengan masyarakat, mereka menyebarluaskan Islam sebagai sistem kehidupan yang harus diterapkan secara kâffah. Sejak saat itu, banyak Muslimah mulai menutup auratnya, TPA tumbuh subur mengalahkan TK konvensional, nama-nama islami menggantikan dominasi nama Barat dan Sansakerta, kaum Muslim pun mulai familiar dengan frasa syariah Islam. Bahkan umat mulai menyadari bahwa Islam harus diperjuangkan dalam negara Khilafah.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *