KH Hafidz Abdurrahman: Masalah Miras Takkan Selesai Sebab Memisahkan Agama dari Kehidupan
Mediaumat.news – Menanggapi dicabutnya lampiran perpres yang membuka peluang legalisasi asing investasi industri miras, Khadim Ma’had Syaraful Haramain KH Hafidz Abdurrahman menilai masalah miras tak akan selesai karena cara pandang sistem kapitalis yang diterapkan negeri ini berakidah sekuler yakni memisahkan agama dari kehidupan.
“Rusaknya pandangan paling mendasar di dalam sistem kapitalis disebabkan karena akidah pemisahan agama dari kehidupan,” tuturnya dalam acara Fokus Group Discussion: Selesaikah Masalah Miras, Setelah Pencabutan Lampiran Perpres? Rabu (3/3/2021) di kanal YouTube Rayah TV.
Menurutnya, ketika sekularisme dijadikan akidah yakni memisahkan agama dari kehidupan, maka dalam memandang persoalan, agama tidak dipakai sebagai patokan standar.
“Sistem sekuler memandang barang dan jasa itu bisa diproduksi, didistribusi dan konsumsi di tengah masyarakat itu ukurannya adalah utility value. Selama ada nilai guna maka selama itu barang dan jasa diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi. Kapan dianggap barang dan jasa itu memiliki nilai guna? Selama masih ada orang yang menginginkan. Jadi, tidak dilihat lagi halal haramnya,” ujarnya.
Ia menilai sistem kapitalis yang berakidah sekuler hanya memandang manfaat sebagai standar. “Maka manfaatnya itu jadi pandangan. Karena pokoknya ada yang menginginkan. Itulah kenapa bisnis narkoba, minuman keras, judi dan prostitusi tidak bisa ditutup. Bagaimana mau ditutup jika prinsip masih ada yang menginginkan itu dianggap masih punya utility value,” ungkapnya.
Menurutnya, pandangan kapitalis ini berbeda dengan Islam. “Ini bertolak seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Dalam Islam, materi itu diintegrasikan dengan ruh. Ini yang menjadikan asas pandangan termasuk juga perspektif negara, masyarakat dan individu itu berbeda seratus delapan puluh derajat,” ujarnya.
Ia mengatakan, dalam pandangan Islam, semua materi baik berupa benda maupun perbuatan yang tampak diintegrasikan bahwa semuanya ada hubungannya dengan Allah SWT. “Nah itu yang membedakan secara fundamental. Karena begitu cara pandangnya, maka ketika bicara tentang barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan sama, tetapi bedanya adalah cara pandangnya dan aspek yang dipakai untuk menghasilkan barang dan jasa itu,” terangnya.
Menurutnya, manusia pada dasarnya sama-sama makhluk yang diciptakan Allah yang mempunyai kebutuhan untuk menghasilkan barang dan jasa. “Namun, Islam dengan falsafah materi yang diintegrasikan dengan ruh, memandang apa pun barang dan jasa yang diproduksi, didistribusi dan konsumsi harus memenuhi standar halal,” tandasnya.
Ia menegaskan jika barang itu haram, meskipun ada orang yang menginginkan, walaupun mempunyai nilai berapa pun, barang tersebut haram untuk diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi. “Kalau seperti itu cara pandang dan patokannya, contoh persoalan-persoalan turunan tadi sudah tidak muncul. Clear dalam pandangan Islam,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ia melihat kehidupan individu, masyarakat dan negara dalam sistem kapitalis sebagai sebuah paradoks. Bagaimana tidak paradoks? Orang itu ingin hidup bahagia, ingin tenang, adil, makmur, damai, sejahtera, sentosa dan bahagia di dunia dan akhirat. Tapi kenyataannya bagaimana bisa bahagia? Ketika miras itu menghasilkan keuntungan dengan alasan karena ada orang yang menginginkan, namun dampaknya ada kejahatan yang ditimbulkan.
“Ibaratnya, kalau ada api itu sudah berkobar. Ini malah sibuk memadamkan kejahatan. Terus begitu jadi tidak akan selesai. Itulah fakta yang kita lihat selama ini. Kalau berpikirnya seperti itu, ya sampai kiamat tidak bakal selesai,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it