Ustaz MIY: Prepres RAN-PE Hanya Kedok untuk Menyasar Islam
Mediaumat.news – Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (MIY) mengatakan Perpres RAN-PE hanya kedok saja untuk menyasar Islam.
“Jadi saya melihat bahwa RAN-PE ini masih di dalam kerangka itu, atau sungguh di dalam kerangka itu. Dan sesungguhnya, war on radicalism itu sesungguhnya hanya kedok saja, ini Islam yang menjadi sasaran,” ujarnya dalam Diskusi Online Media Umat: Menyoal Perpres Ekstremisme, Ahad (07/02/2021) di kanal YouTube Media Umat.
Menurut Ustaz MIY, ada dua konteks sebagai latar belakang terbitnya regulasi yang bernama resmi Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 (Prepres RAN-PE) ini.
Pertama, konteks kepentingan politik dalam negeri. Ia menilai bahwa kekuatan aktual yang bisa mengkritisi rezim, bahkan bisa menumbangkan mereka adalah kekuatan Islam politik yang tercermin pada aksi 212. Rezim tahu aksi itu digerakkan oleh siapa, di atas pikiran atau ide seperti apa.
“Aksi 212 itu kan di bawah titel aksi bela Islam, aksi bela Al-Qur’an, aksi bela ulama bahkan bela tauhid. Dan mereka melihat itu sebagai kekuatan yang tidak bisa dipandang remeh. Terbukti calon mereka di dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017 yang didukung penuh oleh rezim dengan seluruh perangkatnya akhirnya tumbang,” bebernya.
Oleh karena itu, kata Ustaz MIY, mereka harus melakukan sesuatu untuk mengeleminasi atau menghancurkan kekuatan Islam tersebut. Dan ini menurutnya sudah berjalan. FPI sebagai inti dari kekuatan 212 sudah dibubarkan yang sebelumnya HTI, kemudian HRS yang menjadi tokoh sentral gerakan 212 tidak hanya ditahan tapi juga diisolasi dengan tidak boleh ditengok dan tidak boleh menggunakan alat komunikasi.
“Tapi bagi mereka hal itu tidaklah cukup, mereka juga harus mengeliminasi pikiran dan juga tanda-tanda gerakan dengan cara mengembangkan suatu deteksi dini yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung. Jadi masyarakat yang digerakkan untuk mendeteksi dini tanda-tanda ekstremisme,” bebernya.
Ustaz MIY mengatakan, salah yang jadi masalah latar belakang terbitnya Perpres RAN-PE ini yaitu proses radikalisasi. Meskipun dijelaskan dalam dokumen itu bahwa radikalisasi itu ada banyak faktor, misalnya ada soal motivasi individu, soal viktimisasi, soal kekecewaan politik, dan sebagainya. Tapi tidak bisa ditutupi bahwa yang dimaksud radikalisme di situ utamanya adalah pemahaman agama. Ini tampak dari tujuan program tersebut yang tak lain mewujudkan moderasi agama dan agama apa yang dimaksud di sini bila bukan Islam.
“Saya kira keterlibatan masyarakat harus dicermati betul, karena akan menimbulkan keterbelahan masyarakat, karena pada akhirnya nanti ada masyarakat yang melaporkan dan ada yang dilaporkan,” ungkapnya.
Kedua, perpres ini tidak bisa dilepaskan dalam konteks global. Barat memandang bahwa upaya umat Islam untuk kembali kepada kemurnian ajaran agamanya dianggap ancaman bagi peradaban Barat. Ini yang disebut sebagai Clash of Civilitation.
Menurutnya, supaya tidak menjadi ancaman maka dunia Islam itu harus dibuat ramah terhadap kepentingan Barat. Oleh karena itu diperlukan pemilahan kelompok Islam untuk mengetahui siapa kawan siapa lawan. Kelompok yang mana harus diperkuat dan dibina menjadi mitra, serta pengaturan strategi dan pengolahan sumber daya yang ada di dunia Islam. “Nah di sinilah saya kira perang melawan radikalisme itu menemukan titik relevansinya,” tegasnya.
Ia mengakui, yang diperangi memang bukan Islam secara keseluruhan, tapi Islam politik ideologis, Islam yang mempunyai kehendak untuk mengatur. Sebab Islam diturunkan oleh Allah sebagai risalah yang mengatur kehidupan masyarakat, dan kehidupan negara. Agar terwujud apa yang disebut rahmatan lil alamin yang dijanjikan Allah.
“Tapi Islam yang begini ini yang tidak dikehendaki. Nah orang-orang yang punya pikiran bahwa Islam harus hadir sebagai yang bisa mengatur, inilah yang harus diwaspadai sebagai ekstremisme, radikalisme,” pungkasnya.[] Agung Sumartono