Syafiq Mughni Sebut Khilafah Tak Mungkin Terwujud, Siyasah Institute: Lebih Baik Kritisi Demokrasi

 Syafiq Mughni Sebut Khilafah Tak Mungkin Terwujud, Siyasah Institute: Lebih Baik Kritisi Demokrasi

Mediaumat.news – Pernyataan Syafiq Mughni yang mengatakan ‘khilafah sebagaimana Khulafa ar-Rasyidin tidak mungkin terwujud’ disarankan Direktur Siyasah Institute Iwan Januar lebih baik mengkritisi demokrasi yang tidak diajarkan ulama salaf.

“Rasanya intelektual Muslim lebih baik mengkritisi demokrasi yang tidak diajarkan para ulama salaf, ketimbang menolak hukum khilafah yang sudah bertebaran penjabarannya dengan jelas dalam warisan tsaqafah syariat Islam karya para ulama,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Sabtu (14/8/2021).

Menurutnya, pernyataan seperti ini sudah sering sebenarnya terlontar. Khilafah itu utopia atau romantisme sejarah, dan sebagainya. Penjelasan yang mengoreksi pernyataan semodel ini juga sudah banyak disampaikan, baik oleh para pengikut dan simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) maupun dari kitab-kitab klasik para ulama.

“Karenanya yang harusnya dicermati oleh umat, salah satunya selain soal khilafah, adalah soal demokrasi yang hari ini dipercayai secara gebyah uyah dan nyaris mistis, adalah sistem politik dan kenegaraan terbaik,” ujarnya.

Iwan menyebut demokrasi mistis sebab demokrasi dipercayai dengan sangat yakin, bahkan lebih sakral ketimbang agama. “Buktinya agama, apalagi Islam, dibatasi ruang geraknya di alam demokrasi. Bukankah ini mistis, sampai wahyu saja kalah oleh demokrasi yang tak ada dalam kitab suci? Berasal dari Yunani pula, negeri kaum paganis, bukan datang dari para nabi,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, menurutnya, umat juga harus kritis. “Sebenarnya demokrasi itu nyata atau utopia? Benarkah di negeri ini demokrasi itu betulan ada? Mewakili rakyat dan suara rakyat itu digjaya, sesuai adagiumnya: vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan)?” bebernya.

Untuk mengetahuinya, Iwan merujuk pada esensi demokrasi yang berdiri di atas dua kaidah yakni kekuasaan di tangan rakyat dan kedaulatan di tangan rakyat. “Makna kekuasaan di tangan rakyat berarti rakyat berkuasa mengangkat penguasa. Sedangkan makna rakyat berdaulat adalah hukum itu dibuat dan ditentukan oleh rakyat,” jelasnya.

Namun faktanya, menurutnya, demokrasi sejatinya cacat sejak lahir. Bahkan sistem itu juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. “Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai mobocracy atau pemerintahan segerombolan orang. Dia menyebutkan demokrasi sebagai sebuah sistem bobrok karena pemerintahan dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme,” ungkapnya.

“Senada dengan Aristoteles, pendiri Negara Amerika Serikat, Thomas Jefferson juga menyatakan demokrasi adalah aturan mafia, mob rule. ‘Democracy is nothing more than mob rule, where 51% of the people may take away the rights of the other 49%’,” imbuhnya.

Selain itu, Iwan mengungkap fakta bahwa demokrasi tidak benar-benar menjadi kanal suara rakyat. “Faktanya, tidak ada negara demokrasi yang suara rakyat langsung didengar. Itu mustahil. Dibuatlah demokrasi representatif, perwakilan. Ada DPR yang diteorikan sebagai perwakilan rakyat. Tapi yang terjadi DPR adalah wakil parpol yang dipilih bukan oleh semua rakyat, tapi segelintir orang. Satu orang anggota legislatif mewakili pemilihnya saja,” ujarnya.

“Lalu mekanisme pengambilan keputusan di semua DPR di dunia adalah voting yakni suara terbanyak dari anggota dewan dijadikan keputusan. Artinya, anggota dewan adalah pilihan parpol, rakyat tidak bebas menentukan sendiri wakilnya. Lalu produk undang-undang yang dihasilkan DPR adalah hasil pilihan sebagian anggota dewan, bukan seluruhnya. Jangan lupa, karena mereka orang parpol, maka keputusan itu yang disuarakan anggota dewan sejatinya suara parpol. Apakah suara parpol sama dengan suara rakyat, atau konstituennya? Belum tentu. Seringnya malah tidak,” tambahnya.

Lebih njlimet lagi, menurut Iwan, dalam demokrasi bukan hanya parpol dan rakyat yang berperan, tapi ada pihak ketiga yang ikut andil.

“Malah bisa jadi lebih berkuasa, siapa? Kaum kapitalis. Mereka ada di dalam parpol atau jadi mitra parpol dan politisi, tepatnya investor politik,” tegasnya.

Ia mengingatkan pernyataan Mahfud MD kalau 92% pilkada dibiayai cukong. Itu bukan saja terjadi di Indonesia, tapi di negara-negara besar yang sudah punya tradisi demokrasi lama seperti AS dan Inggris. Perusahaan-perusahaan raksasa selalu ada di belakang parpol untuk kemudian memasukkan kepentingan mereka.

“Jadi, apakah demokrasi ‘betulan’ itu betulan ada dan menyejahterakan rakyatnya? Ini justru utopis,” ujarnya.

Ia melihat di Indonesia, ketika pandemi, dibuat kebijakan dari PSBB sampai PPKM, rakyat minim pembelaan dari wakilnya di gedung perwakilan. RS terseok-seok, nakes berguguran.

“Sementara anggota dewan ada yang ngotot minta fasilitas kesehatan khusus untuk mereka. Ada juga usulan mbeling dari DPRD yang minta seragam dinas mewah Louis Vitton. DPR malah loloskan UU Omnibus Law yang berpotensi merugikan rakyat. Dan masih banyak kebijakan yang bukan suara rakyat,” ungkapnya.

Jadi, menurutnya, demokrasi itu lebih jelas utopianya ketimbang nyata. “Kalaupun ada, mungkin seperti yang dikatakan John Adams, Presiden kedua Amerika Serikat. ‘Demokrasi tidak pernah berlangsung lama. Dia segera jadi limbah, kehabisan energi, dan membunuh diri. Tidak pernah ada demokrasi yang tidak melakukan bunuh diri’,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *