SPDP Belum Diterima, Hilangkan Hak-Hak Konstitusional Munarman
Mediaumat.news – Ahli Hukum Pidana Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. menilai Munarman telah kehilangan hak-hak konstitusionalnya karena meski Polri mengaku Munarman sudah berstatus tersangka ketika ditangkap, namun faktanya Munarman atau pun pengacaranya belum menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).
“Munarman telah kehilangan hak-hak konstitusionalnya dalam hal mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan pembelaan dan termasuk kepentingan penunjukan penasihat hukumnya,” ujarnya dalam rilis yang diterima Mediaumat.news, Kamis (29/4/021).
Seperti diketahui, ada dua Surat Perintah Penyidikan tertanggal 15 dan 23 April 2021 telah dikeluarkan oleh Densus 88 Anti Teror Polri, yang menurutnya, tidak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 terkait kewajiban penyidik memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan.
Dalam putusan itu, tambahnya, Mahkamah menyebutkan subjek ‘terlapor’ bukan ‘tersangka’. “Penting dicermati, hal ini bermakna bahwa SPDP mendahului Surat Ketetapan Penetapan Tersangka,” tandasnya.
Abdul Chair menilai, alasan MK tersebut didasarkan pada kepentingan melindungi dan memelihara keseimbangan antara terlapor dan korban/pelapor.
“Yang bersangkutan (terlapor) dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya agar bisa terhubung dengan pemeriksaan pendahuluan sebagai calon tersangka. Dan bagi pelapor, momentum ini untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya,” jelasnya.
Sama di Hadapan Hukum
Namun, lanjutnya, pemberian SPDP yang melewati batas waktu juga menyebabkan terlanggarnya asas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
“Secara limitatif, asas itu menghendaki adanya perlakuan yang sama antara orang yang satu dengan seorang lainnya (yang sama-sama sedang berada dalam proses peradilan pidana) dengan mengesampingkan berbagai faktor yang ada pada orang-orang tersebut, sehingga proses hukum tersebut dapat berlangsung secara adil,” jelasnya.
Ia melihat, proses hukum terhadap Munarman tidak mencerminkan asas yang demikian. “Dirinya belum pernah dilakukan pemeriksaan pendahuluan sebagai calon tersangka dan terhambat dalam upaya mempersiapkan bahan-bahan pembelaan. Selain itu, penasihat hukum yang akan mendampinginya juga mengalami kesulitan untuk bertemu,” pungkasnya.[] Zainul Krian