Memaknai Hadits Kembalinya Khilafah
Oleh: Yuana Ryan Tresna
Hadits tentang Kabar Gembira Kembalinya Khilafah
Hadits yang mengabarkan berita gembira kembalinya khilafah sangatlah banyak. Adalah tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah (kabar gembira kenabian) akan datangnya khilafah hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad. Masih banyak hadits-hadits lain yang secara makna sejalan dengan hadits tersebut. Misalnya hadits riwayat Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban tentang khalifah di akhir zaman yang akan ‘menumpahkan’ harta yang tidak terhitung jumlahnya; hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis (HR. Abu Daud, Ahmad, al-Thabarani, al-Baihaqi); dan hadits tentang kekuasaan umat Nabi Muhammad yang akan melinggkupi dari timur hingga barat (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Daud). Hadits ini didukung oleh banyak hadits lain dengan makna yang sama, seperti masuknya Islam ke setiap rumah, al-waraq al-mu’allaq, hijrah setelah hijrah, penaklukan kota Roma, dst. Makna hadits kembalinya Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah ini diriwayatkan oleh sekitar 25 shahabat, yang kemudian diriwayatkan oleh sekitar 39 tabi’in, kemudian diriwayatkan oleh sekitar 62 tabi’ al-tabi’in.
Berikut adalah hadits dari Hudzaifah ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud al-Thayalisi dan al-Bazzar).
Hadits ini merupakan hadits maqbul, artinya diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Al-Hafizh al-‘Iraqi mengomentari: “Hadits ini hadits shahih, Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad-nya.” (al-‘Iraqi, Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-‘Arab, hlm. 176).
Periode terakhir pada hadits di atas adalah periode kembalinya khilafah yang mengikuti metode (manhaj) kenabian. Ini merupakan berita gembira akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Sebagai kabar gembira, hadits ini bukan dalil pokok kewajiban menegakkan khilafah. Kewajiban menegakkan khilafah dalilnya adalah al-Quran terkait kewajiban taat kepada ulil amri dan kewajiban menerapakan hukum-hukum Allah; dan hadits-hadits yang mewajiban adanya baiat dan adanya imam sebagai junnah (perisai).
Menjawab Keraguan terkait Otentisitas dan Validitas Hadits
Sebagian pihak mengatakan bahwa hadits tentang akan datangnya khilafah dari segi kritik sanad dan matan telah gugur. Tuduhan pada aspek kritik matan sangatlah lemah dan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun terkait kritik sanad, ini juga sangat tergesa-gesa. Menurut mereka, bahwa hadits yang dijadikan landasan utama oleh pejuang khilafah, dalam perspektif kritik sanad bermasalah karena ada seorang rawi bernama Habib bin salim al-Anshari yang dianggap tidak tsiqah (terpercaya). Alasannya adalah karena Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang negatif (al-jarh) dari imam al-Bukhari yang menilai dengan sebutan “fihi nazhar”, dan juga komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu, mereka menyimpulkan, bahwa hadits tentang kekuasaan khilafah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.
Jika kita meneliti penilaian para ulama jarh wa ta’dil, tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim dinyatakan tsiqah oleh sebagian ulama jarh wa ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara ketika menilai rawi bernama Habib bin Salim. Oleh karenanya, peneliti seharusnya adil dan objektif menelaah setiap ungkapan tersebut.
Lalu benarkah rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari sudah pasti dha’if? Memang pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian jarh dari imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh ringan. Tapi tidak sesederhana itu. Tidak bisa memutlakan kedha’ifan hadits yang terdapat rawi yang dinilai “fihi nazhar”.
Ungkapan “fihi nazhar” tergantung qarinah-qarinahnya (indikasi-indikasinya). Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya sebagian pihak tergesa-gesa memutlakan kedha’ifan hadits yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-qarinahnya. Termasuk penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari “fihi nazhar”.
Meski ungkapan “fihi nazhar” adalah cela ringan, tetapi masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhari sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadits lainnya, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll., berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya. Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab (pendusta) hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar.
Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari. Ini baru yang ungkapan “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi ba’dhu nazhar, dll”. Untuk rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir, dalam al-Tarikh al-Kabir (al-Bukhari, 2/2606), al-Dhu’afa’ al-Kabir (al-Uqaili, 2/66) dan al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal (Ibnu Adi, 2/405), imam al-Bukhari menilainya “fihi nazhar”.
Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilai Habib bin Salim sebagai seorang tsiqah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi”. (Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 3/102; al-Tsiqat, 4/138; al-Kamil, 2/405; al-Taqrib, 1/151). Imam Muslim menggunakan rawi Habib bin Salim dalam hadits cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan al-Darimi juga meriwayatkannya.
Meski demikian, imam al-Bukhari menilai shahih riwayat Habib bin Salim, sebagaimana dijumpai dalam ‘Ilal al-Tirmidzi no. 152. Indikasi lainnya, imam al-Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin Basyir (Tarikh al-Kabir, 8/365).
Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Muthalahat al-Jarh wa al-Ta’dil wa Tathawwuruha al-Tarikhiy fi al-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhari ma’a Dirasah Musthalahiyyah li Qaul al-Bukhari (Fihi Nazhar), hlm. 621-644.
Catatan lainnya, bahwa manhaj yang dipegang oleh para ahli hadits dan fuqaha adalah bahwa penilaian dha’if dan shahih suatu hadits tidak selalu disepakati semua ahli hadits dan bersifat mutlak. Bagi fuqaha, penilaian shahih menurut sebagian ahli hadits sudah cukup dapat dijadikan sebagai dalil.
Sebagaimana telah disinggung, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang bacaan pada shalat ‘ied dan jum’ah dari al-Nu’man bin Basyir. Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam muqaddimah kitab shahihnya. Maka bisa dimengerti mengapa Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib menyatakan “la ba’sa bihi”.
Adapun tuduhan pada rawi lainnya, seperti Ibrahim bin Dawud al-Wasithi, sungguh telah ditsiqahkan oleh Abu Dawud al-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Selain kedua rawi tersebut, adalah para rawi yang tsiqah.
Dengan demikian, tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah itu dha’if hanya karena sorotan pada rawi bernama Habib bin Salim. Para ulama justru telah menerima periwayatan Habib bin Salim. Adapun ungkapan “fihi nazhar” dari imam al-Bukhari sudah terjawab dalam penjelasan sebelumnya.
Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau menganggap bahwa perjuangan untuk menerapkan hukum Islam melalui khilafah hanya didasarkan pada hadits dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan kembalinya khilafah adalah shahih atau minimal hasan. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam Musnad Ahmad bi Hukm al-Arna’uth, juz 4 No. 18.430 dan dinilai shahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qurab fi Mahabbah al-‘Arab (2/17).
Sikap yang Benar terhadap Kabar Gembira Kembalinya Khilafah
Sikap yang benar yang harus ditunjukkan seorang mukmin terkait janji kekhilafahan adalah: Pertama, seorang mukmin wajib menyakini sepenuhnya janji akan berkuasaanya kembali umat Islam (QS. Al-Nur: 55), karena Allah SWT pasti menunaikan janji-janji-Nya. (QS. (18):108 dan (73):18). Yakin kepada janji Allah termasuk bagian keimanan; dan siapa saja ingkar atau ragu terhadap janji Allah SWT, keimanannya telah rusak; Kedua, seorang mukmin harus membenarkan kabar gembira dari Rasulullah SAW, sebagaimana yang Rasulullah kabarkan dalam banyak hadits shahihnya; Ketiga, bersungguh-sungguh mewujudkan kabar gembira tersebut dengan rasa optimis sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Keempat, tidak menunggu kemenangan dengan berpangku tangan, pesimis, atau sekadar menunggu datangnya al-Mahdi.
