Pemerintah Jokowi Anti Kritik?

 Pemerintah Jokowi Anti Kritik?

Oleh: Fajar Kurniawan (analis senior PKAD)

Melalui tayangan YouTube Ombudsman RI, Senin (8/2/2021) Presiden Joko Widodo memberi pernyataan yang meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik dan masukan terhadap pemerintah. Pasalnya sebagian masyarakat memilih untuk menahan diri untuk tidak menyampaikan kritik takut dengan regulasi yang mengancam kebebasan berpendapat.

Dikabarkan koalisi masyarakat sipil melaporkan, dalam kurun 2016-2020 UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan conviction rate atau tingkat penghukuman 96,8 persen (744 perkara). Sedangkan, tingkat pemenjaraan dari aturan ini mencapai 88 persen (676 perkara).

Tak jarang dari masyarakat mencap pemerintahan Jokowi ini sebagai rezim yang otoriter dan antikritik. Sehingga Presiden Jokowi harus turun tangan jika tak ingin masyarakat Indonesia hidup dalam atmosfer ketakutan untuk berbeda pendapat dan mengkritik penguasa. Pemerintah tak boleh memberangus kemerdekaan mengoreksi roda kekuasaan bagi warganya. Kritik masyarakat mungkin terasa kasar, bahkan kadangkala menjurus ke penghinaan, namun itu bukan alasan untuk sangat mudah menjebloskan orang yang tidak sependapat dengan penguasa ke bui.

Pemerintah perlu bercermin pada Rasulullah S.A.W. dan para Khalifah setelahnya. Pada zaman kehidupan Rasullah SAW, kritik pernah terjadi, dimana budaya muhasabah ini telah dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah SAW. Para shahabat sebagai rakyat pernah melakukan muhasabah kepada kebijakan pemerintahan Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin. Rasulullah, pernah dinasihati Hubbab bin Mundzir dalam menentukan posisi pasukan di medan perang Badar. Pada saat ditandatangani perjanjian Hudaibiyah kaum Muslim menampakkan ketidaksetujuan mereka kepada beliau. Sedang seusai perang Hunain, para sahabat Anshar menampakkan rasa kecewa melihat Rasulullah memberikan ghanimah kepada para pemimpin Quraisy yang baru masuk Islam (al-muallafatu qulubuhum), tanpa memberikan satu bagian pun untuk mereka.

Para shahabat mempertanyakan pembagian kain dari Yaman kepada pemerintahan Umar bin Khaththab. Beliau juga pernah diprotes oleh seorang wanita yang menentang kebijakan pembatasan mahar.

Bagaimanakah sikap Rasul SAW dan para Khalifah dalam menghadapi muhasabah yang dilakukan oleh para sahabat yang berstatus sebagai rakyat? Rasulullah menerima pendapat Hubbab lantaran beliau melihat adanya ke-ahlian Hubbab dalam strategi pertempuran. Dalam perang Uhud, beliau menyetujuinya pendapat para shahabat yang menghendaki untuk menyongsong pasukan Quraisy di luar kota Madinah meskipun beliau sendiri berpendapat sebaliknya. Pada perjanjian Hudaibiyah beliau tetap bertahan dalam menghadapi protes para shahabat. Sebab, hukum perjanjian tersebut merupakan wahyu yang baru beliau terima.

Tatkala wanita memprotes kebijakan khalifah Umar Ibnu al-Khattab dengan membaca firman Allah SWT: “Maka janganlah kamu mengambil kembali (mahar) dari padanya barang sedikitpun” (QS. An Nisaa 20), maka Khalifah Umar berkata, “Benarlah wanita itu dan sayalah yang keliru” (lihat Abdul Aziz Al Badri, Peran Ulama dan Penguasa). Dan terhadap pertanyaan tentang pakaian yang dikenakannya, Umar meminta putranya untuk menjelaskan. Ibnu Umar pun menyatakan bahwa pakaian Umar adalah bagian Khalifah ditambah dengan bagiannya yang dihadiahkannya kepada ayahnya.

Dari contoh-contoh diatas kita melihat, bahwa kontrol sosial atau menasehati penguasa merupakan sunnah rasul dan tabi’at para pemimpin Islam. Rakyat, tanpa memandang status sosialnya merasa berkewajiban dan berani mengkritik atau mengoreksi segala kebijakan atau tindakan yang dilakukan pejabat Negara, pada setiap kesempatan terbuka. Sebaliknya, para pejabat Negara tanpa memandang posisi dan jabatannya merasa berkewajiban menerima kritik dan koreksi dari rakyatnya, tanpa ada perasaan tersinggung atau terrendahkan martabatnya, walau kritik dan koreksi dilakukan di depan umum.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *