Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Lagi, Rezim Berpotensi Diktator?

 Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Lagi, Rezim Berpotensi Diktator?

Mediaumat.news – Pasal penghinaan presiden yang akan dihidupkan lagi di dalam rancangan KUHP setelah sempat dibatalkan MK tahun 2006, menurut Dosen sekaligus Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (Cespels) Dr. (cand) Ubedilah Badrun, M.Si. berpotensi membuat rezim jadi diktator.

“Ini berpotensi untuk membuat rezim ini, pemerintahan ini menjadi pemerintahan yang diktator, yang otoritarianisme. Mungkin bahasanya bisa neo diktatorisme atau new otoritarianisme,” ujarnya dalam Insight #37 PKAD: Kritik Presiden, DPR, dkk: Dibully atau Diancam Bui? Jumat (18/06/2021) di kanal Youtube Pusat Kajian dan Analisis Data.

Bukan tanpa sebab, Indonesia sejak merdeka, menurutnya, telah memilih jalan republik. Dan sebagai konsekuensi logis, mengharuskan dibukanya ruang kritik publik untuk berpartisipasi. “Ketika kemudian ruang partisipasi itu dibuka, maka kritik itu kan boleh dilakukan,” ucapnya.

Namun ironis, demi kepentingan politik, kekuasaan saat ini terkesan tidak rela dan tidak siap dikritik. “Di situ yang saya sebut dengan kepentingan politik. Bahwa ada kekuatan yang tidak mau dikritik, ada kekuasaan yang tidak siap dikritik, padahal milihnya jalan demokrasi,” tegasnya.

Sehingga, ia khawatir, pasal yang dimasukkan itu secara hegemonik nantinya akan ditafsirkan sepihak oleh aparat penguasa. Sebab dalam dinamika pemahaman hukum, seringkali dijumpai pasal karet semacam itu.

Bahkan secara terminologi, menurutnya, sudah sangat jelas perbedaan kritik dan penghinaan. Kritik, cenderung terhadap kebijakan dari lembaga negara atau yang lainnya. Sedangkan penghinaan, lebih kepada serangan personal.

Subjek Hukum

Ia menambahkan, selain aneh, ada semacam pergeseran pemaknaan tentang subjek hukum yang cukup serius. Misalnya, dalam sebuah kasus penghinaan, ketika seseorang merasa dihina dengan suatu kritikan, justru yang melaporkan orang lain. “Orang yang dikritik siapa, yang melaporkan siapa,” tandasnya.

Meskipun, lanjut Ubedilah, kritikan itu dalam bentuk simbolik berupa kalimat satire atau bahkan gambar sekalipun, yang sebenarnya tidak bermaksud menghina.

Dalam hal pelaporan, menurutnya, hanya pihak yang merasa dihina yang semestinya boleh mengajukan perkara itu ke pihak kepolisian, dengan kedudukannya sebagai subjek hukum. “Mestinya begitu,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *