Ma’al Hadits al-Syarif: Khilafah Bukan Kerajaan
Imam Malik meriwayatkan dalam Muwaththa’-nya, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Sa’id, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku ‘Ubadah bin Al Walid bin Ubadah bin Ash-Shamit, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata:
))بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْيُسْرِ وَالْعُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُولَ أَوْ نَقُومَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ((
“Kami telah berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk selalu mendengar dan taat, baik pada waktu mudah ataupun sulit, dalam keadaan semangat ataupun terpaksa, untuk tidak merebut kepemimpinan dari orang yang berhak terhadapnya, serta selalu mengatakan atau menegakkan kebenaran di mana pun kami berada, untuk tidak takut dalam menegakkan urusan karena Allah meskipun mendapat celaan orang yang mencela.”
Dalam kitab al-Muntaqa Syarah al-Muwaththa’ disebutkan:
Perkataan (Ubadah bin Ash-Shamit) radhiyallahu ‘anhu, “Bāya’nā Rasūallah shallallahu ‘alaihi wasallam (Kami telah berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)”, bahwa asal kata “al-bai’u” dalan perkataan orang Arab: al-mu’āwadhah fil amwāl (tukar menukar harta), kemudian perjanjian Nabi (mu’āqadatu an-Nabi) dan perjanjian kaum Muslim (mu’āhadatu al-muslimin) disebut mubāya’ah (berbaiat) dalam arti bahwa dia telah tukar menukar dengan mereka, yakni mereka mendapatkan pahala sebagai kompensasi dari pekerjaan yang mereka lakukan. Allah subhaānahu wa ta’āla berfirman: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”(TQS. At-Taubah [9] : 111).
Perkataannya radhiyallahu ‘anhu, “’ala as-sam’i wa ath-thā’ati (untuk selalu mendengar dan taat)”: as-sam’u (mendengar) di sini kembali pada arti ath-thā’ah (ketaatan), dan mungkin asalnya adalah al-ishghā’a ila qaulihi wa at-tafahhuma lahu (memperhatikan perkataannya dan memahaminya), maksudnya bahwa beliau mengsyaratkan kami untuk selalu mendengar dan taat terhadap semua perintah dan larangannya dalam kondisi apapun, ketika banyak harta (kaya),ataupun sedikit harta (miskin), baik ketika memiliki kendaraan mewah dan bekal melimpah, maupun ketika kondisi pas-pasan. Sedang al-mansyath wa al-makrah (dalam keadaan semangat ataupun terpaksa), maksudnya adalah waktu semangat untuk menjalankan perintahnya, dan waktu terpaksa untuk itu, dan mungkin yang dimaksud waktu semangat itu karena ada cara untuk melakukannya, waktu luang, cuaca cerah dan musuh lemah; sementara yang dimaksud keadaan terpaksa adalah karena tidak menemukan cara, banyak kesibukan, cuaca sangat panas atau dingin, medannya sulit, atau musuhnya terlalu kuat.
Perkataannya radhiyallahu ‘anhu, “an lā nunāza’a al-amra ahlahu (untuk tidak merebut kepemimpinan dari orang yang berhak terhadapnya)”: Maksudnya adalah al-imārah (kepemimpinan), sehingga hal ini kemungkinan menjadi persyaratan bagi kaum Anshar, dan mereka yang bukan dari kaum Quraisy, untuk tidak merebut kepemimpinan dari orang yang berhak terhadapnya, yaitu kaum Quraisy; dan mungkin juga menjadi persyaratan dari semua orang yang telah diambil baiatnya untuk tidak merebut kepemimpinan dari orang yang telah Allah beri kepadanya kekuasaan, meski di antara mereka ada orang yang lebih pantas mendudukinya, namun kepemimpinan sudah sah diberikan pada yang lain.
Perkataannya radhiyallahu ‘anhu, “an naqūla au naqūma (selalu mengatakan atau menegakkan)”: di sini rawi ragu terkait kebenaran, di mana kami memahaminya, yaitu menampakkan kebenaran dengan perkataan atau perbuatan, mengingat mereka berada di beragan situasi dan tempat, di mana ketakutan tidak menghalangi mereka dari melakukannya, begitu juga dengan celaan orang yang mencela.
Wahai saudaraku tercinta:
Dengan baiat ini, maka telah terjadi penyerahan kepemimpinan kepada penguasa negara Islam. Sehingga dengan baiatnya kaum Anshar terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu baiat Aqabah kedua, hal itu telah menjadikan Rasul sebagai penguasa pada negara Islam masa depan; dan dengan baiat kepada Abu Bakar setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah menjadikan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah dalam pemerintahan; begitu juga halnya dengan para Khalifah sesudahnya hingga Khalifah Utsmani terakhir ….
Baiat adalah akad kesepakatan (keridhaan) bersama antara kaum Muslim yang diwakili oleh ahlul halli wal ‘aqdi (orang-orang yang mepresentasikan kaum Muslim) dengan penguasa, yaitu Khalifah …. Baiat itu terjadi oleh kaum Muslim kepada Khalifah, bukan oleh Khalifah kepada kaum Muslim, di mana kaum Muslim membaiatnya untuk memerintah berdasarkan Kitabullah (al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya, sehingga dengan demikian kaum Muslim wajib menaatinya selama ia tidak memerintahkan kaum Muslim untuk melakukan kemaksiatan.
Meski begitu jelas bahwa Khalifah diangkat dengan baiat di era Khulafaur Rasyidin, …. Namun kemudian Khilafah hanya ada di satu keluarga tanpa keluarga kaum Muslim yang lain, yaitu di era setelah Khulafaur Rasyidin … sehingga hal ini menjadi pintu masuk bagi mereka yang memiliki kecenderungan menolak dan membenci Khilafah untuk membingungkan kaum Muslim dari masalah Khilafah mereka … Mereka mengklaim bahwa pemerintahan setelah Khulafaur Rasyidin adalah kerajaan dan bukan Khilafah Islam .. .Sebab hanya anggota keluarga mereka tertentu saja yang mewarisi pemerintahan seperti dalam sistem monarki (kerajaan).
Itu adalah klaim palsu yang dapat dengan mudah dibantah oleh mereka yang mempelajari sejarah negara Islam dari sumber yang benar …. Negara Islam adalah negara yang menerapkan sistem Islam dalam semua aspek kehidupan, dan keadaan negara Islam ini telah terjadi sepanjang keberadaannya … di mana para khalifah tidak mengambil kekuasaan kecuali dengan baiat, apapun bentuk dan cara pengambilannya, dan terlepas dari seberapa dekat hubungan Khalifah yang dibaiat dengan Khalifah yang digantikannya .. .. Sungguh baiat itu bisa diambil dari ahlul halli wal ‘aqdi (orang-orang yang mepresentasikan kaum Muslim), dari kaum Muslimin, dan dari Syaikhul Islam, sejarah belum pernah menyebutkan bahwa ada salah satu Khalifah yang menjadi Khalifah tanpa baiat sama sekali ….
Adapun warisan, maka ia merupakan metode pengangkatan raja dalam sistem monarki (kerajaan) … di mana di dalam sistem kerajaan, putra mahkota mewarisi kerajaan ketika raja meninggal tanpa perlu baiat atau kontrak (perjanjian) dengan rakyat atau umatnya, dia menguasai negara dan rakyat, dia berada di atas hukum, karena dialah yang membuat hukum itu …. bahkan di era modern, ketika beberapa raja masih menjadi seorang raja (meski hanya simbolisme), yaitu raja yang tidak punya kuasa memerintah, maka warisan tetap menjadi metode pengangkatannya.
Di sini kita dapat melihat dengan begitu jelasnya perbedaan antara sistem Khilafah dan sistem monarki (kerajaan).
Dengan demikian, sistem pemerintahan dalam Islam bukanlah monarki (kerajaan), di mana raja memperoleh legitimasinya dari haknya atas warisan mendiang raja … Sebaliknya, Khilafah, di mana seorang Khalifah memperoleh legitimasinya melalui baiat kaum Muslim kepadanya untuk memerintah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. []
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 14/02/2021.