Hentikan “Hukum Rimba” di Negeri Ini (Tanggapan atas Tragedi Pembakaran Zoya)
Tragedi pembakaran Zoya mengundang banyak protes dari masyarakat. Sebagaimana diberitakan www.tribunwow.com Sabtu, 12 Agustus 2017, bahwa telah beredar di dunia maya aksi protes “tak lazim” imbas Zoya yang tewas dibakar massa setelah dituding maling amplifier. Muhammad Al-Zahra alias Zoya (30 tahun) tukang servis amplifier dan dikenal sebagai guru ngaji anak-anak di sekitar tempat tinggalnya tewas dibakar massa setelah dituding mencuri ampifier mushala di desa Hurip Jaya, Bebelan, Bekasi. Kisah memilukan ini menimbulkan rasa geram publik. Aksi main hakim sendiri yang berimbas pada masa depan tak jelas istri yang sedang mengandung dan anak balita yang ditinggalkannya. Protes di dunia maya menggunakan hastag #takutdibakar banyak warganet yang kirim gambar di Instagram.
Wawancara
Menanggapi tragedi tersebut, berikut petikan wawancara dengan Achmad Fathoni, Direktur el-Harakah Reseach Center (HRC)
Bagaimana tanggapan anda dengan tragedi pembakaran Zoya?
Publik memang patut prihatin dengan tragedi “Hukum Rimba” yang sangat tidak manusiawi tersebut. Pasalnya tidak ada dalam sejarah peradaban manusia yang memberlakukan hukum bakar terhadap pelaku pencurian. Kecuali yang pernah dilakukan oleh Rezim Namrud terhadap Nabi Ibrahim a.s. Apalagi tragedi pembakaran tersebut diduga kuat salah sasaran. Yang sejatinya Zoya tidak pernah melakukan tindakan pencurian tersebut. Namun dia jadi korban kebrutalan masyarakat bar-bar yang tidak punya rasa iba terhadap manusia lain. Ini tentu patut disayangkan oleh semua pihak. Padahal di manca negara masyarakat Indonesia sejak dulu terkenal dengan sikap santun, bersahaja, tepo seliro terhadap sesama. Kalaupun memang benar Zoya mencuri amplifier, maka tak sepatutnya mendapatkan hukuman dengan dikeroyok massa dengan pukulan hingga tewas dibakar hidup-hidup. Coba kita bandingkan dengan oknum pejabat yang mencuri uang negara hingga miliaran bahkan hingga triliunan, justru banyak lolos dari jeratan hukum. Sementara harga amplifier yang tak seberapa, harus ditebus dengan hilangnya nyawa, dengan dibakar massa. Lalu keadilan macam apa yang dipaktekkan masyarakat dan para pemimpin negeri ini, yang sangat menyesakkan dada bagi siapa saja yang masih punya rasa kemanusiaan dan keadilan.
Menurut Anda apa penyebab terjadinya tragedi Zoya tersebut?
Penyebab dari tragedi “Pembakaran Zoya”, menurut saya karena tiga faktor:
Pertama, Faktor Paham Liberalisme yang menjangkiti masyarakat. Inilah bahaya paham liberalisme atau paham kebebasan dalam bertingkah laku, yang sebenarnya paham ini adalah “paham impor” dari masyarakat barat, yang telah menyebar di masyarakat Islam saat ini, termasuk negeri muslim Indonesia. Jika kita telaah ke belakang, ketika negeri ini mengadopsi paham liberalisme ala barat dalam beberapa dekade terakhir, maka akibatnya sangat berbahaya. Karena masyarakat, baik pemimpin maupun rakyat, akan dengan mudah mengekspresikan rasa suka dan tidak suka sesuai hawa nafsunya, tidak mau terikat dengan aturan atau norma yang berlaku di masyarakat. Termasuk di antaranya cara mengekspresikan tindakan terhadap pencuri dengan cara membakar hidup-hidup pelakunya. Jika hal ini dibiarkan berlanjut maka bisa jadi negeri kita ini menjadi negeri bak hutan rimba, yang kuat itulah yang menang, yang lemah pasti kalah. Nilai kebenaran bukan didasarkan norma yang ada, tapi didasarkan pada hawa nafsu pihak yang kuat. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengubur dalam-dalam paham liberalisme atau paham kebebasan ini.
Kedua, Faktor minimnya ketakwaan dan kontrol masyarakat. Masyarakat kita saat ini sangat rendah pemahamannya tentang syariat agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Dan ditambah rendahnya kontrol masyarakat atau yang dalam Islam dikenal dengan istilah amar ma’ruf nahi munkar. Termasuk penanganan terhadap kejahatan pencurian. Sangat jauh dari pengamalan ajaran Islam. Padahal agama Islam yang diturunkan oleh Allah SWT, melalui Nabi Muhammad SAW telah memuat semua perangkat hukum yang lengkap dalam memberikan solusi yang terjadi pada umat manusia. Termasuk di dalamnya syariat Islam tentang hukuman bagi pelaku pencurian. Tragedi Zoya hanya merupakan salah contoh nyata, ketika peran syariat Islam dijauhkan dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka yang terjadi adalah ketidakadilan, kesewenang-wenangan, main hakim sendiri, dan kedzaliman dari yang kuat terhadap yang lemah.
Ketiga, Lemahnya perangkat hukum sekuler yang di terapkan negeri ini. Sebenarnya telah banyak tragedi semisal pembakaran Zoya. Namun masyarakat kita sering melupakannya. Beberapa waktu yang lalu ada seorang pencari kayu bakar, yang dituduh mencuri kayu bakar yang harganya hanya beberapa ribu, yang divonis hukuman tiga bulan penjara, sementara ada kecelakaan yang menewaskan beberapa orang karena sopir yang ugal-ugalan, hanya divonis kurungan penjara beberapa bulan. Juga para koruptor yang “mencuri uang” negara sampai miliaran dan triliunan sering hanya divonis hukuman beberapa tahun penjara. Ini tentu fakta ketidakadilan yang sangat nyata di depan kita semua. Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa perangkat hukum yang ada saat ini tidak bisa memberikan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat. Hukum akan tajam ke bawah namun tumpul atas. Tentu kita berharap ada solusi komprehensif dalam tata kelola hukum di negeri ini.
Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap “tragedi Zoya” tersebut?
Dalam pandangan Syariat Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, hukuman perilaku kriminal pencurian adalah harus dibuktikan di depan peradilan Islam, jika benar-benar terbukti maka dapat divonis dengan hukuman dipotong tangannya sampai pergelangan, bukan dibakar hidup-hidup. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 38 : “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana”.
Kedua, Penerapan vonis potong tangan hanya diberlakukan pada tindak pencurian harta dengan batas tertentu, bukan semua pelaku pencurian. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist: “Rasulullah SAW memotong tangan pencuri jika ia mencuri seperempat dinar atau lebih” (HR. Muslim, No. 4492). Jadi vonis potong tangan itu hanya dikenakan jika harta yang dicuri bernilai seperempat dinar atau lebih. Satu dinar setara dengan 4,25 gram emas, dengan asumsi harga 1 gram emas sama dengan Rp 500.000,00, Maka dikurskan dengan nilai rupiah nilainya adalah ¼ x 4,25 x Rp 500.000,00 = Rp 531.250,00. Sehingga jika seseorang mencuri amplifier yang harganya kurang dari nilai itu maka tidak dikenakan hukum potong tangan.
Ketiga, hukuman potong tangan dalam tindak pidana pencurian, dikecualikan dalam kondisi “paceklik”, yang membuat pelakunya kelaparan, sehingga untuk menyambung hidup harus dengan mencuri. Maka dalam kondisi demikian, maka pelaku pencurian seperti ini justru dibebaskan dari vonis potong tangan. Sebagaimana hal itu pernah terjadi ketika Khalifah Umar bin Khattab, dan beliau menyatakan: “Demi Allah, jika saja saya tidak tahu kalian yang telah menyebabkan mereka melakukan itu dan menjadikan mereka kelaparan, sehingga mereka mencuri dan hal-hal yang haram pun menjadi halal bagi mereka, niscaya akan saya potong tangan-tangan mereka” (Ibn Qayyim al-Jauziyah, dalam I’lamul Muwaqqi’in, vol IV, hal. 350-352). Oleh karena itu dalam sistem peradilan Islam sangat ketat dalam vonis potong tangan dalam tindak kriminal pencurian.
Keempat, dalam sistem Islam, negara Khilafah-lah yang berkewajiban memenuhi hak-hak dasar individu yaitu pakaian, makan, dan tempat tinggal. Juga hak-hak kolektif masyarakat, yaitu: pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dalam sistem Islam sangat diperhatikan kesejahteraan dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat. Disamping juga ada ketentuan zakat mal dan zakat fitrah yang diambil dari orang-orang muslim yang mampu dan kaya untuk didistribusikan kepada yang berhak, termasuk di dalamnya adalah kelompok masyarakat fakir dan miskin. Dengan demikian dalam masyarakat Islam sangat ditutup rapat-rapat pintu yang menyebabkan seseorang untuk mencuri. Dan begitulah keadilan sistem Islam, yang telah dipraktekkan oleh khilafah Islamiyah selama kurun waktu 13 abad lamanya bisa menyejahterakan seluruh elemen masyarakat, baik yang muslim maupun yang non muslim. Maka seharusnya semua pihak tidak perlu phobi terhadap syariat Islam, yang akan menghadirkan keadilan yang sesungguhnya bagi semua warga negara. Dan tidak perlu terulang “tragedi Zoya” di masa mendatang. Wallahu a’lam.[]