Pernyataan Mantan Ketua KPK Ada Radikalisme di Pemerintahan, Sesuai Fakta
Mediaumat.news – Pernyataan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas yang menyebut ada radikalisme di dalam kekuasaan pemerintah Indonesia, dinilai Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan sesuai dengan fakta yang ada.
“Yang disampaikan Pak Busyro ini sudah sesuai dengan fakta yang ada di negara ini,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Selasa (22/6/2021).
Radikalisme yang dimaksud, tentu radikalisme politik. Dan memang, lanjut Fajar, negara ini sedang bermasalah, serta dalam kendali para kapitalis liberal atau para cukong yang selama ini telah menjadi pemodal dalam pemilihan penguasa.
Hal itu, ungkapnya, sebagai konsekuensi dari high cost politic akibat diterapkannya sistem demokrasi sekuler dalam sistem politik. “Tak heran, jika kemudian produk-produk kebijakan yang dihasilkan oleh penguasa juga produk-produk kebijakan yang sarat dengan kepentingan para cukong atau yang sering disebut para oligarki,” tandasnya.
Berangkat dari kepentingan oligarki politik dan oligarki ekonomi maka, menurut Fajar, terjadilah sebuah kelindan di antara keduanya yang melahirkan kebijakan-kebijakan liberal di berbagai bidang. Seperti, UU KPK, penanggulangan covid, minerba, cipta kerja, MK dan sejumlah produk kebijakan lain yang tak berpihak kepada rakyat luas.
Sehingga, tegas Fajar, pemegang tampuk kekuasaan yang telah melakukan perselingkuhan dengan pemilik modal, semakin mengokohkan kekuasaannya dan mengkooptasi serta menghegemoni kebijakan-kebijakan pengelolaan negara. “Hal itu juga semakin meneguhkan atas kembalinya otoritarianisme gaya baru atau neoauthoritarianism,” tegasnya.
Negara Otoriter
Fajar pun mengutip buku ‘How Democracies Die’ yang ditulis oleh Steven Levitsky & Daniel Ziblatt. Dalam buku yang ditulis dua ilmuwan politik dari Harvard University tersebut ungkap Fajar, ada empat ciri sebuah negara atau sistem pemerintah bisa dikatakan otoriter.
Pertama, menolak atau setidaknya memiliki komitmen yang lemah terhadap penegakkan sendi-sendi demokrasi dengan cara membatasi hak-hak politik warganya.
Kedua, penolakan atau pemberangusan terhadap kelompok oposisi. Misalnya dengan memberikan label tertentu kepada lawan politik atau pihak oposisi seperti ‘mengancam ideologi negara’, ‘melakukan tindakan makar atau subversif’, ‘tidak pancasilais dan intoleran’, serta mengkriminalisasi lawan-lawan politik mereka dengan berbagai tuduhan-tuduhan lain yang mengada-ada.
Ketiga, memberikan toleransi atau bahkan mendorong tindak kekerasan atau pemaksaan aparat terhadap kelompok masyarakat atau organisasi yang dianggap sebagai lawan atau ancaman.
Keempat, membatasi kebebasan sipil, termasuk media. Beberapa parameter di antaranya, undang-undang seperti UU Ormas dan ITE yang menurutnya, telah terbukti sangat membatasi kebebasan masyarakat menyampaikan pendapat dan aspirasi. Begitu pun pelarangan beberapa tema diskusi tertentu, serta adanya pembubaran paksa aparat keamanan terhadap aksi unjuk rasa yang dilakukan masyarakat sipil.
Dari keempat indikasi tersebut, Fajar menilai, semua itu sudah ada di negeri ini. “Artinya, rezim penguasa negeri ini memang dapat disebut sekuler radikal intoleran atau sudah menjelma menjadi rezim yang otoriter,” pungkasnya.[] Zainul Krian