SP3 Buat Koruptor dan Konsekuensi Demokrasi
Oleh: Agung Wisnuwardana (Direktur Indonesia Justice Monitor)
Kredibilitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini dipertanyakan. Lembaga independen pemberantas korupsi yang digadang-gadang sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ini, menuai banyak kecaman dan kritikan. KPK telah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi surat keterangan lunas bantuan likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih.
Sebagai informasi, BLBI merupakan skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Salah satu bank yang mendapat suntikan dana adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Nah, Sjamsul adalah pemegang saham pengendali BDNI. Kini, kasus tersebut disetop KPK. Salah satu alasannya adalah agar ada kepastian hukum setelah penyelenggara negara dalam kasus ini, Syafruddin Arsyad Temenggung, divonis lepas oleh MA. (detik.com)
Buah Demokrasi?
Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16 memberikan penjelasan tentang demokrasi sebagai government of people, by the people, for the people. Kredo inilah yang membuat orang demikian memuja demokrasi karena dianggap mampu memuaskan aspirasi seluruh masyarakat.
Akan tetapi, perjalanan sejarah membuktikan bahwa demokrasi hanyalah mainan bagi parpol dan kaum kapitalis. Profesor Sosiologi Universitas Colombia C. Wright Mills memberikan antitesis terhadap pernyataan Lincoln. Demokrasi tidak pernah benar-benar memihak rakyat. Menurut dia, struktur masyarakat demokrasi terbagi menjadi tiga level. Yang paling bawah adalah rakyat jelata yang tidak berdaya, tidak terorganisir, terbelah dan dimanipulasi oleh media massa untuk mempercayai demokrasi sebagai sistem terbaik. Pada bagian di atasnya adalah Kongres/DPR, partai politik dan kelompok politik atau yang disebut sebagai pemimpin politik. Posisi paling puncak adalah yang disebut oleh Mills sebagai ‘the power elite’ yang terdiri atas militer, pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Kelompok inilah yang memainkan peranan penting dalam sebuah negara. Mills mengatakan, pemerintah dapat memperkuat militer dan para pengusaha dengan kebijakan mereka. Adapun pengusaha akan menggelontorkan uang untuk membantu kampanye politik mereka.
Korupsi keuangan, peradilan dan politik, serta ketergantungan negara pada imperialis dan penjarahan kekayaan alam, selain menumpahkan darah orang yang tidak berdosa, menduduki negara dan memprovokasi perselisihan sektarian, semua itu adalah buah dari demokrasi Amerika yang menjanjikan berbagai bentuk kerusakan, dan ia hanya menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi negara-negara imperialis untuk menjaga hegemoninya atas negara yang sudah terbius racun demokrasi.
Sidah banyak contoh negera yang jatuh dalam pelukan Amerika dan Barat yang mempromosikan proyek negara sipil demokratis. Lalu dengan semua ini, akankah mereka mengambil pelajaran dari keburukan solusi sebelum mereka, atau mereka akan tetap mengulangi pengalaman yang sama?
Korupsi Masuk dalam Bab Ta’zir
Dalam sistem Islam, tegasnya dalam Khilafah Islam yang menerapkan syariah Islam, korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat.
Berbeda dengan kasus pencurian yang termasuk dalam bab hudud, korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada Khalifah atau qadhi (hakim). Rasulullah saw. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban).
Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.
Menurut Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nizham al-‘Uqubat fi al-Islam, hukuman untuk koruptor adalah kurungan penjara mulai 6 bulan sampai 5 tahun; disesuaikan dengan jumlah harta yang dikorupsi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209). Adapun Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad, Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).
Jika harta yang dikorupsi mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, bisa saja koruptor dihukum mati.
Butuh Tatanan Islami
Wacana tentang perlunya menindak tegas para koruptor boleh saja terus bergulir, termasuk kemungkinan pemberlakuan hukuman mati. Namun persoalannya, di tengah berbagai karut-marutnya sistem hukum di negeri ini, didukung oleh banyaknya aparat penegak hukum yang bermental bobrok (baik di eksekutif/pemerintahan, legislatif/DPR maupun yudikatif/peradilan), termasuk banyaknya markus yang bermain di berbagai lembaga pemerintahan (ditjen pajak, kepolisian, jaksa, bahkan hakim dll), tentu wacana menindak tegas para koruptor hanya akan tetap menjadi wacana. Pasalnya, wacana seperti pembuktian terbalik maupun hukuman mati bagi koruptor bakanlah hal baru. Ini mudah dipahami karena banyaknya kalangan (baik di Pemerintahan, DPR maupun lembaga peradilan) yang khawatir jika hukuman yang tegas itu benar-benar diberlakukan, ia akan menjadi senjata makan tuan, alias membidik mereka sendiri.
Semua langkah dan cara di atas memang hanya mungkin diterapkan dalam sistem Islam, mustahil bisa dilaksanakan dalam sistem sekular yang bobrok ini. Karena itu, perjuangan untuk menegakkan sistem Islam dalam wujud tegaknya syariah Islam secara total dalam negara (yakni Khilafah Islam) tidak boleh berhenti. Sebab, tegaknya hukum-hukum Allah jelas merupakan wujud nyata ketakwaan kaum Muslim. Jika kaum Muslim bertakwa, pasti Allah SWT akan menurunkan keberkahannya dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:
]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ[
Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).
Lebih dari itu, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Penegakan satu hukum hudud di muka bumi adalah lebih lebih baik bagi penduduk bumi daripada turunnya hujan selama 40 hari.” (HR Abu Dawud).[]