Prof. Daniel: Kaum Muslim Terpuruk di Bawah Kepemimpinan PBB, IMF dan The World Bank
Mediaumat.news – Cendekiawan Muslim Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D., M.RINA mengatakan kaum Muslim terpuruk sebab tata dunia baru pasca-khilafah dibangun di bawah kepemimpinan PBB, IMF dan The World Bank.
“Sejak Khilafah Utsmani jatuh 1924, kepemimpinan dunia beralih ke tangan Barat. Kehidupan bergerak mengikuti aturan sekulerisme dan neokapitalisme. Tata dunia baru pasca-khilafah dibangun di bawah kepemimpinan PBB, IMF dan the World Bank,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Kamis (15/4/2021).
Prof Daniel menilai, aturan-aturan Islam utama tidak berlaku dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bahkan yang mempraktekkan Islam terancam disebut intoleran, atau bahkan radikal.
Ia memandang, banyak aktivis Islam nasionalis berusaha mengembalikan kepemimpinan Islam melalui partai politik. Agenda utamanya yaitu merebut kekuasaan dan kepemimpinan politik melalui pemilu dengan prosedur demokrasi.
Tapi, kata Prof Daniel, mereka lupa bahwa parpol adalah instrumen nekolimik. Sedangkan instrumen lainnya adalah korporasi. Maka dengan UUD 2002, kedua lembaga itu kini memonopoli pasar politik dan ekonomi. Dan demokrasi langsung one-man one-vote, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah ekspor AS yang paling berbahaya.
Membangun Kepemimpinan Politik
Prof Daniel mengatakan, bagaimana cara membangun kepemimpinan politik tidak diteladankan oleh banyak parpol, termasuk parpol Islam. Saat institusi formal sosial, politik dan ekonomi begitu diberhalakan, Muslim menghabiskan waktu dan bekerja untuk kepentingan ormas, parpol dan korporasi mereka. Muslim meninggalkan rumah, dan masjid. Kedua institusi ini dipandang tidak sepenting ormas, parpol dan kantor atau perusahaan mereka.
Prof. Daniel membeberkan, sekarang ini baik rumah dan masjid dipandang hanya sebagai properti, bukan institusi. Muslim berlomba bermegah-megahan membangun rumah dan masjid, tapi lupa membangun keduanya sebagai institusi produksi, edukasi dan sosial-politik. Tanpa terasa, Muslim justru membangun masyarakat individualis, sekuleris, dan kapitalis serta hedonistik. Muslim tidak mau hidup sederhana, bertetangga, tapi bersukacita bergelimang utang dan riba. “Dalam proses itulah, Muslim menjadi buih di lautan, kehilangan kepemimpinan,” ungkapnya.
Menurutnya, ada dua tahap untuk membangun kepemimpinan politik. Pertama, kepemimpinan itu harus dibangun mulai dari keluarga. Sebab di dalam keluarga tersebut adab dan akhlak dipraktikkan oleh suami-istri dalam kehidupan sehari-hari. Kejujuran, pengorbanan, tanggung jawab, cinta-kasih ditumbuhkan subur dalam keluarga. Sikap jujur, peduli, cerdas dan amanah diteladankan dalam keluarga. Keluarga adalah madrasah yang pertama dan utama.
Kepemimpinan dimulai dari belajar, yaitu proses memaknai pengalaman (making sense of experiences) berkeluarga melalui kesempatan membaca, berbicara dan menulis di rumah. Belajar tidak pernah mensyaratkan formalisme birokratik persekolahan. Keluarga menjadi satuan edukatif dan produktif sekaligus, bukan satuan konsumtif.
Dalam pandangannya, gaya hidup konsumtif dimulai saat kegiatan belajar diserahkan secara transaksional ke sekolah. Padahal kebanyakan sekolah adalah instrumen indoktrinasi sekuleris sekaligus nekolimik untuk menyiapkan tenaga kerja yang cukup cerdas untuk menjalankan mesin-mesin sekaligus cukup dungu untuk bekerja bagi kepentingan pemilik modal.
Kedua, kepemimpinan dikembangkan lagi melalui kehidupan bertetangga dengan masjid sebagai institusi yang melayani masyarakat di sekitar rumah. Ini adalah tahap ‘relating with peoples’. Pengalaman hidup bermasyarakat yang dimulai dari rumah diperluas. Masjid adalah institusi tempat masyarakat dikenali secara cermat, sehingga takmir memahami peta teritorial, dan peta masalah tetangga yang aktif berjamaah di masjid. Masjid menjadi pusat konsolidasi kecerdasan kelompok tempat keputusan bersama dilakukan secara musyawarah.
Menurutnya, tugas takmir tidak sekadar menyelenggarakan ibadah mahdhah, tapi juga menyediakan dukungan sosial, dan ekonomi bagi para tetangga anggota jamaah masjid. Basis data jamaah dibangun sebagai basis interaksi intens antara takmir dan jamaah. Perang melawan riba dan persoalan lainnya dikoordinasikan dari masjid sebagai simpul konsolidasi kekuatan sosial ekonomi dan politik ummat.
“Untuk mengakhiri keterpurukan umat, kita perlu mengakhiri sikap meremehkan rumah dan masjid dekat rumah. Tidak perlu membentuk parpol yang mahal lalu menunggu pemilu yang memilukan,” pungkasnya.[] Agung Sumartono