Pada dasarnya, para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah menggariskan hal-hal penting berkaitan dengan khilafah islamiyyah: Pertama, mengangkat seorang khalifah untuk menduduki tampuk khilafah Islamiyyah adalah kewajiban. (al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 6, hlm. 291); Kedua, mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya zaman nubuwwah adalah kewajiban yang paling penting. (al-Haitsami, Shawa’iq al-Muhriqah, juz 1, hlm. 25); Ketiga, Allah SWT telah menjanjikan kekhilafahan kepada kaum mukmin hingga akhir zaman. (al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz 5, hlm. 241); Keempat, menegakkan kekuasaan Islam (khilafah Islamiyyah) termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT yang paling agung. (Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah, hlm. 161).
Dalam menegakkan khilafah Islamiyyah sebagai kewajiban syariat, sikap yang seharusnya bagi seorang mukmin adalah tunduk, patuh, dan berusaha menunaikan kewajiban itu dengan sebaik-baiknya. Seorang mukmin dilarang mempertanyakan, meragukan, menggugat, atau menghindari kewajiban agung ini dengan alasan apapun. Sebaliknya, ia wajib menerimanya dengan sepenuh keimanan dan ketundukan. Alasannya, kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah sama kedudukannya dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.
Sedangkan dalam konteks menegakkan khilafah Islamiyyah sebagai kewajiban paling penting dan sarana mendekatkan diri kepada Allah yang paling agung, maka seorang mukmin harus menyibukkan dan memfokuskan dirinya pada kewajiban ini, dan menjadikannya sebagai qadhiyyah al-mashiriyyah (persoalan utama) bagi kaum muslim. Alasannya, khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar’iyyah (metode syar’i) untuk menerapkan Islam secara sempurna, sekaligus melangsungkan kepemimpinan kaum muslim di seluruh penjuru dunia.
Sebaliknya, sikap putus asa adalah perkara yang diharamkan. Contoh sikap putus asa adalah tidak peduli, dan cenderung mencemooh pejuang dan perjuangan penegakan khilafah Islamiyyah. Padahal, sikap putus asa, pesimis, dan mencemooh kewajiban yang dibebankan Allah SWT termasuk perbuatan dosa. Nabi SAW bersabda:
وَثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَازَعَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ رِدَاءَهُ فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ
“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari Kiamat yaitu: manusia yang mencabut selendang Allah; dan sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-‘izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah.” (HR. Ahmad, Thabarani, al-Bazar)
Diantara sikap keliru lain yang dikembangkan sebagian kaum muslim adalah mengabaikan perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah, dengan alasan menunggu datangnya imam Mahdi. Pemahaman seperti ini tidak tepat, karena menegakkan khilafah Islamiyyah adalah kewajiban syariat. Seorang muslim tidak boleh abai dengan kewajiban ini, atau tidak berupaya memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Sebab, khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar’i untuk menerapkan Islam secara sempurna.
Adapun hadits-hadits yang berbicara tentang turunnya imam Mahdi, sama sekali tidak menafikan kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah atas kaum muslim. Hadits-hadits tersebut juga tidak memerintahkan kaum muslim untuk hanya menunggu datangnya imam Mahdi, dan berdiam diri terhadap kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah.
Penutup
Kaum muslim wajib bersungguh-sungguh menyongsong kabar gembira Rasulullah SAW. Tegaknya khilafah akan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam. Apa yang terjadi sekarang ini, menggambarkan bahwa kita hidup saat ketiadaan perisai yang menjaga agama dan melindungi umat. Maka perlu ada upaya serius untuk menorehkan kembali sejarah agung peradaban Islam, mengembalikan kehidupan Islam dengan tegaknya al-khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah di muka bumi. Kaum muslim sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan, dimana mereka terpuruk di tengah limpahan potensi sumber daya yang ada. Imam Ibn Muflih al-Hanbali (w. 763 H) menuturkan:
كَالْعِيسِ فِي الْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهَا الظَّمَا * وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُورِهَا مَحْمُولُ
“Bagaikan unta di padang pasir yang mati kehausan * Dan air di atas punggungnya tersimpan.” (Ibnu Muflih al-Maqdisi, Al-Adab al-Syar’iyyah, juz III, hlm. 104).[]
Penulis adalah Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Bandung